Mengenal sosok Baharudin Lopa, Jaksa yang jujur dan
amanah
Baharuddin Lopa, alias Barlop, demikian pendekar hukum
itu biasa dipanggil, lahir di rumah panggung berukuran kurang lebih 9 x 11
meter, di Dusun Pambusuang, Sulawesi Selatan, 27 Agustus 1935. Rumah itu sampai
sekarang masih kelihatan sederhana untuk ukuran keluarga seorang mantan Menteri
Kehakiman dan HAM dan Jaksa Agung. Ibunda pria perokok berat ini bernama
Samarinah. Di rumah yang sama juga lahir seorang bekas menteri, Basri
Hasanuddin. Lopa dan Basri punya hubungan darah sepupu satu.
Dalam usia 25, Baharuddin Lopa, sudah menjadi Bupati
di Majene, Sulawesi Selatan. Ia, ketika itu, gigih menentang Andi Selle,
Komandan Batalyon 710 yang terkenal kaya karena melakukan penyelundupan. Ketika
menjabat Jaksa Tinggi Makassar, ia memburu seorang koruptor kakap, akibatnya ia
masuk kotak, hanya menjadi penasihat menteri. Ia pernah memburu kasus mantan
Presiden Soeharto dengan mendatangi teman-temannya di Kejaksaan Agung, di saat
ia menjabat Sekretaris Jenderal Komnas HAM. Lopa menanyakan kemajuan proses
perkara Pak Harto. Memang akhirnya kasus Pak Harto diajukan ke pengadilan,
meskipun hakim gagal mengadilinya karena kendala kesehatan.
Lopa buat Pejabat Republik
SUNGGUH mulia Tuhan memperlakukan Prof. Dr. Haji Baharuddin Lopa. Ia dipanggil sang Pencipta pada TANGGAL 3 JULI 2001 di Arab saudi, tak berapa lama setelah menunaikan ibadah umrah di Tanah Suci Mekah. Kepercayaan Islam meyakini, begitu seseorang selesai menjalankan ibadah itu, ia putih bersih dari dosa, sebersih bayi yang baru lahir.
ketika prosesi pemakaman berlangsung di Taman Makam
Pahlawan Kalibata, Jakarta, kemuliaan yang lain didapatnya: ia diberi Bintang
Mahaputra oleh Presiden Abdurrahman Wahid-penghargaan tertinggi untuk jasanya
kepada Republik. Orang akan mengenang makamnya sebagai sebuah monumen tentang
pergulatan negeri ini membebaskan dirinya dari belitan korupsi. Penegak hukum
tanpa kompromi yang luar biasa bersih itu terbaring di liang nomor 100. Di
sebelahnya ada Ibnu Sutowo, bekas Direktur Utama Pertamina, tokoh yang
mengingatkan rakyat akan megakorupsi di perusahaan minyak negara yang nyaris
menenggelamkan RI.
Kematiannya diratapi banyak orang. Bendera-bendera
diturunkan setengah tiang. Skala liputan media tentangnya hanya bisa ditandingi
peristiwa meninggalnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Tien Soeharto. Rabu
dini hari pekan lalu-sehari setelah penyumbatan jantung merenggut jiwanya di
Rumah Sakit Al-Hamadi, Riyadh, Arab Saudi. Riuh lelang ikan di Paotere,
Makassar, digantikan cerita duka para nelayan tentang kepergiannya.
Ketika baru dilantik sebagai Jaksa Agung, putra Mandar
kelahiran Pambusuang, Sulawesi Selatan, 27 Agustus 1935 ini menjadi tumpuan
harapan banyak kalangan untuk menegakkan hukum yang lama terkulai. Keraguan
sementara orang bahwa pengangkatannya cuma didasari kepentingan politik
Presiden Abdurrahman dijawabnya dengan kerja keras. Langsung tancap gas, ia
memacu dirinya kelewat keras di usianya yang sudah 66 tahun. Tiap hari, ia
masuk kantor pukul 08.00 dan pulang ke rumah pukul 16.00. Tapi ini cuma untuk
tidur sore. Katanya, supaya malam hari ia bisa melek bekerja lagi. Pukul 19.30,
ia kembali ke kantornya sampai larut malam. Kadang sampai pukul dua dini hari.
Pribadinya yang sederhana mewakili kerinduan banyak orang akan kehadiran pejabat bersih, yang makin langka di negeri keempat paling korup di dunia ini. Tak seperti para petinggi Republik yang tiba-tiba saja kebanjiran "hibah" semasa menjabat, Lopa mesti menabung sen demi sen gajinya untuk merenovasi rumah sederhananya di pinggiran Kota Makassar, di Jalan Merdeka 4. Salah satu tabungannya adalah sebuah celengan berisi uang receh. Abraham Samad, pengacara Ketua Komite Antikorupsi Sulawesi Selatan, bercerita pernah melihat Lopa membuka sejumlah celengannya. Ternyata uang itu belum cukup untuk membeli balok kayu dan batu. "Terpaksa pembangunan rumahnya ditunda dulu," tuturnya mengenang. Padahal, ketika itu Lopa telah menjabat sebagai Direktur Jenderal Lembaga Pemasyarakatan (Dirjen Lapas).
Selain dari gaji, ia punya mata pencaharian lain. Bukan menjadi konsultan atau komisaris perusahaan konglomerat, melainkan membuka wartel dengan lima bilik telepon dan penyewaan playstation di samping rumahnya di Pondokbambu, Jakarta. Ia juga rajin menulis kolom di berbagai majalah dan harian. Ia terang-terangan mengakui, itu caranya menambah penghasilan dari keringat sendiri.
Tiga minggu lalu, ia menelepon redaksi majalah ini,
menanyakan kolom yang ia kirim tapi belum dimuat TEMPO. Redaksi memang nyaris
menolak kolom itu. Alasan kami, kolom itu aneh, Lopa tiba-tiba menulis soal
narkoba. Isinya juga biasa saja. Kami bisa saja menolaknya, tapi kami tahu
persis Lopa sering perlu uang untuk bertahan dengan kejujurannya. Akhirnya,
redaksi sepakat menugasi redaktur kolom mewawancarai Lopa dan menambah
"kedalaman" kolom itu. Jumat siang, 15 Juni, justru ia yang menelepon
kami. "Apa yang mau kau tanyakan?" katanya. Lalu, wawancara
berlangsung setengah jam dengan redaktur kolom Diah Purnomowati. "Nah, kau
tambah-tambah sendirilah," katanya waktu itu. Kolom narkoba itu kami muat
di edisi 17, akhir Juni lalu. Ketika reporter TEMPO Setiyardi mendatanginya
untuk wawancara setelah kejadian itu, Lopa punya penjelasan menarik mengapa ia
mendadak menulis narkoba: "Biar orang tahu Jaksa Agung juga paham
soal-soal anak muda." Ternyata, itulah kolom terakhirnya.
Honor ratusan ribu dari menulis kolom inilah yang
sering diandalkannya untuk memperbaiki ini dan itu di rumahnya. Di tempat
tinggalnya itu, listrik sering anjlok dan padam kalau setrika, TV, dan kulkas
dinyalakan bersama-sama.
Reporter Setiyardi punya pengalaman unik. Tepat sehari
setelah Lopa dilantik sebagai Menteri Kehakiman, Koran Tempo membuat karikatur
dirinya di rubrik Portal-karikatur di pojok kiri bawah Koran Tempo. Dalam
karikatur itu digambarkan Lopa bagai gladiator yang siap menusuk lawannya, cuma
pedangnya bengkok dan mengerut. Sebuah sindiran yang "kena" untuk
melukiskan kekhawatiran orang bahwa ia "dipasang" Presiden
Abdurrahman sebagai alat politik kekuasaan. Karikatur itu mengadopsi gaya (dan
busana Romawi) aktor Russel Crowe dalam film Gladiator. Nah, begitu Setiyardi
datang ke rumah Lopa, sang tuan rumah bertanya dengan wajah kencang,
"Siapa yang gambar saya begini?" Setiyardi agak gugup, ia khawatir
Lopa marah dan wawancara gagal. Maka, ia menjawab, "Wah, itu teman-teman
di koran, Pak." Ternyata, Lopa malah bilang, "Ini bagus sekali.
Tolong kau bikin besar buat saya, baru kau boleh wawancara." Desainer
Koran Tempo akhirnya mencetak karikatur itu dalam ukuran besar dan
membingkainya. Sampai sekarang, karikatur Koran Tempo Edisi 4 April 2001 itu
terpajang di ruang tengah rumahnya.
Kisah Jusuf Kalla dengan Lopa
Kisah pengusaha Jusuf Kalla memperlihatkan Lopa bukan
tipe pejabat yang doyan meminta upeti, apalagi "memeras" kiri-kanan.
Suatu hari, pengusaha pemegang agen tunggal Toyota di kawasan timur Indonesia
ini di- telepon Lopa. Ia mau membeli mobil. Di benak Jusuf, sebagai Dirjen
Lapas, Lopa pasti mau sedan kelas satu. Toyota Crown ia tawarkan. Tapi Lopa
malah setengah menjerit mendengar harganya, yang sekitar Rp 100 juta itu.
"Mahal sekali. Ada yang murah?" kata Lopa. Cressida seharga Rp 60
juta pun masih dianggap mahal. Akhirnya, Jusuf menyodorkan Corona senilai Rp 30
juta. Harganya tak ia sebutkan, karena ia berniat memberikannya untuk Lopa.
"Begini saja. Tidak usah bicara harga. Bapak kan perlu mobil. Dan jangan
khawatir, saya tidak ada hubungan bisnis dengan lembaga pemasyarakatan. Saya
kirim mobil itu besok ke Jakarta," kata Jusuf. Lopa kontan menolak. Yang
lucu, malah Jusuf si penjual yang sampai menawar harga. "Begini saja. Saya
kan pemilik mobil, jadi terserah saya mau jual berapa. Saya mau jual mobil itu
Rp 5 juta saja." Lopa masih menolak, "Jangan begitu. Kau harus jual
dengan harga sama seperti ke orang lain. Tapi kasih diskon, nanti saya cicil.
Tapi jangan kau tagih." Akhirnya, tawar-menawar aneh itu mencapai kata
sepakat juga. Lopa akan membelinya Rp 25 juta. Uang muka sebesar Rp 5 juta
langsung dibayar Lopa, diantar dalam bungkusan koran bekas. Selebihnya,
betul-betul dicicil sampai lunas selama tiga tahun empat bulan. "Kadang-kadang
dibayar Rp 500 ribu, kadang-kadang sejuta," tutur Jusuf Kalla, mengenang.
Lopa juga seorang yang selalu ingat teman di kala
susah. Ada cerita tatkala Lopa menjabat Dirjen Lembaga Pemasyarakatan
(1988-1995). Ketika wartawan Kompas di Jakarta, Abun Sanda, diberitakan
kecurian di rumahnya, Lopa segera meneleponnya. "Wah, saya baca kau
kecurian. Saya sedih dan susah juga dengar itu." Beberapa hari kemudian,
Abun bertemu lagi dengan Dirjen Lembaga Pemasyarakatan itu untuk sebuah
wawancara. "Abun, sudah tiga hari saya siapkan ini. Saya pikir ini bisa
meringankan sedikit kesusahanmu. Ini pemberian dari orang tua kepada anaknya.
Tak ada hubungannya dengan dunia kewartawananmu. Kau sedang di rantau, saya
juga orang rantau." Abun Sanda berpikir keras, apa yang mau diberikan Lopa
kepadanya. Ternyata, "Ini ada enam gelas untuk minum. Saya beli sendiri di
supermarket," kata Lopa. Abun akhirnya menerima bingkisan itu karena tak
mungkin menolak pemberian setulus itu. Ia amat meyakini, pemberian Lopa itu
tentu tanpa pamrih dan benar-benar bagian dari kesederhanaan hidupnya yang
terlalu sulit dijalankan oleh siapa pun.
Ia memang figur yang apa adanya. Ia pun selalu
berpenampilan seadanya. Selepas magrib, di kantornya ia cuma bersandal jepit,
mengenakan kain sarung, baju koko, dan songkok hitam yang selalu miring ke
kanan-ala imam masjid di kampung-kampung suku Mandar.
Dalam sebuah wawancara khusus dengan mingguan ini, ia
bahkan cuma mengenakan singlet putih. Menu makannya juga bukan buffet di hotel
berbintang lima seperti pejabat kebanyakan. Suatu waktu, majalah ini tengah
menunggunya untuk sebuah wawancara. Lopa masih ikut rapat di dalam. Hari sudah
larut malam, TEMPO pun pamit sebentar untuk makan malam dulu. Lopa langsung
menukas, "Oh, kau belum makan? Bagaimana kalau makan malamku kita bagi
dua," katanya serius, sambil menunjuk piring berisi nasi bungkus dengan
lauk ikan laut goreng.
Pernah sekali waktu, ketika menjadi Dirjen Lapas, Lopa
berkunjung ke Makassar. Sebelum salat Jumat, ia menitipkan tasnya. Tak banyak
isinya, tapi ada sebuah tonjolan. "Ini pasti pistol," pikir yang
dititipi tas. Usai sembahyang, Lopa membuka tasnya. Ternyata itu cuma bekal
kesukaannya: pisang rebus.
Yang juga melegenda adalah sikapnya yang sangat keras
dalam urusan penggunaan fasilitas dinas. Jangankan tiba-tiba jadi pengusaha
dengan segala fasilitas dan katebelece sang ayah, tujuh anak Lopa, bahkan juga
istrinya, Indrawulan, ia larang menggunakan mobil dinasnya. Di Makassar, semasa
menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi Sul-Sel, warga terbiasa melihat mereka
berangkat ke pasar dan kampus dengan pete-pete (angkutan kota).
Sikap keras itu juga yang ia berlakukan untuk dirinya
sendiri. Pada suatu Minggu di tahun 1983, Lopa sang Kepala Kejaksaan Tinggi
Sul-Sel diundang menjadi saksi pernikahan. Tuan rumah, Riri Amin Daud, yang
juga kerabatnya, dan pagar ayu telah menunggu kedatangan tamu amat terhormat
ini. Lama ditunggu, mobil dinas berpelat DD-3 tak kunjung muncul. Tahu-tahu
suara Lopa sudah terdengar dari dalam rumah. Rupanya, ia bersama istrinya
datang dengan pete-pete. "Ini hari Minggu, ini juga bukan acara dinas.
Jadi, saya tak boleh datang dengan mobil kantor," ia menjelaskan.
Bahkan telepon dinas di rumahnya selalu ia kunci. Lopa
melarang istri ataupun anak-anaknya menggunakannya. Semasa menjabat Kepala
Kejaksaan Tinggi Sul-Sel, ia sampai memasang telepon koin di rumah jabatannya
untuk memilah tagihan.
Aisyah, salah satu putrinya, juga punya pengalaman
unik. Pada 1984, ia menjadi panitia sebuah seminar di kampusnya, Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin. Kekurangan kursi, Aisyah datang ke kantor ayahnya untuk
meminjam kursi di aula Kejaksaan Tinggi Sul-Sel. Sebagai jawabannya, Lopa
menarik salah satu kursi lipat dan memperlihatkan tulisan di baliknya.
"Ini, baca. Barang inventaris Kejaksaan Tinggi Sul-Sel, bukan inventaris
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Jelas toh, ini milik kejaksaan dan tidak
bisa dipinjamkan," kata Lopa.
Segala kesederhanaan itu jelas bukan karena Lopa hidup
melarat. Ia mencatatkan kekayaan pribadinya senilai Rp 1,9 miliar dan simpanan
US$ 20 ribu. Ia juga terlahir dari keluarga terpandang. Di tubuhnya mengalir
darah Mara'dia (bangsawan Mandar). Kakeknya, Mandawari, adalah Raja
Balangnipa-kerajaan besar di Mandar-yang sangat dicintai rakyatnya dan juga
hidup sederhana. Sudah sejak usia 25 tahun ia menjadi pejabat. Ketika itu, ia
diminta Panglima Komando Distrik Militer XIV Hasanuddin, Kolonel M. Jusuf,
menjadi Bupati Majene. Ia dipilih karena dianggap sanggup melawan pemberontakan
Andi Selle pada tahun 1960. Selain menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi di empat
provinsi-Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Aceh, Kalimantan Barat, dan
Ternate-doktor lulusan Universitas Diponegoro ini juga tercatat sebagai guru
besar hukum di Universitas Ha- sanuddin.
Pendiriannya itu, kata Lopa kepada TEMPO ketika itu,
karena ia berpegang pada ajaran agama. Salah satunya dari sebuah hadis Nabi
yang berbunyi, "Sekalipun anakku Fatimah, kalau ia mencuri, kupotong
tangannya." Juga dari sebuah peristiwa tragis di Mandar ketika ia masih
kanak-kanak. Di pengujung tahun 1930, di Balangnipa terjadi sebuah pembunuhan
oleh seorang pemuda. Menurut hukum adat, ia harus diganjar hukuman mati.
Nyawanya cuma bisa diselamatkan jika semua pabbicara (pemuka adat) setuju
memberi keringanan. Enam dari tujuh pabbicara setuju meringankan hukuman. Cuma
ada seorang yang bersikukuh menjatuhkan hukuman mati. Dia adalah Ketua Dewan
Adat. Maka, hukuman mati pun dijatuhkan. Sang pemuda meregang nyawa di atas
pangkuan sang Ketua Dewan Adat. Tak lain, ia adalah ibu kandung si pemuda sendiri.
Kisah ini begitu tertanam di benak Lopa. ''Saya amat terkesan dengan kisah itu,
bahwa penegakan hukum tak boleh terhalangi sekalipun karena alasan hubungan
darah,'' kata Lopa di banyak kesempatan.
Bob Hasan adalah salah satu pesakitan yang merasakan
tangan keras Lopa. Si Raja Hutan ini tanpa ampun langsung di-Nusakambangan-kan
tak lama setelah Lopa dilantik menjadi Menteri Kehakiman pada 8 Februari lalu.
Semasa menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi Sul-Sel
(1982-1986), "korbannya" adalah Tony Gozal, seorang pengusaha kaya
dan salah satu "orang kuat Sul-Sel". Tekanan dari segala penjuru tak
digubrisnya. Tony ia jebloskan ke penjara dalam kasus penyelewengan tanah milik
pemerintah daerah. Tengah gencar-gencarnya memeriksa Tony, Presiden Soeharto
bersama Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew bertemu di Makassar. Tempatnya
tak lain di Hotel Makassar Golden, hotel termewah di Sul-Sel milik Tony. Lopa
ikut menjemput Soeharto dan Lee di Bandara Hasanuddin. Tapi ia menolak
mengantar sampai ke hotel dan tak mau datang ke jamuan makan malam yang
dihadiri semua pejabat Sulawesi. "Tidak baik saya ke situ. Apa kata orang
kalau saya datang ke hotel yang sedang saya sidik," kata Lopa. Tony
divonis bersalah dan meringkuk di Penjara Gunungsari. Buntutnya, Lopa terpental.
Pada 1986, ia dimutasi menjadi staf ahli Menteri Kehakiman.
Lopa adalah seorang muslim taat. Ia adalah Ketua
Yayasan Masjid Al-Hidayah, masjid dekat rumahnya di Jakarta. Daniel Dawam,
seorang pengurus masjid, berkisah suatu saat masjid ini akan direnovasi.
Panitia kebingungan mencari dana. Mendengar itu, Lopa, ketika itu telah
menjabat Dirjen Lapas, langsung turun tangan. Selepas salat isya, map formulir
sumbangan langsung ia edarkan sendiri dari pintu ke pintu. "Dalam tiga
bulan, Pak Lopa mengumpulkan Rp 250 juta untuk pembangunan masjid," Dawam
mengenang.
Tapi ada dua hal yang merisaukannya: terlihat tua dan
merengut. Karena itulah, usai diwawancarai mingguan ini, ia ngotot mengajak
wartawan TEMPO mampir dulu ke rumahnya untuk mengambil foto favoritnya. Ini
foto saat ia dilantik sebagai Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Di situ
Lopa memang terlihat lebih muda dengan senyum yang mengembang. "Saya ingin
orang melihat saya sedang tersenyum," kata Lopa. Ia tak begitu peduli soal
kesehatannya. Rokok kesayangannya, Dunhill filter, tak lepas dari jarinya.
Ketika ditanya TEMPO soal kesehatannya, ia cuma menyeringai sambil berkata,
"Sudahlah, tak usah bicara soal kesehatan. Nyawa manusia sudah ada yang
mengatur." Dan Tuhan telah mengaturkan sebuah kematian yang amat mulia
buatnya.
Karaniya Dharmasaputra, Tomi Lebang, Setiyardi (Jakarta), Syarif Amir (Makassar)
0 komentar