Alm. Abdullah Syafie bersama Bondan Gunawan (Penulis) (Bondan G., Mantan Mensesneg dan Sekretaris Kabinet era-Presiden Abdurrahman Wahid) |
Oleh Bondan Gunawan
MASIH
pantaskah negeri kita disebut Indonesia tanpa Aceh?
Pertanyaan ini mencuat ke permukaan kesadaran kita karena sejarah
menunjukkan bahwa masyarakat Aceh-dengan segala daya hidup dan dinamika
yang dimilikinya-adalah investor persatuan Nusantara sedari dulu. Sejak
interaksi berbagai suku bangsa melalui perdagangan, nun di masa lampau,
Samudera Pasai telah menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi
untuk memperluas persaudaraannya di kepulauan Nusantara. Kerajaan Islam
yang pertama ini pulalah yang kemudian menyumbangkan sedikitnya tiga di
antara sembilan Wali Sanga di tanah Jawa. Di Aceh pula, kolonial tak
berhasil mencengkeramkan kukunya. Kuta Raja, Banda Aceh sekarang, adalah
kota yang menggemaskan gubernur jenderal di Batavia karena tidak
tertaklukkan.
Pada
masa perjuangan kemerdekaan, ulama-ulama Aceh, yang merupakan
representasi masyarakat Aceh secara keseluruhan, menyatakan secara
bersama bahwa Aceh merupakan bagian dari Republik Indonesia, dan karena
itulah Aceh merupakan salah satu provinsi negeri ini dengan catatan
sebagai daerah istimewa. Memasuki era Indonesia merdeka, putra-putra
Aceh pulalah yang pertama kali menyumbangkan pesawat Seulawah bagi
Republik. Ini dimaksudkan sebagai ungkapan rasa hormat dan kebanggaan
terhadap pemimpin di negeri ini.
Pada awal era itu juga, sebuah nama mencuat dan jadi simbol kejuangan rakyat Aceh, Teungku Daud Beureueh. Ia angkat suara dengan lantang menentang Jakarta yang menurut mereka telah mengabaikan hak-hak dan aspirasi masyarakat Aceh. Bung Karno, selaku Presiden Republik Indonesia, dengan penuh kehangatan menyapanya dengan panggilan Abu Daud (Bapak Daud). Ia datang berhadapan langsung dan berunding dengan sang Abu Daud, di Kamar No. 1 Hotel Aceh, di dekat Masjid Baiturrahman. Bung Karno dengan karisma dan wibawanya, tanpa merasa sungkan, meminta dan merangkul Daud Beureueh dengan sepenuh hati, untuk kembali ke pangkuan Republik. Abu Daud menerima rangkulan keakraban Presiden dan serta-merta memerintahkan pasukannya turun gunung dan bergabung kembali dalam pangkuan Ibu Pertiwi. Sayang, hotel bersejarah itu telah berganti menjadi Hotel Novotel, dan peristiwa bersejarah yang dapat dijadikan teladan itu terlupakan begitu saja.
Pada awal era itu juga, sebuah nama mencuat dan jadi simbol kejuangan rakyat Aceh, Teungku Daud Beureueh. Ia angkat suara dengan lantang menentang Jakarta yang menurut mereka telah mengabaikan hak-hak dan aspirasi masyarakat Aceh. Bung Karno, selaku Presiden Republik Indonesia, dengan penuh kehangatan menyapanya dengan panggilan Abu Daud (Bapak Daud). Ia datang berhadapan langsung dan berunding dengan sang Abu Daud, di Kamar No. 1 Hotel Aceh, di dekat Masjid Baiturrahman. Bung Karno dengan karisma dan wibawanya, tanpa merasa sungkan, meminta dan merangkul Daud Beureueh dengan sepenuh hati, untuk kembali ke pangkuan Republik. Abu Daud menerima rangkulan keakraban Presiden dan serta-merta memerintahkan pasukannya turun gunung dan bergabung kembali dalam pangkuan Ibu Pertiwi. Sayang, hotel bersejarah itu telah berganti menjadi Hotel Novotel, dan peristiwa bersejarah yang dapat dijadikan teladan itu terlupakan begitu saja.
---
Tragedi, Inilah
sebuah kata. Dalam begitu banyak peristiwa, di suatu tempat dan tempat
yang lain, pada suatu waktu dan waktu yang lain pula, dalam
simpul-simpul pengalaman keindonesiaan kita, perkataan itu semakin
sering muncul di permukaan lembaran sejarah negara kebangsaan yang
usianya sudah menjelang 58 tahun ini. Kata itu bisa hadir mewakili
sebuah bab yang mungkin tak lengkap, menjadi bagian dari sejumlah bab
yang terus semakin tebal dalam tumpukan catatan nasib rakyat dan
masyarakat kita sebagai sebuah bangsa.
Bertatapan dengan tumpukan
catatan seperti itu, yang di antaranya sulit dibaca, mungkin kurang
obyektif dan belum sempat dikoreksi serta cacat-cacat lainnya, terasa,
alangkah sepinya yang bernama sejarah. Dan dalam sepi itu pula tragedi
semakin akrab; bukan lagi sebagai sebuah kata, tetapi sebagai
representasi dari sejumlah pengalaman getir yang terus-menerus mengusik
hati nurani.
Cerita suram, sesudah Aceh
dijadikan daerah operasi militer (DOM) di masa yang lalu, akankah
terulang saat ini? Sewaktu bertemu dengan almarhum Teungku Syafe'i, saya
menyaksikan penderitaan batin yang teramat dalam yang dialami
saudara-saudara kita di Aceh. Perjumpaan yang sesungguhnya dalam
kapasitas pribadi, namun sebagai salah seorang pejabat resmi, saya
berpendapat sesungguhnya "ketidakadilan"-lah yang menyulut bara api itu.
Rakyat Aceh, sebagaimana rakyat
kita di seluruh pelosok negeri, sudah tak mampu lagi menanggung
kesengsaraan yang berkepanjangan. Kekayaan alamnya dikuras, sementara
para ahli waris Uleebalang, yang hanya sukses memenuhi kepentingannya
dengan mengatasnamakan rakyat Aceh di hadapan pemerintah pusat,
menikmati kemewahan yang tak alang kepalang. Teungku Hasan di Tiro
sendiri menetap di Swedia, sebagai warga negara dari sebuah negeri yang
aman tenteram, jauh dari negeri tempat rakyat Aceh hidup dalam segala
kesengsaraannya.
Sementara itu, ia tanpa merasa berat hati melampiaskan dendam nostalgiknya, mengenang semasa ia naik gunung melawan Jakarta bersama Abu Daud. Dari kejauhan dan dengan hidupnya yang bergelimang kemewahan, ia mendaulat dirinya sendiri sebagai pemimpin sebuah negeri atas nama GAM di pengasingan dan melakukan diplomasi internasional. Sedangkan rakyat yang diwakilinya bergelimang kegetiran hidup yang pahit lagi menyakitkan.
Sementara itu, ia tanpa merasa berat hati melampiaskan dendam nostalgiknya, mengenang semasa ia naik gunung melawan Jakarta bersama Abu Daud. Dari kejauhan dan dengan hidupnya yang bergelimang kemewahan, ia mendaulat dirinya sendiri sebagai pemimpin sebuah negeri atas nama GAM di pengasingan dan melakukan diplomasi internasional. Sedangkan rakyat yang diwakilinya bergelimang kegetiran hidup yang pahit lagi menyakitkan.
Kisah tragedi di Aceh, rentang
waktunya sudah sangat panjang. Watak kultural masyarakat yang sama
sekali tidak pernah bisa "menerima" terhadap hal-hal yang melukai atau
mengusik kebanggaan mereka, merupakan suatu penyebab sering munculnya
konflik dengan pemerintah pusat. Tidaklah berlebihan untuk mengatakan
bahwa sudah sangat lama mereka merasa diperlakukan seperti "anak tiri";
hak-hak mereka untuk menikmati kemakmuran dan keadilan terabaikan.
Padahal mereka adalah putra yang sah dari sejarah terbentuknya negara
kebangsaan Indonesia yang bersatu. Namun itu pun terabaikan. Perjuangan
untuk mewujudkan aspirasi mereka yang selalu gagal, bergeser menjadi
konflik politik yang kian lama kian panas dan berkembang menjadi
keruwetan yang berkepanjangan.
Betapa sulitnya menjadi rakyat
Aceh saat itu untuk bisa hidup secara wajar di negerinya sendiri.
Pluralitas suku bangsa kita sebagai penopang negeri yang besar ini masih
tak terarifi sebagaimana mestinya. Menjadi orang Aceh berarti harus
berpihak pada GAM atau TNI. Apakah memang mestinya begini? Kepanikan dan
nyaris gelap mata. Itulah yang kita saksikan hari-hari ini, saat
pemimpin kita kembali mencari jalan penyelesaian Aceh dengan resep
tunggal, yakni dengan mengirimkan pasukan besar-besaran untuk menumpas
GAM. Sementara hati rakyat Aceh, siapakah yang peduli ke arah mana
mereka berpihak. Bagaimana kalau mereka tak mampu berpihak? Sebagai
saudara sendiri, sulit saya membayangkan bagaimana kita harus
mengamputasi bahagian tubuh kita sendiri.
Kolom ini tidak akan mampu
mengungkapkan bagaimana nasib yang dialami rakyat dan masyarakat dalam
berbagai tragedi itu secara runtut satu demi satu. Sebab itu tak
mungkin. Tapi, sebagai ilustrasi, ada nukilan penting pada lambang
negara kita yang dalam situasi dan kondisi kita sekarang ini dapat
dibaca ulang, yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Nukilan ini tentu saja bukan
sekadar warisan. Bukan pula sebuah amanat dari suatu masa yang hanya
berlaku untuk masa ketika founding fathers republik ini masih hidup.
Nukilan itu, yang kini tampak bercahaya pada lambang negara kita yang
ekspresinya secara artistik tampak kian sempurna, adalah sebuah ungkapan
yang setiap dipikirkan akan semakin memperjelas makna serta maksud dan
tujuannya.
Bersatunya kita sebagai bangsa
adalah sebuah ihwal kesejarahan yang lahir dari suatu hal kesejarahan
yang lain, yang exist lebih awal, yaitu kenyataan masyarakat bangsa yang
pluralistik sifatnya. Seumpama anak dan orang tua, bersatunya kita
sebagai bangsa adalah anak yang dilahirkan oleh pluralitas masyarakat
kita sendiri; anak yang dilahirkan oleh indahnya cinta dan kerukunan.
Cultural capital yang kita miliki untuk tetap bersatu adalah kerukunan.
Kerukunan itu pula yang mengkondisikan kedamaian di tengah perbedaan dan
keberagaman. Anak tak bisa ingkar terhadap orang tuanya kecuali ia
adalah anak durhaka. Begitu pula sebaliknya.
Tragedi terjadi, mungkin bukan
karena sebab yang tunggal. Itu lumrah. Namun adalah logis bila cultural
capital itu terabaikan dan kerukunan berganti dengan sesuatu yang lain
atau yang sebaliknya, maka bencana bisa lebih dekat dibandingkan dengan
saudara sendiri. Sesuatu yang lain itu maksudnya yang tidak berakar pada
nilai-nilai pemersatu dalam pluralitas. Misalnya, kompetisi
antarkepentingan yang berbeda-beda. Bila potensi konflik seperti yang
terakhir ini tidak diimbangi dengan nilai-nilai yang potensial sebagai
pemersatu-sebagaimana yang selalu terjadi dalam persaingan kepentingan
politik dan ekonomi atau keduanya sekaligus-tragedi pun segera tiba.
Kita semua sudah sangat sering mengalaminya.
Gemas, itulah mungkin kata yang
tepat, pada saat kita saksikan ada gerakan bersenjata yang berniat
memisahkan diri. Tetapi hal ini tentu tak jalan sendiri.
Etnonasionalisme yang seakan eksis melalui GAM, sama halnya dengan Papua
dan Maluku, berpangkal pada ketidakadilan yang telah lama dipraktekkan
Jakarta. Dari kekayaan alamnya di perut bumi dan emas hijaunya yang
melimpah, sangat kecil yang bisa dinikmati rakyat Aceh, dibandingkan
dengan apa yang bisa dinikmati segelintir orang Aceh menak dan Jakarta
di satu pihak serta kepentingan asing di lain pihak. Kegundahan kita
kian membuncah manakala, sebagai rakyat biasa, kita kembali menyaksikan
saudara-saudara kita di Aceh harus kembali menjadi pengungsi di
negerinya sendiri. Dan luka lama belum lagi terobati.
---
Di samping kerukunan,
bersatunya kita sebagai bangsa selalu disemangati oleh berbagai harapan
seperti yang selalu dijanjikan terutama oleh negara. Cerita tentang
nasib yang bernama harapan ini sudah tak asing lagi. Nasibnya sama
dengan yang merundungi rakyat dan masyarakat Aceh selama setengah abad
terakhir dari sejarah kemerdekaan kita. Apakah harapan dan impian
masyarakat Aceh? Yang utama adalah harapan untuk menikmati hasil
pembangunan berupa kemakmuran dan kesejahteraan, atau, dalam idiom
Pancasila, keadilan sosial. Juga kehidupan berbudaya dan berkeadaban,
ketika harkat dan martabat mereka selalu terjaga.
Masalah pokok atau inti
persoalan rakyat dan masyarakat Aceh berada di sekitar harapan dan
impian tersebut. Dengan ini, fokus penyelesaian tragedi Aceh menjadi
jelas. Suatu paket "operasi terpadu" untuk menjaga kelangsungan proses
penyelesaian tersebut perlu diciptakan dan diselenggarakan dengan
komitmen penuh ketulusan. Harus ada reward bagi yang berhasil dan
punishment bagi yang curang. Masalah yang selalu krusial dan sangat
ruwet bukanlah masalah rakyat dan masyarakat Aceh yang "menagih janji"
dari pemerintah pusat.
Masalahnya, kalangan elite Aceh (bukan hanya GAM) yang menyeret persoalan masyarakat dan rakyat Aceh ke wilayah politik untuk tujuan kepentingan mereka sendiri. Benang kusutnya ada di sini. Di tengah satu bangsa yang begini besar, pasti ada orang-orang yang mampu mengurainya, dengan penuh ketulusan. Tampaknya kita harus berani memikirkan yang selama ini belum terpikirkan, melakukan yang belum pernah dilakukan, termasuk terhadap diri kita sendiri.
Masalahnya, kalangan elite Aceh (bukan hanya GAM) yang menyeret persoalan masyarakat dan rakyat Aceh ke wilayah politik untuk tujuan kepentingan mereka sendiri. Benang kusutnya ada di sini. Di tengah satu bangsa yang begini besar, pasti ada orang-orang yang mampu mengurainya, dengan penuh ketulusan. Tampaknya kita harus berani memikirkan yang selama ini belum terpikirkan, melakukan yang belum pernah dilakukan, termasuk terhadap diri kita sendiri.
Bila
senjata telah berdentaman, upaya apa lagikah yang dapat dilakukan? Dari
wajah-wajah korban yang mati, pesan apakah yang terbaca buat yang
tinggal? Kita harus mampu membacanya. Kenapa mereka harus mati? Untuk
apa? Untuk siapa? Dari garis batas impian dan harapan, di bawah langit
muram kekecewaan, selalu ada yang dapat diupayakan untuk sesuatu yang
lebih baik.
Rakyat Aceh mungkin akan memaafkan segala kesalahan itu dengan segenap ketulusan, Namun mereka takkan pernah bisa melupakannya, Inilah sejarah yang akan terus di ceritakan kepada anak cucu mereka kelak. Inilah sebuah keyakinan. Bila keyakinan ini menjadi milik bersama, untuk kiprah bersama pula, akan terasa bahwa kedamaian yang didambakan itu begitu dekat. Dan pada saatnya, senjata pasti akan berhenti berdentam. Membisu seperti orang-orang mati. Ketika hati berpaling dari yang bernama kekerasan.
Rakyat Aceh mungkin akan memaafkan segala kesalahan itu dengan segenap ketulusan, Namun mereka takkan pernah bisa melupakannya, Inilah sejarah yang akan terus di ceritakan kepada anak cucu mereka kelak. Inilah sebuah keyakinan. Bila keyakinan ini menjadi milik bersama, untuk kiprah bersama pula, akan terasa bahwa kedamaian yang didambakan itu begitu dekat. Dan pada saatnya, senjata pasti akan berhenti berdentam. Membisu seperti orang-orang mati. Ketika hati berpaling dari yang bernama kekerasan.
Penulis Bondan Gunawan S.
Mantan Mensesneg dan Sekretaris Kabinet era Abdurrahman Wahid,
Aktivis Gerakan Gugus Nusantara. Majalah Tempo, 2003 - Tragedi Aceh.
Mantan Mensesneg dan Sekretaris Kabinet era Abdurrahman Wahid,
Aktivis Gerakan Gugus Nusantara. Majalah Tempo, 2003 - Tragedi Aceh.
***
*Sumber: MAJALAH TEMPO 2003
0 komentar