Kemarin sore, tiba - tiba
handphone saya berdering dan Ayah meminta saya agar segera pulang ke rumah karena
ada hal penting yang harus dibicarakan. Saya gundah dan gelisah, apa gerangan panggilan
yang tak biasa ini. Apa mungkin karena beliau melihat banyak anak muda belajar
untuk persiapan tes PNS dan saya tak ikut ujian ini, atau saya melakukan kesalahan. Saya rasa wajar orang tua ingin anaknya bahagia dan menjadi seorang PNS, agar kita memiliki jaminan di hari tua.
Tak lama setelah sampai di rumah, Ibu dan Ayah bertanya langsung
atas pilihan hidup yang saya pilih, saya telah memilih istirahat dari dunia pemerintahan dan akan fokus ke dunia bisnis, wajar sekali ia harus tanyakan dengan
serius karena harapan mereka berbeda sekali dengan mimpi yang saat ini anaknya
tekuni. Jangankan saya, Ibu dan Ayah saja luar biasa gundah dan gelisahnya
dengan keberanian saya dalam usaha, bahkan saya menghabiskan seluruh tabungan
tanpa sisa serupiah pun, tabungan untuk melanjutkan kuliah pun yang dijaga
ketatnya seperti Bank Swiss pun harus kandas, belum lagi uang mahar menikah
yang saya habiskan hingga saat mendekati hari H saya mondar mandir menutupi
semua ini seorang diri tanpa siapapun yang tahu, seluruh keluarga pun takut
akan pilihan saya ini, tapi saya tidak khawatir sedikitpun. Saya tak menyangka
harus menghabiskan biaya sebegitu, wajar saja kami terkejut karena anak muda
tak kuat dalam modal.
Saya harus akui, saya merasakan
lelah yang sangat saat itu. Saya menangis dalam keheningan malam berkali - kali
kala itu, dalam dunia politik yang keras saja pun saya hanya dua kali menangis,
melihat pengkhianatan secara langsung dan melihat anak anak di wilayah banjir
pinggiran sungai yang terkena kudis dan putus sekolah, hanya itu. Menghadapi
dunia baru yang sejatinya saya tak punya banyak bekal secara sendirian,
rintangan yang tak kunjung habis bahkan sampai berpikir menjual kembali usaha
yang hendak dirintis, sampai saya sama sekali tak memikirkan pernikahan yang
sudah sangat dekat hingga Ibu berkata ini serius atau gimana menikah, jangan
main main Mamak udah capek, karena Ia melihat siang malam keliling dan belajar
menyiapkan usaha kecil ini, padahal masalah ini mudah sekali diselesaikan jika
saya mau saja sedikit menggunakan relasi atau apapun yang melekat kepada saya
sebagai seorang yang masih aktif di lingkaran dalam kekuasaan. Mudah sekali.
Ibu tahu bahwa saya adalah
orang yang nekad atas pilihan yang saya ambil, pernah terpikir untuk menjual
seluruh benda yang saya miliki, bahkan emas yang usianya baru beberapa minggu
setelah menikah pun terpikirkan, tak lama setelah itu ibu pun menelpon istri
mengingatkan agar Rahmad didampingi dalam mengambil keputusan, karena anaknya
nekad. Begitulah cara Allah menjaga, saat hal yang tak diinginkan terjadi, ia
gerakkan Ibu untuk mengingatkan. Kadang sangking lelah dan gelisah, saya selalu
menonton video pengusaha saat merintis, ternyata mereka juga berdarah - darah
juga.
Saya pun bersyukur sekali
melewati semua ini tanpa menggunakan apa yang melekat kala itu, walau siang
malam pontang - panting mencari suntikan modal, ikhtiar ini saya jalani hanya
karena saya benar benar ingin mandiri. Saya bahkan tak berani meminjam uang
orang tua dan keluarga kala itu, alasannya saya takut direpeti karena usaha
ini. Biarlah jika pun gagal dll, saya yang hadapi sendiri. Saat itu juga saya
belajar untuk tidak akan pernah lagi memberikan loyalitas yang begitu penuh
kepada orang - orang yang tidak menyediakan ruang hatinya walau sesenti pun
untuk kita yang kadang menempatkan mereka bagai raga yang menyatu di tubuh
kita.
Untuk merintis usaha sekecil
ini saja, Allah berikan waktu dan goncangan yang begitu hebat. Hampir saya
menyerah. Kadang wajar saja orang tua saya panik bukan kepalang karena mereka
tau bahwa anaknya ini sejak kecil tak suka dunia usaha dan kopi, eh kini
menjadi pelaku usaha dan pemain kopi. Jangankan berjualan, menjadi kasir di
kede Ibu saja selalu saya hindari. Saya lebih memilih dikebun berterik matahari
ketimbang ditoko menjadi kasir.
Tapi, kemarin Ibu dan Ayah saya
telah tersenyum meridhoi jalan ini, mereka akan mendukung penuh dan hadir di
rintangan yang sedang saya hadapi. Saya katakan kepada mereka, kalau saya hanya
minta istirahat dari dunia politik 2 tahun saja, saya tidak hanya keluar dari
pekerjaan, tapi menjauhi sementara dunia yang saya pelajari sejak kecil dan
mimpi besar kami ada disana, saya takut hadir dalam waktu dekat karena saya
begitu mencintai dunia politik dan pemerintahan ini, tapi saya katakan kepada
Ibu bahwa saya akan hadir bagaimana konstalasi politik beberapa tahun lalu,
insya Allah jika dunia usaha ini saya tekuni dengan sungguh, Allah akan berikan
rahmat-Nya.
Setelah saya dapat
mengembalikan tabungan sekolah yang dulu saya habiskan, saya ingin membiayai
seluruh biaya pendidikan adik - adik dan sanak saudara yang membutuhkan agar mereka bisa sekolah
tinggi seperti harapan orang tua, dan saya berjanji akan kembali melanjutkan
studi yang lebih tinggi, saya ingin negeri yang saya akan diami menjadikan saya minoritas
disana, agar saya bisa belajar lebih banyak dan saya harus rajin belajar dan membangun relasi karena saya melihat butuh banyak sekali ilmu dan relasi serta inovasi untuk
membangun Aceh Singkil yang begitu kita cintai ini.
Oia, sejak merubah mimpi. Doa
dan ridho Ibu adalah hal yang paling besar dan paling saya nantikan. Jika telah
hadir ridhonya, maka Ridho Allah akan datang menghampiri, saya percaya itu.
Saya pun meminta izin agar dalam waktu dekat bisa berjalan keliling di Jawa dan
pulau sekitarnya untuk silaturahmi dan belajar langsung kepada sahabat,
sekalian mencari ide - ide yang harus dijemput.
Sebelum menutup tulisan ini,
beberapa minggu lalu saya bercerita kepada bang Mukhrijal, seorang Abang, Dosen
dan juga mentor kami, selama di Banda dan Jogja yang bercerita bagaimana Bang
Muhajir, pengusaha besar Aceh di Jakarta yang kini jadi bendahara salah satu
partai terbesar, pesan beliau bahwa Bang Muhajir ini sangat sangat cinta dan
memuliakan sekali Ibunya. Makanya rezekinya mengalir seperti air. Beliau adalah
keponakannya, sehingga banyak kisah yang saya pelajari dini hari kala itu. Maka
saya pun menjaga pesan ini agar selalu tertanam di sanubari bahwa Ibu adalah
kunci semua mimpi kami, anaknya.
Sejak saat itu saya selalu
menyempatkan melihat wajah ibu setiap hari, walaupun hanya sepintas atau
sesaat, sambil selalu ke dapur melihat kawan nasi ibu, saya selalu menantikan
ikan asin sebagai lauk pauk, saya menyukai sekali, rutinitas ini dulu jarang
sekali saya lakukan. Kini, Kadang sambil membawa adik sepupu yang masih balita,
agar suasana rumah sedikit hidup. Maklum kami tak pandai membuat suasana
tertawa dll sehingga butuh adik - adik yang lucu dan mengundang tawa. Wahee e
Poma sereuta Ayah, saleum seuneumah dari Aneuknda, nyang that lon gadee doa Mak
ngon Yah supaya Allah keu lon Geuridha.
Moms embrace and warmth are
carried thounshands of kilometer over here. Solidifying my solitiude. Kita anak
muda, tak boleh takut atas pilihan dan rintangan yang silih berganti.
Percayalah, doa Ibu cukup untuk menguatkan langkah kita.
0 komentar