Profil Mr. Maula, Pemilik dan Pengasuh English Learners Community

By Si Anak Rimo - June 27, 2012

Pengantar:

Agak sulit rasanya menemukan nama yang tepat untuk page yang sedang Anda kunjungi ini. Ada beberapa hal yang membuat ini sulit: pertama, begitu banyaknya page yang ‘head-line’nya belajar B.Inggris, kedua, persoalan bahasa. Apakah saya harus menggunakan Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris. Ini sempat menjadi dilema, jika saya menggunakan Bahasa Indonesia untuk penamaan page ini maka nuansa “Nginggrisnya” tidak terasa. Namun, jika saya menggunakan Bahasa Inggris ada kekhawatiran (meski tidak terlalu besar) page ini ‘tidak terjangkau’ oleh target page: mereka yang kadung bosan, frustasi, atau bahkan benci dengan B.Inggris dan mempelajarinya. Oleh karena itu, page ini masih bersifat ‘beta’ selama 3 bulan kedepan. Meski demikian, aktifitas yang ada tidak ikutan beta. Ke-beta-annya hanya terbatas pada nama, tagline, cover, profil pict., dan hal lain yang bersifat teknis layout dan ‘branding’.

Pendahuluan:

Dari dulu saya sering memiliki cita-cita dapat membantu orang lain dengan apa yang saya miliki dengan cara yang saya senangi. Sejak umur kira-kira 5 tahun, saya sudah bisa dan terbiasa membaca tulisan apapun yang saya lihat: papan iklan, papan nama jalan, merek-merek produk rumah tangga, sampai membaca tugas/laporan kerjaan orang tua (meski tidak mengerti). Kemampuan membaca dini ini dahulu termasuk luar biasa karena rata-rata seorang anak bisa membaca ketika umur SD meski pernah duduk di bangku TK (dan belum ada PAUD). Pada seumuran kelas 2 SD, saya tidak ingat persis penyebabnya, saya tergila-gila (obsessed) sekali dengan suatu bahasa asing: Bahasa Inggris. Saya sering membacakan diktat atau bahan kuliah ibu yang berbahasa Inggris. Ilmu/skill yang saya kuasai waktu itu Cuma satu: mengucapkan huruf ‘R’ dalam Bahasa Inggris. Dan jangan Tanya arti karena tidak satupun saya mengerti. Pernah suatu malam, di kamar ibu, saya membacakan diktat Bahasa Inggris untuk selama kira-kira 1 jam sementara ibu saya mencatat hal-hal penting dari yang saya bacakan. Kecintaan itu terus bertambah hingga akhirnya pada saat saya benar-benar ‘jumpa’ dengan pelajaran Bahasa Inggris di sekolah, saat itu kelas 6 SD. Yang anehnya, saya malah menyadari bahwa belajar bahasa Inggris sangat sulit. Belum lagi guru kami yang mengajarkan pelajaran itu sangat tidak menyenangkan. (Note: Pada waktu itu pelajaran B.Inggris di sekolah dasar dijumpai saat kelas 6 SD, ada beberapa sekolah, seringnya disebut ‘sekolah orang cina’, mulai diberikan saat kelas 3/4 SD). Kecintaan saya terhadap B.Inggris mulai pudar. Hehe..

Kebetulan, saya melalui masa pendidikan SMP – SMA di sebuah pondok pesantren (6 tahun). Di pondok, kami (biasa disebut santri) diwajibkan untuk menggunakan 2 bahasa asing: bahasa arab & bahasa Inggris. Kami hanya diberi waktu 3 – 6 bulan diperbolehkan berbahasa Indonesia, selebihnya kami ‘diharamkan’ berbicara kecuali menggunakan bahasa arab/inggris. Kecintaan saya terhadap bahasa Inggris mulai tumbuh kembali saat hari-hari pertama di pondok. Waktu itu saya termasuk siswa yang lulus tes masuk dengan nilai yang bagus: 10 besar dari ratusan siswa yang diterima. Kelas unggulan itu disebut kelas ‘B’. Hari pertama di kelas, suasana kompetisi sudah terasa. Kejadiannya waktu itu saya dan teman-teman lain sedang membuat daftar piket, denah susunan bangku, daftar mata pelajaran, dsb. Waktu itu yang menulis adalah seorang teman saya. Ada yang aneh saya lihat di tiap karton yang ditulis. Di setiap sudut bawah, entah itu sebelah kanan atau kiri, selalu ada tulisan: ‘written by: Hendri’.  Saya tidak mengerti, kenapa teman saya menuliskan/merubah write menjadi written. Saya mondar-mandir tidak karuan berfikir keras mencari jawabannya di dalam memori kepala. Setelah setengah jam-an galau, saya akhirnya memberanikan diri untuk bertanya langsung kepada teman tersebut. Jawaban teman saya inilah penyebab awal yang akhirnya membuat saya memiliki dendam positif terhadap bahasa Inggris sekaligus membangkitkan gairah belajar B.Inggris.

“serius, kamu beneran gak tau artinya??”

Buset! Setelah 30 menit ‘meras otak’ dan menahan malu bertanya jawaban yang saya dapat cuma ungkapan ketus yang merendahkan nan tak berkeprimanusiaan, dramatisir saya dalam hati. Saya merasa ditampar pake sandal jepit, hati saya tercabik, baju saya terkoyak-koyak, celana teriris-iris miris, oh..diriku hancur! *memang lebay, mending lanjut membaca daripada menggerutu, haha..

Dari kejadian itu, saya benar-benar lampiaskan dendam saya. Saya nyaris menghafal semua materi pelajaran B.Inggris (Reading & Grammar) dari kelas 1 sampai kelas 3. Saya membawa kamus B.Inggris John M. Echols dua edisi sekaligus kemana-mana.  Beruntung saya memiliki teman yang menurut saya orang terjenius yang pernah saya lihat hidup-hidup. Niat saya waktu itu ingin diam-diam mencuri kejeniusannya dengan mengikuti cara belajarnya. Tapi saya keliru, dia hampir tidak pernah saya lihat belajar (dengan cara konvensional). Kebanyakan dari kegemarannya adalah ‘sesuatu yang dianggap melanggar hukum’ di pondok: membaca novel/komik, musik, dan majalah game.  Saya akhirnya memutuskan untuk belajar sendiri dan kami terus berteman ‘biasa’, tanpa misi.

Setelah menyelesaikan pendidikan setara SMA di pondok, saya kuliah. Di masa inilah karir ke-bahasa inggris-an saya dimulai dan cukup mendapatkan apresiasi. Saya mulai mengajar bahasa Inggris sejak semester 1. Ada cerita menarik yang melatarbelakangi saya bisa mengajar di kursus itu. Waktu itu saya ingin mengetahui tingkat kemampuan dan pengetahuan saya dalam B.Inggris. Saya mendaftar les TOEFL di kursus tersebut. Kebetulan, ketika mendaftar saya langsung ketemu dengan direktur kursus. Setelah menyampaikan niat saya untuk belajar TOEFL, si bapak kelihatan ragu. Dengan sedikit upaya membuat suara yang berwibawa dan bijaksana beliau menjelaskan bahwa untuk mengikuti kelas TOEFL saya harus memiliki kemampuan minimal intermediate. Saya diam karena saya tidak mengerti. Akhirnya beliau menjelaskan. “so, do I have to have some test or something? I mean, before the class?” saya bertanya. Beliau senyum. Setelah itu yang saya ingat adalah kami ngobrol ngalur kidul dengan B.Inggris sejam-an. Di akhir perbicaraan beliau menawarkan saya untuk mengajar menggantikannya di beberapa kelas karena jadwalnya yang padat. Sampai saya tidak mengajar lagi, karena kursusnya tutup, saya tidak pernah belajar TOEFL namun malah mengajarkannya. Pengalaman menarik yang pernah saya alami selama mengajar di kursus ini adalah ketika saya, seorang mahasiswa semester 1 dan bukan kuliah di jurusan B.Inggris alih-alih tamatan S1/S2 B.Inggris, mengajar B.Inggris di kelas Advance yang siswanya adalah mahasiswa semester 4 jurusan B.Inggris di salah satu Universitas Negeri di Medan. Pernah juga saya ‘digodain’ sama ‘kakak-kakak’ siswa saya yang seluruhnya mahasiswi akademi pariwisata. Dan yang lucu adalah ketika saya mengajar 8 mahasiswi asal Thailand yang kuliah di Indonesia. Saya bingung, dijelaskan ‘pakai’ B.Inggris lha memang tidak mengerti makanya ada disini belajar, saya jelaskan menggunakan bahasa Indonesia yang agak di ‘malaysia-malaysia’-kan mereka bilang: “don’t understand malay”. Tidak terbayang bagaimana mengajar di kelas itu selama beberapa kali pertemuan. Haha..

Selain mengajar di kursus, saya juga menerima beberapa siswa Chinese belajar di rumah. Untuk uang tambahan, saya juga banyak menerima ‘orderan’ terjemahan mahasiswa dari berbagai jurusan yang sama sekali tidak saya kenal: teknik mesin, arsitektur, sampai kedokteran. Earning tertinggi saya secara finansial adalah ketika saya mendapat kesempatan mendapatkan menjadi freelance translator di sebuah institusi yang bergerak di bidang konsultan kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS yang tunduk pada sebuah organisasi yang berpusat di Belanda. Nilai kontrak saya benar-benar diluar dugaan, seorang mahasiswa semester 5. Officially gaji saya adalah 1,4 juta/hari ditambah jika ada project penerjemahan buku. Karena suasana kerja yang hampir 24 jam berada dalam status under pressure maka saya mengundurkan diri di hari ke-9/10 saya bekerja. Padahal saya bisa terus kerja sampai 3 bulan sampai mereka menemukan staff khusus untuk posisi saya.

Di kampus, saya tidak mengikuti organisasi apapun dengan alasan tertentu. Saya lebih memilih berprestasi secara akademis untuk tujuan eksistensi dan nama baik di depan teman-teman atau dosen. Beberapa kali saya mewakili fakultas atau kampus untuk mengikuti berbagai perlombaan: pidato, karya ilmiah, debat, dsb. Kata kuncinya ada 2: harus berbahasa Inggris dan berhadiah diatas 1 juta. Haha..terlihat matre benar saya. Tapi itulah, saya terlalu idealis dan terkadang opurtunis. Ngomong-ngomong lomba, ada juga cerita menarik yang ingin saya bagi.

Waktu itu saya mengikuti lomba pidato antar fakultas yang diadakan oleh kampus. Saya mendaftarkan diri. Oya, sebelum lupa, lomba pidato inilah yang membuat saya ketagihan ikut lomba dimana-mana selama lomba itu memenuhi 2 kriteria yang saya sebut diatas: berbahasa Inggris dan berhadiah diatas 1 juta. Well, balik ke cerita lomba pidato. Pidato yang dilombakan adalah pidato bahasa Inggris. Seperti setengah hati, saya baru membuat naskah pidato persis sehari sebelum penyisihan. Hampir-hampir saya didiskualifikasi karena tidak mengumpulkan naskah. Waktu itu ada sekitar 50 peserta yang mengikuti audisi. Dan hanya saya, sepertinya, yang tidak mengumpulkan naskah plus tidak ada persiapan untuk ‘manggung’ alias menghafal naskah. Setelah nama saya dipanggil ke salah satu meja juri. Beliau mempertanyakan naskah saya. Saya menjelaskan bahwa saya baru menyelesaikannya semalam tapi saya juga meyakinkan beliau saya dapat menjelaskan gambaran umum tentang materi pidato saya.  Lalu saya menjelaskan secara singkat apa yang menjadi ide dasar materi pidato. Setelah itu beliau menanyakan kembali nama saya, mencatatnya, lalu menanyakan asal sekolah dan dimana belajar B.Inggris dan hal remeh temeh lain. Total waktu audisi saya hanya sekitar 7-10 menit dimana rata-rata saya hitung setiap kontestan ‘diuji’ selama 15 menit.

Oya, untuk menimbulkan impresi positif dari juri saat audisi, dari awal duduk didepan beliau sampai akhirnya dipersilahkan untuk meninggalkan meja, tidak ada satu katapun yang saya ucapkan berbahasa Indonesia. All in English. Just in case..:D

Di saat hari penentuan siapa saja yang terpilih menjadi kontestan di perlombaan yang sebenarnya, saya, bersama seorang teman, melihat papan pengumuman. Dengan sama sekali tidak ada ekspektasi berlebihan, kami mensusuri nama dari yang paling bawah. Total kontestan ada 10 (kalau tidak salah). Saya memprediksi, kalaupun saya masuk pasti hanya di posisi antara 6 – 10 mengingat saya satu-satunya yang ikut audisi tanpa memberikan naskah kepada panitia dan tidak perform pidato ketika audisi. Setelah tiga kali melihat daftar nama dari nomor urut 6 sampai 10, saya agak shock karena saya tidak ada melihat satupun nama dalam daftar tersebut berinisial M. Sedikit kecewa, saya hampir meninggalkan papan pengumuman ketika tangan saya ditarik oleh teman tadi dan berkata:

“Lo juga, dimana-mana ngeliat pengumuman tu dari no 1 sampai terakhir, bukan dari bawah. Nih, nama lo, di nomor 1!”

Haha..saya kegirangan bukan main. Kalau tidak dianggap berlebihan, mungkin rasanya sama kayak orang-orang pas dapatin golden ticket Indonesian Idol seraya menjerit.. “Jakartaaaaaaa….” :D

Di hari perlombaan, lagi-lagi saya ‘membuat ulah’. Saya juga artis, eh..maksud saya kontestan yang memiliki ‘kostum terburuk’: kemeja coklat bergaris-garis yang cukup berumur (lecek) dan celana hitam, biasa sekali. Sementara yang lain, yang laki-laki rata-rata berdasi (malah ada yang menggunakan jas) dan yang cewek menggunakan blazer.  Kalau tidak salah, nomor urut peserta saya adalah 7. Setelah perform, saya langsung meninggalkan ruangan lomba karena harus mengikuti ujian mid. Belum 5 meter dari saya ruangan saya mendengar ada seseorang memanggil nama saya. Saya lihat ke arah belakang. Tanpa salaman apalagi berkenalan, spontan dia bertanya: “bang, udah sering ikut lomba ya?”. “tidak, ini yang pertama, emang kenapa?” saya jawab seadanya. “gak bang, kayaknya abg tadi perform-nya seperti sudah biasa, kayak gak ada beban gitu..”. “hmm..gimana ya, saya juga gak tau kenapa bisa gitu, for me it’s just a game, all I need is just having fun with it and even no need to win, that’s it..”, saya kembali menjelaskan sekenanya. Lalu saya meninggalkannya dan menuju ke arah kantin, makan. *makan lebih penting dari ujian, itu bukan pesan mama saya :D

Saya bertemu kembali dengan mahasiswa yang pernah memanggil saya setelah lomba. Waktu itu saya, Alhamdulillah, dapat juara 1 (my first million rupiahs). Kali ini dia mendatangi saya dengan wajah yang lebih bingung dari pertama ketemu. Dia mengatakan: “bang, abang rupanya bukan anak B.Inggris, ya? Soalnya yang ikut kemaren 4 orang dari jurusan B.Inggris, kirain abang senioran kami..tapi, selamat ya bang, oya bang..boleh nanya gak bang, gimana caranya bisa jago ngomong atau pidato B.Inggris kayak abg?”. Karena bingung mau jawab apa, saya kembali nanya: “kamu jurusan B.Inggris?” “iya bang..” jawabnya. “boleh saya tau kenapa kamu ambil jurusan itu?” tanya saya lagi. “hmm..saya pengen bisa B.Inggris bang, terus pengen jadi guru juga..” jawabnya. “hmm..begini, kalau mau bisa B.Inggris, kamu gak perlu kuliah sampai 4 tahun, tapi kalau tujuannya mengajar..mungkin cocok. Jadi begini, jurusan kamu pendidikan B.Inggris, kan? Nah, jurusan kamu itu sebenarnya bertujuan mencetak calon guru B.Inggris. Makanya, kamu diajarkan teori-teori tentang mengajar B.Inggris BUKAN bahasa Inggrisnya. Saya kira B.Inggris sama kayak komputer atau malah sama kayak hape. Gak perlu kuliah 4 tahun kan kalo Cuma untuk bisa ‘main’ hape?”

Setelah lulus kuliah, saya apply beasiswa ke beberapa kampus yang memang jadi cita-cita sejak lama: satunya Oxford University, UK dan satu lagi King Fahd University, Arab Saudi. Essay sudah saya kirimkan. Di Oxford ambil Islamic Studies dan di King Fahd ambil MBA. Sayang, karena tidak memiliki biaya pertama (ongkos plus biaya hidup sebulan pertama untuk jaga-jaga) saya tidak jadi berangkat. Waktu itu dilematis dan saya benar-benar harus memilih untuk tidak berangkat karena orang tua, dua-duanya, harus butuh biaya untuk finalisasi S2-nya untuk kenaikan pangkat which is digunakan untuk membiayai biaya hidup kami sekeluarga. Ini kali ke-2 sebenarnya saya tidak jadi kuliah ke luar negeri. Setelah tamat dari pondok, saya ingin sekali melanjutkan kuliah di Al-Azhar, Mesir. Alasannya batal juga sama: biaya pertama. *untuk beasiswa non-pemerintah, rata-rata memberikan kompensasi biaya kuliah, tempat tinggal, dan biaya hidup a.k.a beasiswa diberikan setelah penerima mengurus finalisasi administrasi DISANA.

Akhirnya, saya ke Banda Aceh dengan misi titipan orang tua: menjual ijazah. Ya, melamar kerja. Tidak tau mengapa, saya berharap tidak ada yang menerima saya bekerja. Benar saja, tidak satupun instansi yang menerima saya secara banyak saudara saya di kota ini kepala kantor di instansi tertentu. Saya lebih suka mandiri. Entrepreneur, begitu istilah kerennya.

Waktu terus berjalan, saya mulai gamang. Tidak ada kegiatan yang jelas. Hingga suatu hari sepupu mengajak saya ke rumah teman perempuannya untuk mengerjakan PR B.Inggris. Awalnya saya keberatan, tapi akhirnya saya mau ikut. Saya diminta temannya untuk bantu mengerjakan PR. Saya bertanya: “kamu mau nilai 10 tapi tetep bego’ atau nilai 7 tapi bisa?”. Setelah berdebat panjang mengenai pertanyaan itu. Akhirnya saya mengajari bagaimana caranya. Keesokan harinya, saya dapat sms dari sepupu yang mengabarkan bahwa temannya dapat nilai 8. Alhamdulillah, saya membatin.  Lalu sepupu saya mengirim sms lain yang menjelaskan bahwa temannya ingin belajar private B.Inggris dengan saya. Setelah berpikir sebentar, saya iyakan.

Sekali lagi, waktu pun terus berjalan. Tiap malam saya punya jadwal mengajar dari rumah satu ke rumah lain. Saya senang sekali waktu itu. I was so happy and proud to be a professional jobless. Pengangguran ‘bergaji’. Hehe.

Tapi yang lebih menyenangkan adalah seolah-olah saya mendapat ‘jalan’ yang memang sudah direncanakan Tuhan untuk saya. Mulai dari jadi pengajar B.Inggris secara tidak sengaja, perlombaan-perlombaan yang sering saya ikuti, bekerja di konsultan, semuanya..ya, hampir semua aktifitas saya dari kuliah bahkan sejak SD selalu terkait dengan sesuatu yang bernama: BAHASA INGGRIS. Sampai kegagalan saya dua kali melanjutkan kuliah ke luar negeri ternyata adalah design yang begitu sempurna.

Hari ini, saya sampai pada kesimpulan bahwa, talenta yang diberikan Tuhan kepada saya berikut suka-duka terkait semua pengalaman saya adalah pelajaran yang harus disampaikan kepada orang lain. Sungguh, kebahagiaan adalah sensasi dan pengalaman yang paling nikmat dalam hidup ini. Tidak sedikit yang pernah bilang: money can’t buy us happiness. Uangpun tak sanggup membelinya.

Bahagia sekali, ketika beberapa siswa saya, dengan izin Allah dan melalui saya,  dapat melanjutkan studi ke luar negeri dengan beasiswa. Saya sering tertegun, terharu, begitu bangga dan senangnya saya. Dan dalam saat-saat seperti itu, sering seolah-olah ada yang berbisik: “Kau tidak berangkat karena tugasmu-lah memberangkat orang lain”..Allahu Akbar.. saya senang..saya bangga sekali..jika benar itu adalah ‘titah’ Tuhan penguasa hidup ini untuk saya. Hari ini, saya tidak sedikitpun resah dengan cita-cita lama itu. Malah sering, ada ‘visi’ saya dalam waktu dekat, tidak tau kapan, saya tetap bisa mengunjungi Negara-negara impian tujuan studi saya seperti Inggris, Amerika, dsb tapi bukan sebagai siswa. Saya mengunjungi siswa saya. Ya, yang pernah belajar B.Inggris dengan saya atau di Paradise Institute.

Paradise Institute dan semua program yang ada didalamnya seperti kursus B.Inggris, konsultasi beasiswa ke luar negeri, seminar & event yang berorientasi pendidikan, study tour ke luar negeri, dsb adalah manifestasi dari dedikasi yang ingin saya bagikan ke semua orang, siapapun, yang punya cita-cita namun tidak kuasa karena keterbatasan, apakah itu keterbatasan informasi, bahasa (Inggris), media belajar, dsb.

Seminggu yang lalu, saya telah launching page ‘English Learners Community’. Mudah-mudahan page ini dapat memberikan ruang yang lebih besar bagi saya untuk berbagi sehingga dapat menjangkau lebih banyak orang di banyak wilayah di Indonesia. Dari teman-teman, dan siapapun yang membaca tulisan ini,  doakan agar saya dapat terus keep on track agar page ini dapat terus bermanfaat buat semua.

Terakhir, silahkan sebarkan informasi page/laman ini ke semua teman, saudara, keluarga di jagat raya facebook ini agar mereka juga dapat manfaatnya.

Maula Nikma 

  • Share:

You Might Also Like

9 komentar

  1. 👍👍👍 saya tertarik untuk join pak Maula Nikma

    ReplyDelete
  2. Your story is very inspiring Mr.Nikma... I hope I can follow your path...

    ReplyDelete
  3. Sangat menginspirasi Mr. Maula
    Thank's

    ReplyDelete
    Replies
    1. It's Great Mr.Maula." Adventure, Marvelous"👍👍👍

      Delete
  4. Alumni GONTOR ya Bang Maula sukses selalu, semoga banyak Maula2 alumni GONTOR...yg sukses seperti Bang Maula

    ReplyDelete