Melepaskan
By Si Anak Rimo - March 29, 2016
Pagi itu di dermaga desa Meulingge,
seorang pemuda bernama Farid berangkat meninggalkan kampung halamannya.
Ditepian dermaga kedua orang tua dan satu orang adik nya melepas kepergiannya
dengan air mata. Di dalam boat ia bertemu dengan seorang dosen Unsyiah yang
baru selesai melakukan penelitian di Pulau Aceh. Melihat tas carrier besar Farid
dosen itu pun bertanya hendak kemana kepada Farid, Farid pun mengatakan bahwa
ia ingin merantau ke Semarang. Alasannya memilih Semarang karena ia memiliki
seorang teman disana, berbekal semangat dan selembar ijazah ia pun membulatkan
tekadnya untuk merantau. Sesampainya di pelabuhan Lampulo Banda Aceh, terlihat
wanita berkerudung cokelat menantinya untuk mengantarnya ke bandara. Wanita itu
adalah Nabila, adiknya yang kini kuliah di UIN Jurusan Bahasa Inggris. Mereka
bersantai sambil menikmati rujak di salah satu warung dekat Bandara
Iskandar Muda, karena penerbangan masih beberapa jam lagi, kakak beradik ini
pun melepas rindu dengan diskusi tentang kuliah adiknya. Beberapa saat setelah
itu, ia pamit sambil mencium kening adiknya di bandara. Farid pun terbang
meninggalkan kota tempat ia tumbuh besar dan menuntut ilmu selama ini. Sesampai
di Semarang ia disambut oleh Reza, teman lamanya sewaktu sekolah SMA dulu
di Banda Aceh, dengan motor tua yang masih antik mereka pun melaju membelah
Kota Semarang. Dalam perjalanan ia bertekad untuk membiayai kuliahnya dengan
uang pribadi.
Setelah beberapa hari disana, seorang teman mengabarkan satu program pemerintah untuk mengirimkan anak muda ke pelosok Indonesia, telah lama Farid ingin ambil bagian pada program ini sewaktu kuliah, namun karena beberapa kendala ia belum dapat mendaftar. Ia selalu teringat kampung halamannya yang masih sangat tertinggal, Desa Meulingge Pulau Aceh, salah satu pulau terluar di Barat Indonesia. Ini salah satu alasan kenapa ia dan adiknya semangat untuk terus sekolah. Setelah bergelut dalam hati dengan berbagai pertanyaan, akhirnya diisinya semua persyaratan dan essay panjang di website pemerintah.
Melihat uang yang sudah tidak banyak lagi
sembari menanti pengumuman, Farid berkerja di warnet untuk menambah uang
jajan dan membiayai hidupnya selama di Semarang. Warnet yang tak pernah sepi
ini adalah milik paman temannya. Reza meminta pamannya untuk mengizinkan Farid
untuk berkerja disini waktu itu. Ia mengambil jadwal senin sampai jumat mulai
pagi hingga sore untuk berkerja, biasanya malam hari ia habiskan untuk
istirahat di sebuah kontrakan kecil bersama suara jangkrik dan katak yang
sesekali bersuara. Tak lupa ia belajar untuk mengikuti ujian pasca sarjana
bulan depan, dalam lamunan ia terpikir akan biaya kuliah yang mahal, darimana
biaya itu ia dapatkan. Dalam pembaringan Farid teringat keluarga yang ia
tinggalkan, keluarga yang telah membiayai kuliahnya selama 5 tahun. Sudah
banyak kerbau yang dijual untuk membiayai kuliahnya dan sekolah adiknya di
Banda Aceh. Sebagai anak pertama, ada harapan yang besar kepadanya. Sebelum
tidur ia biasanya melaksanakan shalat malam untuk berdoa kepada sang Pencipta
agar diberikan kemudahan dan nikmat kesehatan untuk keluarganya di kampung
sana.
Sudah sebulan lamanya ia berkerja di
warnet, ia akhirnya mengikuti ujian pasca sarjana di sebuah kampus. Setelah
selesai ujian ia singgah di bank untuk mengirimkan uang jajan buat adiknya.
Farid ingin melanjutkan kuliah di bidang ekonomi, namun kadang ia harus berpikir
panjang karena tak adanya biaya. Di meja kasir warnet ia menghabiskan hari –
harinya, sebuah pesan masuk menyatakan bahwa ia lulus program pemerintah untuk
dikirimkan sebagai tenaga penggerak pedesaan dan diminta menanti informasi
selanjutnya. Beberapa hari kemudian pengumuman untuk pasca sarjana pun keluar,
diperhatikannya baik baik pengumuman di website kampus dan ia melihat namanya
tidak lulus.
Salah satu harapannya untuk bisa
melanjutkan kuliah di kampus itu pun tertunda, lewat handphone ia kirimkan
kabar kepada orang tuanya bahwa ia belum berhasil. Tak lupa juga ia kabari
adiknya, terlihat senyum yang tak seindah dulu di wajah Farid. Selesai berkerja
ia pun beristirahat di kamar, terlalu banyak beban pikiran yang ditanggungnya.
Orang tua yang semakin tua, biaya kuliah adik yang terus bertambah serta
mimpinya yang serasa berat untuk diwujudkan. Ia teringat seorang gadis yang
dulu akrab saat masih kuliah di Banda Aceh, gadis itu bernama Zidna Ilma, ia
kuliah di Jurusan Pendidikan Biologi Unsyiah. Biasanya setiap ada masalah ia
selalu berbagi kepada Zizi, panggilan kecil buat gadis itu. Namun kini ia tak
mungkin lagi bisa berbagi kepada Zizi, seorang lelaki mapan telah melamarnya
dan mereka akan menikah tahun depan. Sulit buatnya untuk melupakan semua nya,
namun itu sudah menjadi jalan hidup yang harus dilaluinya. Ia masih belum
percaya orang yang dulu begitu dekat dengannya kini menjadi orang yang begitu
jauh, menjadi orang asing. Namun seiring waktu ia telah mengikhlaskan semua
nya, sering ia berdoa agar Zizi dan lelaki itu bahagia dan selalu sehat.
Hiruk pikuk kota besar selalu memberi
warna yang berbeda terhadap pemuda desa ini. Ia tetap menjaga pesan – pesan
kedua orang tuanya. Sebelum pulang berkerja, ia membuka email dan melihat pesan
bahwa ia harus berada di Jakarta 4 hari setelah ini. Semua biaya akan diganti
oleh panitia saat sudah sampai di ibukota nantinya. Pemerintah akan memberikan
pelatihan kepada penggerak sebelum dikirim ke daerah pelosok. Ia pun
memberitahu Reza dan pamannya bahwa ia hendak pamit, perihal kelulusannya pada
program Sarjana Penggerak Desa pun diceritakannya. Tak lupa ia pamit dan
mengucapkan terima kasih atas bantuan selama ini.
Badan nya terasa gerah dan sangat lelah,
namun ia merasa sangat bahagia karena ia dapat mengabdi dan menerima gaji, gaji
yang dapat ia kirimkan untuk biaya kuliah adiknya. ia pun memutuskan untuk
mandi. Saat mandi handphone nya terus berdering tiada henti, namun tak jelas
kedengaran karena suara mesin air yang begitu deras. Ia melihat ada enam
panggilan tak terjawab, dilihatnya ada nomor baru. Ia pun memutuskan untuk
menelpon balik, suara menangis dan ramai terdengar jelas. Lalu seorang wanita
mengabari bahwa adiknya nabila kecelakaan saat hendak mengajar anak pemulung di
Kampung Jawa, ternyata Zizi yang menelponnya tadi, zizi mengabarkan kondisi
adiknya kritis dan mengalami patah tulang di beberapa bagian. Tak lama
berselang ibunya menelpon dan memintanya untuk segera pulang ke Aceh, sanak
saudara telah berangkat ke Banda Aceh dengan meminjam boat pakciknya.
Air mata berjatuhan tiada henti,
kebahagian yang baru beberapa menit yang lalu hendak ia kabarkan kini berubah
menjadi kesedihan. Nabila adalah adik yang sangat ia cintai, adik cantik yang
pintar dan selalu menjaga kedua orang tuanya kini berbaring lemas dirumah sakit
tak sadarkan diri. Berbekal uang yang tak banyak Farid membeli tiket dan
mengemas semua pakaiannya untuk segera balik ke Aceh. Di dalam pesawat ia
meneteskan air mata mengingat wajah adiknya yang sangat semangat belajar dan kening
yang ia cium sesaat sebelum meninggalkan tanah Aceh. Kini ia harus kembali
meninggalkan mimpi yg hampir ia raih untuk menjadi sarjana penggerak desa.
Sesampainya di Aceh ia langsung menuju rumah sakit Zainal Abidin, ia salami
kedua orang tuanya dan sanak saudaranya, kemudian duduk ia disamping nabila
sambil mencium tangan adiknya itu. Sesekali terlihat gadis yang dulu pernah
dekat dengannya, Zidna Ilma hadir bersama dengan pria berpakaian dinas. Semakin
sesak serasa dada Farid. Ia pun berjanji dalam hati untuk tidak akan pergi dan
akan menjaga Nabila sampai pulih dan bisa melanjutkan kuliah lagi.
Farid menunda mimpinya untuk berada di
pelosok negeri ini, kini ia habiskan hari – harinya menjaga adiknya agar segera
pulih. Karena ia melihat mimpi yang besar di senyum adiknya, adik yang
mengantikannya untuk mengajar di Kampung Jawa selama ia tidak lagi di Aceh.
Kakak beradik ini saling mengisi menjaga mimpi mereka, mimpi untuk mengejar
cita – cita dan pulang ke Pulau Aceh.
0 komentar