Biografi Syekh Abdur Rauf As - Singkili
By Si Anak Rimo - October 19, 2012
Syekh
Abdurrauf Singkil (Singkil, Aceh 1024 H/1615 M - Kuala Aceh, Aceh 1105 H/1693
M) adalah seorang ulama besar Aceh yang terkenal. Ia memiliki pengaruh yang
besar dalam penyebaran agama Islam di Sumatera, Nusantara dan Asia Tenggara
pada umumnya. Sebutan gelarnya yang juga terkenal ialah Teungku Syiah Kuala
(bahasa Aceh, artinya Syekh Ulama di Kuala). Nama lengkapnya ialah Aminuddin
Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri As-Singkili. Menurut riwayat
masyarakat, keluarganya berasal dari Persia atau Arabia, yang datang dan
menetap di Singkil, Aceh, pada akhir abad ke-13. Pada masa mudanya, ia
mula-mula belajar pada ayahnya sendiri. Ia kemudian juga belajar pada
ulama-ulama di Fansur dan Banda Aceh. Selanjutnya, ia pergi menunaikan ibadah
haji, dan dalam proses pelawatannya ia belajar pada berbagai ulama di Timur
Tengah untuk mendalami agama Islam.
Kitabnya
yang berjudul Umtad Al Muhtajin membuka mata kita bagaimana Syeikh Kuala membangun
jaringan intelektualnya. Gurunya tersebar dari Yaman, Qatar, Aden hingga
dataran Hejaz. Ia belajar tidak hanya ilmu “lahir’ saja tetapi juga
ilmu”batin”. Kemasyuhrannya dalam penguasaan dua ilmu tersebut melahirkan
banyak karya yang sampai sekarang masih menjadi bahan rujukan para ulama maupun
cerdik pandai.
Syeikh
Kuala memang bukan nama asing bagi masyarakat Aceh saja. Tetapi dikenal di
seantero ranah Melayu dan dunia Islam international. Syeikh Kuala atau Syeikh
Abdurauf Singkel adalah tokoh tasawuf juga ahli fikih yang disegani. Lelaki
asal Sinkel, Fansur Aceh Utara ini dikenal sebagai salah satu ulama produktif.
Karyanya banyak mulai tasawuf hingga fikih. Pengaruhnya sangat besar dalam
perkembangan Islam di Nusantara. Tak salah kalau menghormati jasanya namanya
diabadikan menjadi nama universitas di Banda Aceh.
Prof.
Dr. Azyumardi Azra menyebutnya sebagai salah satu orang yang bertanggung jawab
dalam membuka jaringan ulama Nusantara di dunia internasional. Berkat jasanya
orang-orang Indonesia kemudian masuk dalam jajaran jaringan ulama dunia. Tidak
salah kalau kemudian muncul nama-nama ulama besar seperti Syeikh Nawawi al
Bantani, Syeikh Mahfudz At Tirimisi, dan lain-lain yang mempunyai reputasinya
mendunia. Ayahnya menjadi guru pertama dalam pengetahuan agama di Dayah
(Madrasah) Simpang Kanan, di kawasan pedalaman Singkel. Selepas itu melanjutkan
pendidikan ke sekolah tinggi di Barus (Dayan Tengku Chik) yang dipimpin oleh
Hamzah Fansuri. Di sekolah ini beliau belajar ilmu agama, sejarah, mantik,
falsafah, sastra Arab/Melayu dan juga bahasa Parsi.
Setelah
tamat kemudian meneruskan pengajian ke sekolah Samudra Pasai yang dipimpin oleh
Syeikh Syamsuddin As Samathrani. Sewaktu Syamsuddin diangkat menjadi Qadli
Malikul Adil (Kadi Besar) pada zaman Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Perkasa
Alam Syah, Abdurrauf bertolak ke Mekah dan merantau ke beberapa buah negara
Asia Barat lain untuk mendalami ilmu di sana.
Tercatat
Syeikh Abdurauf pernah menjadi mufti Kerajaan Aceh ketika zaman Sultanah
Safiatuddin Tajul Alam (1641-1643). Atas dukungan Raja Safiatuddin, Abdurauf
memulai perjalanan intelektualnya menuju tanah suci. Banyak pusat-pusat
keilmuawan yang dikunjunginya sepanjang jalur perjalanan haji. Disamping itu,
Syeikh Abdurauf tidak belajar secara formal dengan beberapa ulama.
Perkenalannya dengan banyak tokoh ulama seperti Muhammad Al Babili dari Mesir
dan Muhammad Al Barzanji dari Anatolia menjadi ladang pencarian ilmu secara
informal. Syeikh Muhammad Al Babili merupakan salah satu ulama Muhadis terkemuka
kala itu di Haramain. Adapaun Syeikh Muhammad al Barzanji dikenal sebagai sufi
tersohor. Syeikh Abdurrauf tinggal selama 19 tahun di Mekah.
Syeikh
Abdurauf bercerita bahwa dirinya banyak mendapatkan ilmu “lahir’ dari Syeikh
Ibrahim bin Abdullah Jam’an di Bait al faqih dan Mauza’. Lewat gurunya ini, ia
berkenalan dengan tokoh tarekat seperti Syeikh Ahmad Qusyaysi dan Syeikh
Ibrahim al Kurani. Lewat keduanya Syeikh Abdurauf mendapatkan ijazah tarekat
Syatariyah. Tentang gurunya ini syikh Abdurrauf menyebutnya sebagai pembimbing
spiritual di jalan Allah. Sekitar tahun 1622 M Abdurrauf pulang kampung. Ia
kemudian mengajarkan tarikat Syathariyah di daerahnya. Banyak santri yang
berdatangan untuk berguru. Muridnya pun berasal dari berbagai daerah di wilayah
Nusantara. Diantara muridnya yang paling terkenal adalah Syikh Burhanuddin
Ulakan Sumatera Barat dan Syeikh Abdullah Muhyi, Pamijahan, Jawa Barat.
Pengaruhnya
sangat penting di kerajaan Aceh. Hingga di Aceh ada semacam kata-kata yang
berbunyi “Adat bak Poteu Mereuhom, Hukom bak Syiah Kuala” maksudnya, “Adat di
bawah kekuasaan almarhum (raja), sementara syariat (Islam) di bawah Syeikh
Kuala. Ayat ini mejelaskan betapa besarnya kuasa, peranan dan pengaruh
Abdurrauf dalam pemerintahan ketika itu yang hampir sama besar dengan kuasa
sultan. Ketika gabungan antara umara dan ulama inilah juga Aceh mencapai
kegemilangan.
Sementara itu Hamka yang juga ahli filosofi dan ulama modern Indonesia, di dalam tulisannya pernah menurunkan sebaris kata-kata yang dinukilkan oleh Fakih Shaghir seorang ulama terkenal di zaman Perang Paderi, yaitu nenek kepada Sheikh Taher Jalaluddin az-Azhari (meninggal dunia pada tahun 1956 di Kuala Kangsar), yang berbunyi: “Maka adalah saya Fakih Shaghir menerima cerita daripada saya punya bapa, sebabnya saya mengambil pegangan ilmu hakikat, kerana cerita ini adalah ia setengah daripada adat dan tertib waruk orang yang mengambil fatwa juga adanya. Yakni adalah seorang aulia Allah dan khutub lagi kasyaf lagi mempunyai keramat iaitu, di tanah Aceh iaitu Tuan Syeikh Abdurrauf.”
Tarikat
Syattariyah
Menurut
Syed Muhammad Naquib al-Attas, syaikh untuk Tarekat Syattariyah Ahmad
al-Qusyasyi adalah salah satu gurunya. Nama Abdurrauf muncul dalam silsilah
tarekat dan ia menjadi orang pertama yang memperkenalkan Syattariyah di
Indonesia. Namanya juga dihubungkan dengan terjemahan dan tafsir Al-Qur’an
bahasa Melayu atas karya Al-Baidhawi berjudul Anwar at-Tanzil Wa Asrar
at-Ta'wil, yang pertama kali diterbitkan di Istanbul tahun 1884. Sebagai ulama
tasawuf, Syeikh Abdurauf tidak dapat dipisahkan dari perkembangan tarekat
Syatariyah. Hampir semua ordo tarekat Syatariyah di Nusantara silsilahnya
berujung padanya. Tarekat ini tersebar mulai dari Aceh hinga ke Sumatera Barat.
Kemudian berkembang menyusur ke Sumatera Selatan hingga Cirebon.
Dalam
bertasawuf Abdurauf menganut paham bahwa satu-satunya wujud hakiki adalah Allah
SWT. Alam ciptaan-Nya adalah bayangan , yakni bayangan dari wujud hakiki.
Walaupun wujud hakiki (Tuhan) berbeda dengan wu jud bayangan (alam), terdapat
keserupaan antara wujud ini. Tuhan melakukan tajali (penampakan diri dalam
bentuk alam). Sifat-sifat Tuhan secara tidak langsung tampak pada manusia, dan
secara relatif tampak sempurna pada Insan Kamil.
Syeikh
Abdurauf juga sangat tidak sepakat dengan paham wahdatul wujud. Dalam bukunya
yang berjudul Bayan Tajalli, Abdurrauf menyatakan bahwa betapapun asyiknya
seorang hamba dengan Tuhan, Khalik dan makhluk tetap mempunyai arti sendiri.
Banyak karya yang dihasilkan olehnya. Ada 21 kitab yang karya tulis telah
dihasilkan yang terdiri dari 1 kitab tafsir, 2 kitab hadis, 3 kitab fiqih dan
sisanya kitab tasawuf. Syeikh Abdurauf menulis dalam bahasa Arab dan Melayu.
Kitab tafsirnya yang berjudul Turjuman Al Mustafid diakui sebagai kitab tafsir
pertama yang dihasilkan di Indonesia dengan bahasa Melayu. Mir’at at Tulab fi
Tahsil Ma’rifat Ahkam asy Syar’iyyah lil Malik al Wahhab merupakan salah satu
kitabnya di bidang ilmu fiqih. Di dalamnya memuat berbagai persoalan fikih Madzhab
Syafiie. Kitab ini juga menjadi panduan para kadi di kerajaan Aceh.
Di
bidang tasawuf, karyanya natara lain Kifayatul Al Muhtajin, Daqaiq al Huruf,
Bayan Tajalli, Umdat al Muhtajin dan Umdat al Muhatajin Suluk Maslak al
Mufridin. Kitab yang terakhir ini merupakan karya terpenting Syeikh Abdurauf.
Kitab Umdat al Muhtajin Suluk maslak al Mufridin terdiri dari tujuh bab. Isinya
memuat antara lain memuat tentang zikir, sifat-sifat Allah dan Rasul-Nyadan
asal usul mistik.
Pengajaran
dan Karya
Ia
diperkirakan kembali ke Aceh sekitar tahun 1083 H/1662 M dan mengajarkan serta
mengembangkan tarekat Syattariah yang diperolehnya. Murid yang berguru
kepadanya banyak dan berasal dari Aceh serta wilayah Nusantara lainnya.
Beberapa yang menjadi ulama terkenal ialah Syekh Burhanuddin Ulakan (dari
Pariaman, Sumatera Barat) dan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan (dari Tasikmalaya,
Jawa Barat).
Karya-karya
Abdurrauf Singkil yang sempat dipublikasikan melalui murid-muridnya. Di
antaranya adalah:
- Mir'at al-Thullab fî Tasyil Mawa'iz al-Badî'rifat al-Ahkâm al-Syar'iyyah li Malik al-Wahhab. Karya di bidang fiqh atau hukum Islam, yang ditulis atas permintaan Sultanah Safiyatuddin.
- Tarjuman al-Mustafid. Merupakan naskah pertama Tafsir Al Qur’an yang lengkap berbahasa Melayu.
- Terjemahan Hadits Arba'in karya Imam Al-Nawawi. Kitab ini ditulis atas permintaan Sultanah Zakiyyatuddin.
- Mawa'iz al-Badî'. Berisi sejumlah nasehat penting dalam pembinaan akhlak.
- Tanbih al-Masyi. Kitab ini merupakan naskah tasawuf yang memuat pengajaran tentang martabat tujuh.
- Kifayat al-Muhtajin ilâ Masyrah al-Muwahhidin al-Qâilin bi Wahdatil Wujud. Memuat penjelasan tentang konsep wahadatul wujud.
- Daqâiq al-Hurf. Pengajaran mengenai taswuf dan teologi.
Wafat
Abdurrauf
Singkil meninggal dunia pada tahun 1693, dengan berusia 73 tahun. Ia dimakamkan
di samping masjid yang dibangunnya di Kuala Aceh, desa Deyah Raya Kecamatan
Kuala, sekitar 5 Km dari Banda Aceh.
Baca Juga : Biografi Syekh Abdur Rauf As - Singkili
3 komentar
alhamdulillah
ReplyDeleteSemoga bisa ziarah ke makam beliau.
ReplyDeleteAllahu Yarham..
ReplyDelete