Memo Sang Menteri
By Si Anak Rimo - June 15, 2016
Ditengah reformasi birokrasi di seluruh
jajaran di republik ini, Anies Baswedan belum lama memberi warna pada upaya
pemberian pelayanan prima kepada seluruh masyarakat indonesia melalui Kementeriannya.
Ada cerita menarik yang terdapat dalam memo dari sang Menteri ini kepada
jajarannya di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Memo yang sangat menyentuh
dan memberikan kita sedikit gambaran akan pentingnya menjaga harapan.saat
membaca memo ini tadi pagi, pikiran ku terbang melayang mencoba mencerna
bagaimana kondisi ibu itu dan banyak orang lainnya yang mengurus sesuatu ke
suatu instansi namun tidak membawakan hasil apa apa karena tidak adanya
petugas. Aku teringat ayah ku yang pernah mengalami hal serupa ketika mengurus sesuatu di kantor yang menaungi tugasnya, sebagai anak tentu aku akan merasa sedih. Memo ini beliau tulis ketika berada dalam di jalan dan kemudian
dikirimkan ke grup whatsapp Pejabat Eselon I di kementerian yang dipimpinnya.
Tulisan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan ini sebenarnya merupakan memo internal
kepada jajarannya di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang kemudian menjadi
viral.
Kepada Yth Jajaran
Pimpinan Kemdikbud
Assalamu'alaikum wr
wb
Kemarin saya mampir
ke Unit Layanan Terpadu di Gedung C. Saya tuliskan catatan kecil untuk jadi
bahan refleksi dan susun langkah perubahan. Begini ceritanya ..... " Inggih
Pak, mboten napa-napa," jawab Ibu Mei. Iya tidak apa-apak Pak. Itu
jawabnya saat saya minta maaf atas nama Kemdikbud. Lalu saya tanya kenapa
sampai pergi ke Jakarta. "Saya ini sudah 59 Pak. Tahun depan pensiun,
kalau tahun ini ada masalah saya takut tidak bisa terima uang pensiun,"
Ibu Mei menjelaskan alasan kenapa ngurus ke Jakarta.
Itu cuma satu dari
dua ratusan orang yang datang di hari jumat kemarin. Ibu guru itu bernama Ibu
Mei, seorang guru TK dari Kec Mertoyudan, Kab. Magelang. Dia berangkat ke
Jakarta ditemani putrinya yang tinggal di Semarang dan seorang staf Dinas
Pendidikan Kab. Magelang. Sesudah jumatan, saya berjalan melewati ULT. Tanpa
sengaja, berpapasan lagi dengan mereka bertiga di selasar depan ULT. Saya tanya
apakah sudah beres, lalu putrinya menjawab, "tadi kami diminta oleh
petugas ULT utk mengurus ke lantai 13 di Gedung D. Kami sudah ke sana lalu
menunggu tapi petugasnya tidak ada." "Sekarang mau kemana?"
tanya saya.
Putrinya kemudian
menjawab, "kami mau ke Bandara, terlanjur beli tiket PP sore ini."
Semua diam. Saya kaget, ya amat terkejut. Bapak dan Ibu semua, seorang Ibu guru
TK yg sudah amat senior dari pinggiran Kab Magelang telah habiskan uang untuk
beli tiket pesawat Semarang-Jakarta PP dan terpaksa pulang dengan tangan hampa.
Alasannya sederhana: petugas tidak di tempat. Cukup sudah tempat ini jadi
pangkal kekecewaan !! Saya ajak mereka ke ruangan saya dan panggil petugas GTK
untuk membereskan hingga tuntas. Bapak dan Ibu, ini tidak seharusnya terjadi
dan tidak boleh berulang. Saya tegaskan sekai lagi: TIDAK BOLEH BERULANG.
Saya akan ceritakan
lagi pengalaman nyata, pengalaman kami yang pernah saya ceritakan pada Ibu dan
Bapak sekaian saat kita bicara soal pelayanan pada guru beberapa bulan yang
lalu. Saat itu saya masih duduk di bangku SMA, saya mengantar almarhum Ayah ke
Stasiun Tugu di Jogjakarta. Beliau berangkat naik KA Senja Utama ke Jakarta,
akan mengurus soal kepangkatannya di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kami
sekeluarga melepas dengan penuh harap bahwa kepangkatannya bisa beres. Beberapa
hari kemudian, menjelang subuh saya menjemput di Stasiun Tugu lagi. Saat itu
diceritakan bahwa urusannya tidak selesai karena pejabat yang berwenang sedang
tidak di tempat dan yang lain tidak bisa memutuskan. Ya, sama persis. Pulang
kampung dengan tangan hampa. Sebabnya sama: pejabat tidak ada di tempat.
Sekembalinya dari Jakarta, pagi itu juga ayah langsung mengajar lagi. Ruang
kelasnya tidak boleh kosong terlalu lama.
Beberapa waktu
kemudian, kami sekeluarga mengantar lagi ke Stasiun Tugu. Ayah berangkat lagi
ke Jakarta untuk menuntaskan urusan kepegawaiannya, yang pada waktu itu, Beliau
sudah lebih dari 25 tahun mengajar. Bawa kopor dan tas dokumen, berisi semua
berkas-berkas penunjang. Di perjalanan pulang dari stasiun, Ibu berguman sambil
matanya berkaca-kaca, "Kasihan Abah, jadi korban perubahan aturan".
Kami panggil Ayah dng sebutan sunda Abah. Saya tidak ingat detail aturannya
tapi kami semua diam sambil berharap kali ini beres. Datang harinya Beliau
kembali ke Jogja. Saya jemput lagi di Stasiun Tugu subuh-subuh. Beliau membawa
kabar, tidak bisa. Ikhtiar pengurusan pangkat itu hasilnya nihil. Saya ingat,
kita duduk mengitari meja makan mendengarkan cerita Beliau saat mengurus di
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bawa map berisi dokumen, mengantri di
ruang tunggu, hingga akhirnya ditemui Sang Pejabat.
Detail cerita
Beliau. Kita semua jadi geram dan kesal mendengarnya. Di akhir obrolan pagi
itu, beliau mengatakan kira-kira begini, biarlah negara tidak mengakui masa
kerja ini tapi yang penting ada di catatan Allah. Hingga akhirnya hayatnya,
pangkat Ayah tidak pernah bisa dituntaskan. Ayah mengajar lebih dari 40 tahun.
Ribuan pernah jadi muridnya. Kebahagiannya didapat bukan dari selembar kertas
pengakuan negara, tapi dari lembaran surat, kartu lebaran, atau silaturahmi
bekas murid-muridnya. Setiap melihat guru datang ke Kemdikbud mengurus
kepangkatan, sertifikasi, NUPTK dll, saya membayangkan mereka kelak pulang ke
rumah disomgsong oleh istri, suami dan anak-anak yang berharap dengar kabar
baik, seperti keluarga kami dulu. Semua anggota keluarga menunggu kepulangan
dengan penuh harap untuk sebuah urusan yang seharusnya tidak perlu terjadi.
Tugas mereka mengajar, mendidik, dan menginpsirasi.
Tugas birokrasi
pendidkkan adalah memudah mereka bekerja, bukan malah menyulitkan. Cukup sudah.
Cukup kementrian ini jadi kontributor permasalahan administrasi tanpa akhir.
Bapak dan Ibu, Laporan dari BKLM tentang jumlah guru yang datang ke ULT
Kemdikbud ini jangan pernah dipandang semata-mata sebagai data statistik untuk
dianalisa. Tiap angka itu adalah seorang manusia harapan keluarga. Mereka
adalah pilar keluarga. Anak, istri atau suami menunggu penuh harap di kampung
halaman. Mereka adalah pejuang yang telah lelah, telah berkeringat di garis
depan, di depan kelas utk mendidik anak-anak kita. Lunasi semua haknya.
Permudah semua prosesnya. Manusiawikan kembali proses pengurusannya. Tuntaskan
ini dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Di hari Sabtu siang, renungkan
catatan ini. Bayangkan tiap kita berada di posisi para pencari kepastian, para
Ibu dan Bapak guru yang datang ke ULT.
Awal minggu depan,
saya akan siapkan surat instruksi resminya. Instruksinya: semua unit yang
terkait dengan urusan data guru dan seputar pengurusan administrasi guru untuk
menyiapkan rencana perombakan total. Penyederhanaan total. Segera siapkan utk
menjalankan instruksi Jika Bapak dan Ibu menemui kendala, ada yang menolak
untuk berubah, ada yang tidak sanggup untuk mensederhanakan proses maka tegur
dengan keras dan tegas. Beri aba-aba untuk minggir dari barisan !
Anies Baswedan
Selamat bertugas Mas Menteri, ada banyak harapan dan impian pada lembaga yang engkau pimpin saat ini. Semoga kesehatan dan lindungan dari Allah SWT selalu mengiringi mu dalam menjalankan tugas untuk melunasi janji kemerdekaan.
0 komentar