Mengenal Aceh Singkil Tempo Dulu
By Si Anak Rimo - July 30, 2012
Daerah ini pernah dikuasai
oleh tiga kerajaan kecil (Sabeak). Masing-masing : Negeri dari Marga Angkat,
Negeri dari Marga Tendang yang beribukota Panisihan dan Negeri dari Marga
Buluara. Ketiga negeri tersebut akhirnya lenyap. Beberapa tahun kemudian
muncullah Kerajaan Berguh Tugan di wilayah Simpang Kanan (sungai Simpang
Kanan). Tepatnya terletak didekat Kampung Tugan.
Menuju ke arah muara, di
sekitar sungai Simpang Kanan tumbuh menjamur kerajaan-kerajaan kecil. Antara
lain: Kerajaan Jantan Arus (seberang sungai Simpang Kanan), Kerajaan Bajar
Pintor di Hilir Pakiraman, Kerajaan Betahpe didekat Kampung Surau, Kerajaan
Kehing dan Raba (keduanya di belakang Cibubukan), Kerajaan Uhuk Latar (di
belakang Surau) dan Kerajaan Huta Batu. Menurut trombo,
kerajaan-kerajaan kecil itu tunduk kepada Kerajaan Pagaruyung Minangkabau,
keturunan dari Cindur Mata. Ketika Putra Maharaja Minangkabau kawin dengan
Putri Aceh, wilayah Simpang Kanan dan Simpang Kiri yang disebut juga “Rantau
12” dijadikan Mas Kawin. Dengan demikian kerajaan-kerajaan tersebut menjadi
daerah kekuasaan Aceh.
Penobatan raja-raja di
semua wilayah kekuasaan Aceh, dilakukan langsung oleh Sultan Aceh. Biasanya
dilaksanakan dalam sebuah upacara dengan Surakata dan Keris kebesaran (Bawar).
Kemudian di wilayah Singkil Hulu ini, terbentuklah kerajaan-kerajaan kecil yang
disebut “Raja Sinambelas” (Raja 16) yaitu :
Simpang Kanan : terdiri
dari Raja Tanjung Mas, Raja Surau, Raja Selatong, Raja Ujung Limus, Penghulu
Pakiraman, Penghulu Simsim, Penghulu Rantau Panjang, Penghulu Tanah Merah,
Kejeruen Sarasah, O.K. Balau Punaga dan Saping.
Simpang Kiri : terdiri dari
Raja Tualang, Raja Kota Baru, Raja Pasir Belo, Raja Binanga, Penghulu Belegen,
Penghulu Kumbi, Penghulu Batu-batu, Penghulu Longkip dan Penghulu Samar Dua.
Mereka (baik yang di
Simpang Kanan maupun yang di Simpang Kiri) memimpin sepetak wilayah.
Wilayah-wilayah tersebut kemudian terkenal dengan nama penguasanya. Misal
wilayah yang dipimpin oleh Raja Tualang, dikenal orang sebagai Kerajaan
(Negeri) Tualang. Ketika Singkil dianeksasi oleh Belanda dan dijadikan enderafdeeling pada
tahun 1840, keduapuluh penguasa (raja) itu disatukan dalam sebuah wadah bernama
Dewan Rapat. Tetapi mereka tetap memimpin daerah masing-masing. Kepada
raja-raja tersebut, Belanda memberikan juga tongkat jabatan. Raja Tanjung Mas
(dari Simpang Kanan) dan Raja Tualang (dari Simpang Kiri) diberi tongkat
jabatan berjambul emas, mengingat keduanya adalah raja yang diangkat oleh
Kesultanan Aceh pertama kali. Sedang raja-raja lain diberi tongkat jabatan
berjambul perak. Setiap raja didampingi pengapit(Mentri) dalam
melaksanakan tugasnya.
Sejarah Singkil sangat
menarik untuk dikaji, baik dari segi sejarah, sosial, ekonomi, budaya, dan
politik. Hal itu disebabkan kota tersebut pernah mengalami kejayaan, terutama
di bidang ekonomi sekitar abad ke-18 ketika Kota Singkil menjadi Banda
(pelabuhan) di bagian pantai selatan Aceh dan sekaligus menjadi kota
perdagangan. Pada saat itu segala perdagangan lada yang akan diekspor ke
Amerika Serikat harus melalui Kota Singkil (A.Doup, 1899). Bahkan kota tersebut
menjadi daya tarik penduduk daerah lain sebagai tempat untuk bekerja. Pada saat
itu memang ada istilah bagi penduduk di Aceh yang mengatakan pergi ke rantau
barat yang berarti pergi ke pantai selatan Aceh untuk mencari nafkah dan
sekaligus bertanam lada (C. Snouck Hurgronje, 1906). Daerah Trumon merupakan
salah satu daerah penghasil lada di Pantai Barat yang saat itu berada di
wilayah Singkil (G.A. Fokker, 1935 dan J.Siegner, 1940).
Menentukan kapan kota
Singkil dibangun pertama kali tentunya merupakan pekerjaan yang sangat sulit
apabila menentukan tanggal, bulan atau tahun. Pendekatan yang digunakan paling
maksimal kemungkinan hanya dapat memperkirakan pada abad keberapa sebenarnya
kota Singkil dibangun. Keterbatasan ini kiranya berkaitan dengan bukti sejarah
dan empiris yang ada saat ini yang tidak dapat mendukung secara maksimal dalam
menentukan kapan kota tersebut sebenarnya mulai dibangun. Oleh karena itu,
berbagai pendekatan yang sifatnya tidak langsung, terutama melalui pendekatan
sejarah mutlak harus dilakukan dan kemudian dilanjutkan dengan pendekatan empiris
melalui sebuah penelitian yang komprehensif dan melibatkan berbagai pakar,
terutama dalam bidang Arkeologi dan Paleantropologi. Seperti diketahui bahwa
Syekh Abdurrauf Al Singkili lahir pada pertengan abad ke –17 (1616-1693) (Liaw
Yock Fang, 1993). Apabila dikaitkan dengan kelahirannya secara tidak langsung
menunjukkan bahwa kemungkinan Kota Singkil telah dibangun pada abad tersebut.
Hal ini mengingat bahwa Abdurrauf Al Singkili lahir di kota tersebut.
Catatan-catatan asing yang
tertua mengenai Singkil masih sedikit didapatkan, kecuali Barus dan Fansur
(walaupun dahulunya Singkil juga termasuk wilayah Fansur) yang memang sudah
banyak dikenal karena hasil alamnya yaitu kapur barus. Baru setelah abad ke-9
M, di samping Barus dan Fanshur sudah mulai banyak catatan, terutama dari
pelawat Islam tentang Niyan (Nias). Buzurg ibn Shahriyar Ramhurnuz (850 M)
dalam bukunya Akhbar al Sin wal Hind, menyebutkan bahwa ”penduduk yang ada di
sekitar Barus masih primitif. Kalau ada kapal yang karam di laut dekat Fanshur,
para pelawat asing tersebut berusaha mencapai Lamuri, karena di sana ada teman
sebangsanya dan untuk dapat memudahkan pulang ke negerinya dengan menumpang
kapal.”
Agresi Belanda ke Singkil
melalui Perang Batu-Batu, menyebabkan wilayah singkil berada dalam sistem
pemerintahan langsung (Gubernemen Gebied) seperti halnya Aceh Besar, sebagai
daerah yang berhasil dikuasai oleh Belanda melalui perang. Belanda kemudian
mendirikan pemerintahan di Singkil, dan antara tahun 1903-1908 Landschap Trumon
termasuk dalam kekuasaan onderafdeling Singkil. Apabila ditinjau
perkembangan ekonomi Kota Singkil pada abad ke-18 ternyata cukup maju sebagai
kota perdagangan. Dijelaskan bahwa nilai ekspor barang dikirim melalui
pelabuhan Singkil pada tahun 1851 mencapai 300.000 Gulden. Barang-barang yang
paling bernilai diekspor melalui pelabuhan Kota Singkil adalah lada. Hasil bumi
lainnya yang berasal dari wilayah Singkil yang di ekspor melalui pelabuhan
Singkil adalah minyak nilam, damar, karet, gambir, kelapa, rotan dan kapur barus.
Perkembangan kota Singkil selanjutnya bagaikan sebuah drama yang meninggalkan sebuah tragedi yang memilukan. Pada saat kota tersebut mengalami perkembangan ekonomi yang sangat pesat tiba-tiba pada tanggal 12 Februari 1861, kota Singkil hancur karena dilanda gempa bumi (tektonik) dan gelombang laut yang sangat dahsyat (E.B. Kielstra, 1892). Daerah lain di pantai barat Aceh yang dilanda gempa bumi tersebut adalah sebagian dari wilayah Aceh Selatan, seperti Meukek, Susoh, dan Kuala Batee. Gempa bumi tersebut telah mengakibatkan hancurnya hampir semua infrastruktur yang dibangun pemerintah Belanda sebelum tahun 1852 dan juga telah menghancurkan perkebunan lada penduduk tidak hanya di Singkil, melainkan juga di daerah lain di pantai barat Aceh.
Secara administrasi kota
Singkil mempunyai 4 desa, yaitu desa Kilangan, Ujung, pasar, dan desa Pulau
Sarok. Pada tahun 1905 penduduk Kota Singkil berjumlah 1.665 orang, namun pada
tahun 1930 jumlah penduduk berjumlah 5 kali lipat, menjadi 3.301 orang (W.K.H.
Ypes,1907 :284 dan J.Pauw, 1935 : 75). Meningkatnya jumlah penduduk tersebut
berkaitan erat dengan status kota Singkil sebagai pusat administrasi dan
perdagangan, sehingga merupakan faktor penarik bagi penduduk daerah lain untuk
bermigrasi ke daerah tersebut. Selain berfungsi sebagai pusat administrasi,
kota Singkil juga berfungsi sebagai pusat perdagangan. Setelah pindah ke kota
Singkil Baru, Singkil kembali menemukan kejayaannya sebagai kota perdagangan
yang cukup dikenal di pantai selatan Aceh. Kota Singkil merupakan tempat
transit barang-barang yang akan diperdagangkan, terutama barang-barang yang
berasal dari Alas, Dairi, Simeulue, dan Pulau Banyak, demikian pula sebaliknya
(G.A. Fokker, 1936). Pada zaman Belanda, kota Singkil secara teratur dalam dua
minggu sekali disinggahi oleh kapal KPM. (J.J. van de Velde, 1987).
Salah satu peninggalan yang
cukup penting dan merupakan bukti bahwa kota Singkil merupakan kota perdagangan
dapat dilihat dari bentuk rumahnya. Sebagian besar bangunan rumah bertingkat
dua, sebelumnya rumah-rumah tersebut berfungsi sebagai tempat berjualan dan
tempat tinggal. Pada bagian bawah biasanya digunakan sebagai tempat berjualan,
sedangkan di bagian atas berfungsi sebagai tempat tinggal. (Kompas, 1991). Pada
saat ini kebanyakan rumah tersebut berfungsi sebagai tempat tinggal dan hanya
sebagian kecil dari penduduk yang menggunakan sebagai tempat berjualan.
Menurut legenda atau cerita
orang tua-tua, bahwa asal-usul Singkil itu dari tiga tempat yaitu Kampung
Gelombang di alur Lae Souraya Simpang Kiri adalah daerah yang pertama sekali
terhempas oleh gelombang pasang naik, dan sebagai muaranya adalah Kuala Kapeng.
Akibat erosi sungai, lama-kelamaan menimbulkan tanah yang muncul ke permukaan
sehingga sungai menjadi dangkal dan beralih ke daerah lain. Akibat erosi sungai
tersebut muncul daerah Paya Bumbung, Rantau Gedang, Teluk Ambon, Kuala Baru.
Kampung Singkil Lama, menurut cerita sudah tenggelam. Daerah itu dahulu
terletak di depan daerah Kilangan yang bernama Pasir Tangah. Menurut cerita,
sekitar tahun 1890 pada hari Jumat terjadi amukan Lautan Hindia (Lautan
Indonesia), air laut mengadakan pergeseran yang begitu cepat dengan membawa
arus gelombang yang membersihkan pantai pelabuhan Singkil, sehingga hilang dari
permukaan. Sebagian dari mereka dapat menyelamatkan diri dan pindah ke daerah
Singkil sekarang, yang disebut daerah Singkil Baru, oleh Belanda menamakannya
dengan Niew Singkil. Dari tiga daerah itulah disebutkan asal wilayah Singkil.
Wilayah Pasir Tangah manakala air surut dapat kelihatan batu-batuan bekas
rumah. Daerah ini menjadi lautan yang berbahaya bagi para nelayan, yang disebut
Ujung Singkil.
Cerita lain menyebutkan,
bahwa Singkil pada mulanya terletak di daerah yang telah mempunyai bahasa
sendiri sehingga disebut Singkel, yang berasal dari kata Sikkel (suka, senang
atau ingin), yang kemudian berubah menjadi Singkel. Hal ini terjadi dari
asimilasi para pedagang Timur Tengah dengan suku Hindia, dan penduduk asli,
sehingga muncul suatu kebudayaan tersendiri. Asal kata Singkil juga disebutkan
bahwa pada zaman perdagangan dengan perahu layar dahulu, ketika terjadi angin
ribut dan badai, maka para awak perahu tersebut menyingkir mencari tempat
perlindungan dengan memasuki teluk-teluk yang ada di sekitarnya. Disebabkan
kebiasaan menyingkir itu, maka lama-kelamaan menjadi Singkil, yang maksudnya
menyingkir.
Nama Singkil mulai banyak
terdapat dalam catatan asing sekitar abad ke-16 M, bahkan seorang ulama yang
terkenal di Aceh dan juga Nusantara yaitu Syaikh Abdurrauf Syiah Kuala juga
berasal dari Singkil. Seorang pencatat bangsa Portugis terkenal bernama Tome
Pires, menulis buku laporan mengenai Nusantara dari tempat tinggalnya di Malaka
antara tahun 1512-1515 M. Ia menulis mengenai pantai barat Sumatera, seperti
Andalor (Andalas), Tiquo (Tiku), Pariaman, Minhac Barras (Nias) serta Baruus
(Barus), juga untuk pertama kalinya menyinggung tentang kerajaan Chinquelle
atau Quinchell (Singkil). Tome Pires menyebutkan bahwa Kerajaan Singkil
berbatasan dengan Kerajaan Barus, di sebelah utara berbatasan dengan Kerajaan
Mancopa atau Daya, Aceh Barat (sekarang Aceh Jaya), sedangkan penduduknya yang
di pedalaman bersifat kanibal. Raja Singkil pada waktu itu belum beragama. Di
wilayah kerajaan Singkil ini banyak menghasilkan damar, sutera, lada, emas.
Mempunyai perahu yang laju dan ada sungai-sungai. Kerajaan Singkil itu
melakukan hubungan dagang dengan Pasai, Barus, Tiku dan Pariaman. Penduduk yang
tinggal di pedalaman memakan daging manusia dari musuh-musuh mereka yang
tertangkap. Menurut Veth (1873) nama Sinckel juga sudah mulai ada dalam peta
Petrus Plancius pada tahun 1592 M.
Tom Pires juga menyebutkan
bahwa Singkil dibagi dalam dua kerajaan, yaitu Singkil Hulu dan Singkil Hilir.
Dalam Kerajaan Singkil Hulu terdapat sekitar sebelas kerajaan kecil di kawasan
Simpang Kanan, dan sepuluh kerajaan kecil di kawasan Simpang Kiri. Sedangkan
kerajaan-kerajaan Singkil Hilir termasuk Pulau Banyak dibagi dalam tujuh daerah
kerajaan.
Secara administratif pemerintah kolonial Belanda membagi keresidenan Aceh menjadi dua wilayah yang mereka sebut rechtreeks bestuur gebied daerah yang diperoleh oleh Belanda melalui perang. Kepala pemerintahan disebut districthoofd dan daerah taklukan atau zelfbestuur gebied, juga disebut landschap (swapraja), yang dikepalai oleh zelfbestuurder. Onderafdeling Singkil pada waktu itu termasuk dalam Onderafdeling Zuidelijk Atjeh Landschappen, yang terdiri atas distrik Singkil, Simpang Kanan, Simpang Kiri, dan Onderafdeling Banyak Einlanden (Pulau Banyak). Distrik Hoofd Singkil adalah Datuk A. Murad, Simpang Kanan oleh T. Raja Hidayo, Simpang Kiri oleh Ruhum, dan Onder District Pulau Banyak oleh Raja Alamsyah. Controleur onderafdeling Singkil pernah dipegang oleh A.J. Piekaar.
Pada tahun 1861 hingga
1907, untuk lebih mudah pengawasan, maka Pemerintah Hindia Belanda atas
permintaan komandan tentara Belanda di Kutaraja menugasi Pootman sebagai
residen yang sekaligus diperbantukan kepada tentara KNIL, memegang pemerintahan
militer selama pemerintahan sipil belum terbentuk, dan memutuskan bahwa wilayah
Singkil tunduk kepada Gubernur Sipil dan Militer Aceh yang berkedudukan di
Kutaraja. Hal tersebut ditetapkan pada tahun 1905 dengan Stbl. No. 440.
Controleur J.C. Tigelman sesuai dengan laporan terakhirnya pada tanggal 15 Nopember 1941, bahwa wilayah Singgkil terdiri atas 4 jabatan districthoofd dan 16 onderdistricthoofd, yaitu: District Benaden Singkil terdiri atas Onderdistrict Benaden Singkil adalah Datuk A. Murad, Onderdistrict Rantau Gadang, Onderdistrict Teluk Ambon, dan Onderdistrict Paya Bumbung oleh Raja Maholi. Distrik Simpang Kanan terdiri atas Onderdistrict Tanjung Mas oleh Datuk Bambon, Onderdistrict Belegen, Onderdistrict Kombih oleh Datuk Ruhum, Onderdistrict Kota Baru oleh Raja Baharu, Onderdistrict Tualang oleh Raja Gontar, Onderdistrict Longkip oleh Raja Kuta, Onderdistrict Pasir Belo oleh Raja Yusuf, serta Onderdistrict Batu-Batu oleh Raja Kamaruddin. District Banyak Einlanden oleh Sutan Umar, terdiri dari Onderdistrict Pulau Tuanku oleh Datuk Somik dan Onderdistrict Pulau Delapan oleh Datuk Badiaga.
Dalam beberapa almanak
Pemerintah Hindia Belanda diterangkan bahwa Kota Singkil (Singkil pertama)
telah dibangun pada tahun 1841. Dijelaskan bahwa pada saat itu daerah tersebut
merupakan salah satu wilayah yang tergabung dalam Keresidenan Tapanuli. Data
atau informasi yang disajikan tersebut kiranya perlu disikapi secara hati-hati,
apakah Kota Singkil memang baru dibangun pertama kali pada tahun 1841 atau pada
saat itu kota tersebut hanya melanjutkan program pembangunan yang telah ada
sebelumnya. Akan tetapi yang jelas semenjak saat itu mulailah di Kota Singkil
dibangun berbagai fasilitas pemerintahan, seperti rumah controleur (1843),
Pendopo (1847), Kantor Keuangan (1850), Kantor Bea Cukai dan Pelabuhan (1850),
dan sebuah Rumah Sakit Militer (1949). Selain itu, dibangun pula pemukiman
penduduk dan pasar. Pada saat pemerintahan Belanda melakukan Sensus Sosial
Ekonomi pada tahun 1852 diterangkan, bahwa semua infrastruktur yang telah
dibangun sebelumnya masih dalam kondisi yang baik kecuali rumah controleur.
Kemudian pada tahun 1857 dibangun pula sebuah penjara.
Secara geografis kota
Singkil pertama terletak di sebelah barat kota Singkil yang sekarang yaitu
tepatnya terletak di ujung kota Singkil. Bekas kota Singkil pertama tersebut
saat ini terletak jauh di tengah laut dan daerah itu merupakan jalur yang
berbahaya bagi pelayaran kapal. Para nelayan Singkil menyebut lokasi tersebut
dengan nama Berok. Pada saat pasang surut kadang-kadang bekas bangunan
perumahan penduduk pada jaman dahulu muncul ke permukaan dan dapat dilihat,
terutama oleh nelayan-nelayan yang sedang menangkap ikan. Selain itu,
bekas-bekas bangunan dan peralatan rumah tangga penduduk kota Singkil pertama
sering pula didapatkan penduduk pada saat mereka melaut. Hanya sayangnya
berbagai bukti sejarah tersebut tidak pernah diinventarisasi dan diteliti.
Setelah kota Singkil
pertama hancur mulailah pemerintah Belanda mempersiapkan sebuah kota baru yang
lokasinya agak menjorok ke darat dan persiapannya dimulai sejak tahun 1861
sampai tahun 1863. Kota tersebut mulai ditempati pada pertengahan tahun 1863
dan dikenal dengan kota Singkil kedua. Kota Singkil kedua tersebut terletak
berseberangan dengan kota Singkil yang sekarang. Kota Singkil kedua sering juga
disebut dengan Singkil Lama. Sedangkan kota Singkil yang sekarang disebut
dengan Singkil Baru (Niew Singkil). Kota Singkil kedua tersebut terpaksa harus
ditinggalkan karena terjadinya pendangkalan di muara sungai Singkil yang
mengakibatkan jauhnya kapal-kapal untuk bongkar muat barang, terutama untuk
kepentingan militer Belanda.
Kota Singkil sekarang
terletak di tepi muara sungai Singkil dan pinggir pantai barat Aceh. Kota
Singkil merupakan kota yang dipersiapkan Belanda sebagai pusat administrasi.
Sebelum memindahkan Kota Singkil lama tersebut, pemerintah Belanda terlebih
dahulu mengatur tata kota Singkil Baru dengan mendirikan kantor-kantor
pemerintah, rumah controleur, tangsi Militer, rumah Beacukai, Dermaga,
Mercusuar, Lapangan Bola Kaki, Gedung Sekolah, lokasi rumah penduduk, dan
pengaturan jalan-jalan. Rumah-rumah orang Eropa sengaja dibangun tersendiri dan
menghadap sebuah danau besar yang semula merupakan alur sungai Singkil. Bekas
danau tersebut saat ini telah ditumbuhi berbagai tumbuhan rawa, seperti nipah
dan eceng gondok yang mengakibatkan terjadinya pendangkalan di muara sungai
Singkil.
Pemerintah Hindia Belanda
juga membangun rumah Datuk Besar Singkil yang biasa disebut dengan Rumah Gadang
dan sebuah mesjid besar. Selain itu, pemerintah Hindia Belanda juga membangun
sebuah kantor pos serta kantor telegram yang dapat menghubungkan kota Singkil
dengan berbagai kota lainnya di Indonesia. Sebagian bangunan peninggalan
Belanda tersebut masih dapat dijumpai di kota Singkil seperti rumah Gadang,
rumah controleur dan dermaga. Sebaliknya bekas-bekas rumah orang Eropa
kebanyakan sudah diruntuhkan dan diganti dengan bangunan kantor pemerintah.
Wilayah Singkil yang
terletak di pantai barat Sumatera, berdasarkan keputusan Pemerintah Hindia
Belanda tanggal 10 Oktober 1908 No. 3 serta Stbl. No. 604 tahun 1908, sebagai
berikut:
Di pantai Lautan Hindia (Indonesia) pada ketinggian puncak dari Blang Sulpa ke Lae Muntu, kemudian ke arah kanan dari ujung sungai dan terdapat jalan kecil dari pangkalan Cinendang yang membelah dari Sukananing dan pangkalan Puge. Dari pangkalan Puge sampai ketinggian puncak Dleng Pemberangan dan Deleng Belilingen, Deleng Cambaren, Deleng Pangulubalang, Deleng Pabaken Singkeruh ke Muara Sibalik. Selanjutnya menuju ke depan dari seberang Simpang Kiri ke Lae Bengkong dengan perbatasan sungai. Garis perbatasan utara Singkil dengan Alas dapat dilihat dari Lae Bengkong sampai pantai laut Itam.
Perbatasan
sebelah barat sesuai dengan surat keputusan Gubernur Hindia Belanda pada
tanggal 27 Januari 1930 No. 32/p.z, sebagai berikut: sebelah kiri dari Alur
Putih atau arah timur menuju Gunung Manu dan ke arah selatan menuju Titi Orat.
Dari Titi Orat ke arah Selatan menuju Titi Toro. Arah sebelah barat menuju Suak
Mangkuto sampai ke ujung Lintang Utara sungai-sungai yang membelok dari arah
barat kemudian ke batas berikutnya sampai pada tempat Mampelam dan terakhir ke
arah kanan Barat Daya mengarah ke Ujung Pasir Galak. Sebelah selatan merupakan
batas lautan Indonesia termasuk Pulau Banyak di sebelah barat daya Singkil
serta lima pulau besar di Ujung Manuk-Manuk.
2 komentar
salam kenal..
ReplyDeletecatatan yg sangat lengkap ttg singkil
terima kasih
Assalamu'alaikum, sanak.
ReplyDeletekok bisa, share juo la tentang budaya-budaya singki, baapo tata letak urang2 singki membangun rumah, dll.
penasaran juo awak baapo singki ko tempo dulu