Barangkali
selama ini yang sering kita kenal pahlawan perempuan dari Aceh mugkin
hanya Cut Nyak Dhien saja. Hal ini dapat dipahami karena perjuangan
heroiknya melawan Balanda sudah difilmkan, dimana pemeran sebagai Cut
Nyak Dhien adalah Christine Hakim.
Akan
tetapi sebenarnya Cut Nyak Dhien hanyalah satu dari sekian banyak
perempuan Aceh yang memeliki kehebatan yang luar biasa. Dan itu sudah
ada jauh sebelum isu emansipasi wanita di gembar-gemborkan saat ini,
Sebab peran mereka melebihi peran para laki-laki pada saat itu.
Sultanah Ilah Nur atau Ratu Nurillah Az-Zahir (1380 M)
Di
Matangkuli, Kecamatan Minye Tujoh,Aceh Utara, terdapat sebuah makam
kuno yang nisannya bertuliskan bahasa Arab dan Jawa Kuno. Di nisan itu,
tertoreh nama Ratu Ilah Nur yang meninggal tahun 1365. Siapa Ilah Nur ?
Ilah Nur adalah seorang Ratu yang memerintah Kerajaan Pasai, Ratu Nur
Ilah merupakan keturunan Sultan Malikuzzahir.
Keterangan
itu juga terdapat dalam kitab Negara Kertagama tulisan Mpu Prapanca dan
buku Hikayat Raja-Raja Pasai. Tidak banyak keterangan yang didapat oleh
peneliti tentang masa pemerintahan Ratu Ilah Nur ini. Perempuan Aceh
memang luar biasa. Mereka mampu mensejajarkan diri dengan kaum pria.
Bahkan,
dalam peperangan pun, yang biasanya dilakukan kaum pria, diterjuni
pula. Mereka menjadi komandan, memimpin ribuan laskar di hutan dan
digunung-gunung. Para perempuan Aceh berani meminta cerai dari suaminya –
bila suaminya berpaling muka kepada Belanda.
Kaum
pria Acehpun bersikap sportif. Mereka dengan lapang hati memberikan
sebuah jabatan tertinggi dan menjadi anak buahnya. Diantara mereka
menjadi amat dikenal bahkan melegenda, seperti Cut Nayk Dien, Laksamana
Kumalahayati, dan sebagainya. Beberapa preode, Kerajaan Aceh Besar yang
berdaulat, pernah dipimpin oleh perempuan.
Sultanah Nahrasiyah (1416-1428)
Dr.
C. Snouck Hurgronje terkagum-kagum menyaksikan sebuah makam yang
demikian indah di situs purbakala Kerajaan Samudera Pasai di Aceh Utara.
Makam yang terbuat dari pualam itu, merupakan makam yang terindah di
Asia Tenggara. Makam yang dihiasai dengan ayat – ayat Quran tersebut,
adalah makam seorang raja perempuan bernama Nahrasiyah. Ratu tersebut
tentu seorang raja yang besar, terbukti dari hiasan makamnya yang sangat
istimewa. Ratu merupakan putri Sultan Zain al-Abidin. Sayang, sedikit
sekali sumber sejarah tentang dirinya - yang memerintah lebih dari 20
tahun. Kerajaan Samudera Pasai senantiasa mengeluarkan mata uang emas.
Namun, kepunyaan Ratu sampai saat ini belum ditemukan.
Sementara
itu, dirham ayahnya ditemukan - dimana disisi depan mata uang tersebut
tercantum “Zainal Abidin Malik az-Zahir”. Nama Sultan Zain al-Abidin
dalam berita–berita Tiongkok dikenal dengan Tsai-nu-li-a-ting-ki.
Kronika Dinasti Ming (1368-1643) menyebutkan, Raja ini mengirimkan
utusan-utusannya yang ditemani oleh sida-sida China, Yin Ching kepada
mahararaja China, Ch’engtsu (1403-1424). Maharaja China kemudian
mengeluarkan dekrit pengangkatannya sebagai Raja Samudera dan memberikan
sebuah cap kerajaan dan pakaian kerajaan. Pada tahun 1415 Laksamana
Cheng Ho dengan armadanya datang mengunjungi Kerajaan Samudea.
Diceritakan,
Sekandar, kemanakan suami kedua Ratu, bersama pengikutnya, merampok
Cheng Ho. Serdadu–serdadu China dan Ratu Kerajaan Samudera dapat
mengalahkan Sekandar. Ia ditanggap lalu dibawa ke Tiongkok untuk
dijatuhi hukuman mati. Ratu yang dimaksud dalam berita China itu tidak
lain adalah Ratu Nahrasiyah.
Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah (1641-1675 M)
Bersyukur
bahwa catatan tentang Sultanah Safiatuddin Syah cukup banyak sehingga
dapat memberikan gambaran yang memadai mengenai kepemimpinannya. Aceh
Darussalam merupakan sebuah kerajaan yang berdaulat. Syafiatuddin Syah
yang lahir tahun 1612, anak tertua Sultan Iskandar Muda. Puteri
Syafiatuddin tumbuh menjadi gadis yang rupawan, cerdas dan
berpengetahuan. Setelah dewasa, dia dinikahkan oleh ayahnya dengan
Iskandar Thani, putera Sultan Pahang yang dibawa ke Aceh setelah
dikalahkan oleh Sultan Iskandar Muda. Tahun 1636, Sultan Iskandar Muda
meninggal.
Menantunya
lalu diangkat menjadi Sultan Aceh. Lima tahun memerintah, ia meninggal
(15 Ferbruari 1642) tanpa memberikan keturunan. Tiga hari setelah
berkabung, para pembesar kerajaan sepakat mengangkat sang permaisuri
menjadi raja. Namun, menjelang penobatannya, muncul pertentangan. Ada
dua alasan. Pertama Sultan Iskandar Thani tidak berputra dan kedua, soal
kelayakan perempuan menjadi raja. Persoalan tersebut diserahkan kepada
ulama senior yang sangat berpengaruh saat itu, yaitu Teungku Abdurrauf
dari Singkel. Ia menyarankan pemisahan urusan agama dengan urusan
pemerintahan. Dari sudut adat dan hukum Islam, Syafiatuddin memenuhi
sarat sebagai pemimpin. Selain itu, Syafiatuddin memiliki kecerdasan dan
pengetahuan yang cukup. Para ulama juga mengeluarkan fatwa, bahwa
urusan agama dan negara harus dipisahkan sepanjang keduanya tidak saling
bertentangan.
Sultanah
Safiatuddin Syah memerintah selama 35 tahun (1641- 1675). Inilah
masa-masa yang paling sulit karena situasi Malaka saat itu sedang panas
dengan adanya perseteruan VOC dengan Potugis merebut pengaruh sehingga
sang ratu tidak bisa terhindar darinya karena Aceh merupakan pusat
dagang utama. Sultanah sangat memperhatikan pengendalian pemerintahan,
pendidikan, keagamaan dan perekonomian. Namun, agak mengabaikan soal
kemeliteran. Pada tahun 1668, misalnya, ia mengutus ulama-ulama Aceh ke
negeri Siam untuk menyebarkan agama Islam. Sebagaimana ayahnya, ia pun
sangat mendorong para ulama dan cerdik pandai mengembangkan ilmu
pengetahuan dengan mensponsori penulisan buku-buku ilmu pengetahuan dan
keagamaan.
Dalam
ekonomi, ia menerbitkan mata uang mas dan menerapkan cukai bagi
pedagang asing yang berdagang di Aceh. Dalam urusan kenegaraan, ia
membentuk dua lembaga pemerintahan, yaitu Balai Laksamana (Angkatan
Perang yang dikepalai oleh seorang Laksamana) dan Balai Fardah (Lembaga
yang mengatur keuangan kerajaan seperti pemugutan cukai dan mengeluarkan
mata uang). Selain itu, Sultanah membentuk lembaga tempat
bermusyawarah, yaitu Balairungsari (institusi yang terdiri empat
uleebalang besar Aceh), Balai Gadeng (beranggotakan 22 ulama besar
Aceh), Balai Mejelis Mahkamah Rakyat (semacam DPR yang beranggotakan 73
orang yang mewakili daerah pemukiman). Yang menarik adalah, diantara 73
anggota dewan tersebut, terdapat sejumlah wanita. Ia adalah seorang raja
besar yang sangat dihormati oleh rakyatnya dan disegani oleh negara
asing (Belanda, Portugis, Inggris, India dan Arab). Ia meninggal 23
Oktober 1675. Oleh penurusnya, Sultanah Safiauddin Syah tetap dihormati
dengan mencantumkan namanya Sultanah pada setempel / segel kerajaan.
Selanjutnya, kerajaan diperintah oleh Naqiatuddin dengan gelar Sri
Sultan Nurul-Alam Naqiatuddin Syah.
Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah (1675-1678 M)
Sultanah
Naqiatuddin adalah puteri Malik Radiat Syah. Hal penting dan funamental
yang dilakukan oleh Naqiatuddin pada masa pemerintahannya adalah
melukakan perubahan terhadap Undang Undang Dasar Kerajaan Aceh dan Adat
Meukuta Alam. Aceh dibentuk menjadi tiga federasi yang disebut Tiga Sagi
(lhee sagoe). Pemimpin Sagi disebut Panglima Sagi. Maksud dari
pemerintahan macam ini agar birokrasi tersentralisasi dengan -
menyerahkan urusan pemerintahan dalam kenegarian-kenegarian yang terbagi
Tiga Sagi itu.
Namun,
setiap Sagi tidak berarti melakukan pemerintahan sendiri-sendiri. Untuk
situasi sekarang, sistim pemerintahan Kerajaan Aceh dulu sama dengan
otonomi daerah. Sultanah juga menyempurnakan Adat Meukuta Alam yang dulu
dirancang oleh Sultan Iskandar Muda. Hal lain yang dilakuakan oleh
Sultanah adalah mengeluarkan mata uang mas. Masa pemerintahannya yang
singkat (1675-1678), memang tidak ada prestasi besar yang dicapainya.
Bebarapa peristiwa besar dialaminya, terbakarnya Mesjid Raya
Baiturrachman dan Istana yang banyak menyimpan kekayaan emas dan
perhiasan.
Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah (1678-1688 M)
Naqiatuddin
Syah meninggal, digantikan oleh Inayat Zakiatuddin Syah. Menurut orang
Inggris yang mengunjunginya tahun 1684, usianya ketika itu sekitar 40
tahun. Ia digambarkan sebagai orang bertubuh tegap dan suaranya
lantang.
Pada
masa pemeritahannya, Aceh mendapatkan kunjungan dari Inggris yang
hendak membangun sebuah benteng pertahanan guna melindungi kepentingan
dagangnya. Ratu menolaknya dengan mengatakan, Inggris boleh berdagang,
tetapi tidak dizinkan mempunyai benteng sendiri. Tentu Ratu tahu apa
maksud dari benteng yang dipersenjatai itu. Tamu lainnya adalah
kedatangan utusan dari Mekkah. Tamu tersebut bernama El. Hajj Yusuf E.
Qodri yang diutus oleh Raja Syarif Barakat yang datang tahun 1683. Dari
utusan tersebut Ratu menerima sejumlah hadiah.
Sekembali
ke Mekkah, utusan melaporkan kepada Raja Syarif betapa baik dan
sempurnanya pemerintahan Ratu Kerajaan Aceh yang rakyatnya taat memeluk
Islam. Sama halnya dengan dua ratu sebelumnya, Zakiatuddin Syah
mengeluarkan mata uang sendiri. Ratu meninggal 3 Oktober 1688 lalu
digantikan oleh Kamalat Zainatuddin Syah.
Sultanah Zainatuddin Kamalat Syah (1688-1699 M)
Silsilah
ratu ini tidak banyak diketahui. Ada dua versi tentang asal usulnya.
Perkiraan pertama ia anak angkat Ratu Sultanah Safiatuddin Syah dan lain
pihak mengatakan ia adik Ratu Zakiatuddin Syah. Yang jelas, Ratu
Zakiatuddin Syah berasal dari keluarga-keluarga Sultan Aceh juga.
Pada
masa Kamalat Syah bertahta, para pembesar kerajaan terpecah dalam dua
pendirian. Golongan orang kaya bersatu dengan golongan agama
menginginkan kaum pria kembali menjadi Sultan. Kelompok yang tetap
menginginkan wanita menjadi raja adalah Panglima Sagi. Perbedaan
pendapat itu sebetulnya bukan sesuatu yang baru dan pernah menimbulkan
kontak senjata. Namun, kemudian kedudukan Kamalat Syah tidak dapat lagi
dipertahankan setelah para ulama meminta pendapat dari Qadhi Malikul
Adil dari Mekkah.
Dalam
surat balasannya, Malikul Adil menyatakan bahwa kedudukan wanita
sebagai raja bertentangan dengan syariat Islam. Ia turun tahta pada
bulan Oktober 1699. Pada masa pemerintahannya, ia mendapatkan kunjugan
dari Persatuan Dagang Perancis dan serikat dagang Inggris East Indian
Company. Ia sempat pula mengeluarkan mata uang mas.
Laksamana Malahayati atau Keumalahayati (1585-1604 M)
Wanita
Aceh yang satu ini bukanlah pendekar komik dari negeri antah barantah.
Ia benar-benar ada. Keumalahayati namanya. Ia seorang Laksamana
(Panglima Perang) Kerajaan Aceh. Malahayati merupakan figur yang banyak
muncul dalam cacatan penulis asing dan bangsa Indonesia sendiri.
Malahayati menjadi Panglima Angkatan Perang kerajaan Aceh pada masa
pemerintahan Sultan Al Mukammil (1589-1604). Ia mendapat kepercayaan
menjadi orang nomor satu dalam meliter dari sultan karena
keberhasilannya memimpin pasukan wanita.
Ia
berasal dari keturunan sultan. Ayahnya, Mahmud Syah, seorang laksamana.
Kakeknya dari garis ayahnya, juga seorang laksamana bernama Muhammad
Said Syah, putra Sultan Salahuddin Syah yang memerintah tahun 1530-1539.
Sultan Salahhuddin sendiri putera Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah
(1513-1530) pendiri kerajaan Aceh Darussalam. Dilihat dari asal
keturunannya, darah meliter berasal dari kakeknya. Pembentukan pasukan
wanita yang semuanya janda yang disebut Armada Inong Bale itu merupakan
ide Malahayati. Maksud dari pembentukan pasukan wanita tersebut, agar
para janda tersebut dapat menuntut balas kematian suaminya. Pasukan ini
mempunyai benteng pertahahanan. Sisa–sisa pangkalan Bale Inong masih ada
di Teluk Kreung Raya.
John
Davis, seorang berkebangsaan Inggris, nahkoda kapal Belanda yang
mengunjungi Kerajaan Aceh pada masa Malahayati menjadi laksamana,
melaporkan, Kerajaan Aceh pada masa itu mempunyai perlengkapan armada
laut terdiri dari 100 buah kapal perang, diantaranya ada yang
berkapasitas 400-500 penumpang. Ketika itu Kerajaan Aceh memiliki
angkatan perang yang kuat. Selain memiliki armada laut, di darat ada
pasukan gajah. Kapal-kapal tersebut bahkan juga ditempatkan di berbagai
tempat kekuasaan Aceh. Kekuatan Keumalahayati mendapat ujian ketika
terjadi kontak senjata antara Aceh dengan pihak Belanda. Pada tanggal 21
Juni 1599, dua kapal Belanda yang dipimpin dua bersaudara Coernelis de
Houtman dan Federick de Houtman berlabuh dengan tenang di Aceh. Karena
mendapat hasutan dari Portugis, Laksamana Malahayati menyerang kedua
kapal tersebut.
Dalam
penyerangan itu, Cornelis de Houtman dan beberapa anak buahnya
terbunuh. Sedangkan Federick de Houtman ditawan dan dijebloskan ke
tahanan Kerajaan Aceh. Sesuatu yang menggegerkan bangsa Eropa dan
terutama Belanda - sekaligus menunjukkan kewibawaan Laksamana
Keumalahayati ketika Mahkamah Amstredam menjatuhkan hukuman denda kepada
van Caerden sebesar 50.000 gulden yang harus dibayarkan kepada Aceh.
Uang sejumlah itu benar-benar dibayarkan kepada yang berhak. Bayar denda
tersebut adalah buntut tindakan Paulus van Caerden ketika datang ke
Aceh menggunakan dua kapal menenggelamkan kapal dagang Aceh serta
merampas muatan lada lalu pergi meninggalkan Aceh.
Peristiwa
penting lainnya selama Malahayati menjadi Laksama adalah ketika ia
mengirim tiga utusan ke Belanda, yaitu Abdoel hamid, Sri Muhammad dan
Mir Hasan ke Belanda. Ketiganya merupakan duta-duta pertama dari sebuah
kerajaan di Asia yang mengunjungi negeri Belanda. Banyak cacatan orang
asing tentang Malahayati. Kehebatannya memimpin sebuah angkatan perang
ketiga itu diakui oleh negara Eropa, Arab, China dan India. Namanya
sekarang melekat pada kapal perang RI, KRI Malahayati.
Cut Nyak Dhien (1848-1908 M)
Keturunan
bangsawan kelahiran Lampadang pada 1848. Ayahnya Teuku Nanta Seutia,
seorang uleebalang VI Mukim, sedang ibunya adalah putri uleebalang
Lampagar. Cut Nyak Dhien kemudian menggantikan ayahnya yang wafat
sebagai uleeba-lang perempuan di daerah VI Mukim. Ia pertama kali
menikah dengan Teuku Ibrahim Lamnga, seorang pahlawan perang melawan
Belanda, putra dari uleebalang Lamnga XIII.
Suami
pertamanya ini meninggal pada tanggal 29 Juni 1878 di dalam peperangan
melawan Belanda di Sela Glee Tarun. Setelah itu ia bersuamikan Teuku
Umar. Dalam perjuangannya, Teuku Umar pernah melakukan sandiwara besar
dengan menyatakan sumpah setia kepada Belanda. Setelah mendapat berbagai
fasilitas, Teuku Umar kembali berbalik melawan Belanda. Teuku Umar
gugur saat terjadi serangan ke Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899.
Sepeninggal
Teuku Umar, Cut Nyak Dhien memimpin langsung perlawanan terhadap
Belanda. Selama 16 tahun ia bergerilya di tengah hutan dan rimba. Namun
kondisi fisik Cut Nyak Dhien menurun, matanya menjadi rabun. Pada
tanggal 16 November 1905, sepasukan Belanda menyerbu ke hutan tempat ia
bersembunyi, dan akhirnya ia dapat ditangkap. Alkisah, Cut Nyak Dhien
mencabut sebuah rencong dan mengarahkannya ke dadanya sendiri, namun
berhasil dicegah oleh Letnan Van Vuuren. Setelah itu Cut Nyak Dhien
dibuang oleh Gubernur Van Daalen ke Pulau Jawa, hingga kemudian wafat
pada tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang.
Teungku Fakinah (1856 - 1938 M)
Teungku
Fakinah adalah seorang wanita yang menjadi ulama besar dengan nama
singkatnya disebut Teungku Faki , pahlawan perang yang ternama dan
pembangunan pendidikan ulung. Beliau dilahirkan sekitar tahun 1856 M, di
Desa Lam Diran kampung Lam Beunot (Lam Krak). Dalam tubuh Beliau
mengalir darah ulama dan darah penguasa/bangsawan. Ayahnya bernama Datuk
Mahmud seorang pejabat pemerintahan dalam zaman Sultan Alaidin Iskandar
Syah. Sedangkan ibunya bernama Teungku Muhammad Sa'at yang terkenal
dengan Teungku Chik Lam Pucok, pendiri Dayah Lam Pucok, tempatnya pernah
Teungku Chik Ditiro Muhammad Saman belajar.
Teungku
Fakinah merupakan Panglima Perang melawan agresi Belanda, tidak mau
tetap dikediamannya, bahkan hilir mudik keseluruh segi tiga Aceh Besar
untuk menjalankan Diplomasi, mendatangi rumah orang-orang besar dan
orang-orang kaya untuk meminta zakat dalam rangka membantu peperangan
Aceh yang sedang berkecamuk. Dan kegiatan yang dilakukannya itu,
memperoleh hasil yang lebih besar yang kemudian disalurkan sebagai biaya
peperangan.
Ketika
musuh menguasai Kuta Raja (Banda Aceh Sekarang), maka pertahanan
berpindah ke Kuta ke kota Lam Bhouk, Pagar Aye (Lhung Bata), maka dalam
tahun 1883 pertahanan itu dapat dikuasai oleh musuh. Untuk
mengantisipasi hal ini maka Tengku Syech Saman yang disebut Tengku Tjik
Di Tiro memperkuat lagi pertahanan Kuta Aneuk Galong bekas Kuta Panglima
Polem Nyak Banta, yang dulunya telah di rampas oleh pihak Belanda yaitu
pada tahun 1878. Maka dengan demikian serentaklah dari masing-masing
pemimpin peperangan mendirikan kutakuta lain, seperti halnya Tengku
Empee Trieng (Kuta Karang), Tengku Pante Kulu (Kuta Tuanku) dan
lain-lain.
Teungku
Fakinah Mangkat Pada tanggal 8 Ramadhan 1359 H atau tahun 1938 M,
Teungku Fakinah sebagai Pahlawan dan Ulama Wanita Aceh menghembuskan
nafasnya yang terakhir di rumah kediamannya di kampung Beuha Mukim Lam
Krak dalam usia 75 tahun.
Pocut Baren (1933 M)
Pocut
Baren lahir di Tungkop. Ia putri seorang uleebalang Tungkop bernama
Teuku Cut Amat. Daerah uleebalang Tungkop terletak di Pantai Barta Aceh.
Suaminya juga seorang uleebalang yang memimpin perlawanan di Woyla.
Pocut Baren merupakan profil wanita yang tahan menderita, sanggup hidup
waktu lama dalam pengembaraan di gunung dan hutan belantara mendampingi
suaminya. Ia disegani oleh para pengikut, rakyat dan juga musuh. Ia
berjuang sejak muda dari tahun 1903 hingga tahun 1910. Ia memimpin
pasukannya di belahan barat bersamaan dengan Cut Nyak Dien ketika masih
aktif dalam perjuangan.
Ia
telah mempersiapkan dirinya - bila kelak ditinggalkan oleh suaminya dan
sudah tahu apa harus diperbuat nantinya. Ketika suaminya tertembak
Belanda, tidak membuat Pocut Baren mundur. Semangatnya malah semakin
menggebu.
Suatu
penyerangan besar-besar dibawah pimpinan Letnan Hoogers, meluluhkan
benteng pertahanan Pocut Baren. Kaki Pocut Baren tertembak dan dibawa ke
Meulaboh. Selama ditawan di Meulaboh, luka tembaknya tidak kunjung
membaik. Kemudian Pocut Baren dibawa ke Kutaraja untuk dilakukan
pengobatan lebih intensif. Namun, dokter memutuskan kakinya diamputasi.
Selama dalam tawanan, Pocut Baren diperlakukan dengan baik. Sebagai
penghargaan atas dirinya, Belanda menghadiahkan sebuah kaki palsu
untuknya - yang didatangkan khusus dari Belanda. Ia wafat tahun 1933.
Meninggalkan rakyatnya yang sangat mencintainya.
Cut Nyak Meutia (1870-1910 M)
Lahir
tahun 1870, aktif di daerah Pase bergerilya bersama suaminya melawan
Belanda. Ketika suaminya tertawan dan dijatuhi hukuman tembak, ia tetap
melanjutkan perjuangan suaminya itu. Ia lalu menikah lagi dengan Pang
Nanggro sesuai pesan suaminya. Perkawinan ini menambah hebat
perlawanannya terhadap Belanda.
Dengan
senjata yang seadanya, ia main kucing-kucingan dengan tentara Belanda
dan ini menimbulkan banyak kerugian jatuh di pihak Belanda. Dari banyak
serangan-serangan gerilya, Cut Meutia mendapat tambahan-tambahan senjata
api.
Hingga
suatu hari, sepasukan tentara Belanda mendapati jejak kaki dan
mengikutinya sampai ke gubuk persembunyian Cut Meutia. Terjadilah
pertempuran dan Cut Meutia tewas di dalamnya. Namun anaknya yang bernama
T. Sabi berhasil lolos dan melanjutkan perjuangan ibunya. Cut Meutia
wafat di Pasai, 24 Oktober 1910 dan dimakamkan di Keureuto, Lhok Sukon.
Pocut Meurah Intan (1937 M)
Pocut
Meurah Intan seorang puteri bangsawan dari kalangan Kesultanan Aceh.
Ayahnya Keujruen Biheue berasal dari keturunan Pocut Bantan. Pocut
Meurah menikah dengan Tuanku Abdul Majid, salah seorang anggota keluarga
Sultan Aceh. Ia seorang pejabat bea cukai pelabuhan yang gigih
menantang kehadiran Belanda. Dari pernikahannya dengan Tuanku Abdul
Majid, Pocut Meurah mendapat tiga anak laki-laki. Belanda mencatat,
bahwa Pocut Meurah salah satu figur dari Kesultanan Aceh yang paling
anti Belanda.
Dalam
laporan kolonial (Koloniaal Verslag) tahun 1905, sampai tahun 1904,
satu-satunya tokoh dari kalangan Kesultanan Aceh yang belum menyerah dan
tetap bersikap anti terhadap Belanda adalah Pocut Meurah Intan.
Semangat anti Belanda yang teguh itulah yang diwariskannya pada
puteranya sehingga mereka bersama-sama dengan pejuang Aceh lainnya
menentang Belanda. Ia bercerai dengan suaminya karena Tuanku Abdul Majid
menyerahkan diri kepada Belanda. Lalu ia mengajak anak-anaknya terus
berperang. Dua diantara anaknya, Tuanku Muhammad Batee dan Tuanku
Nurdin, kemudian menjadi terkenal sebagai pemimpin pergerakan.
Intensitas
patroli Belanda yang semakin meningkat, membuat Pocut Meuran Intan
bersama kedua putranya tertangkap marsose. Namun, sebelum tertangkap, ia
masih sempat melakukan perlawanan yang amat mengagumkan pihak lawan.
Valtman, pemimpin pasukan Belanda yang berpengalaman di Aceh dan baik
hati, menyebutnya sebagai heldhaftig (gagah berani). “Kalau begitu,
biarlah aku mati,” ucap Pocut Meuran Intan. Lalu ia mencabut rencongya
menyerbu brigade tempur Belanda. Ia mengalami luka parah. Terbaring di
tanah digenangi darah dan lumpur. Veltman mengira ia tewas lalu
meninggalkannya. Kata Valtman, biar dia meninggal ditangan bangsanya
sendiri. Pocut Meuran Intan ternyata masih hidup. Ia diselamatkan.
Veltman kemudian mengirim dokter untuk merawat luka-lukanya. Namun,
Pocut Meuran menolak dokter Belanda itu. Ia sembuh, tetapi kondisi
tubuhnya tidak lagi sekuat sebelumnya.
Kemudian,
bersama putranya, Pocut Meurah Tuanku Budiman dimasukkan ke penjara.
Sementara putranya yang lain, Tuanku Nurdin tetap melanjutkan perjuangan
sampai kemudian ditahan oleh Belanda. Pocut Meurah Intan yang pincang
dengan kedua putranya 6 Mei 1905 kemudian diasingkan ke Blora, Jawa.
Pada 19 Septembar 1937 Pocut Meurah Intan meninggal.
0 komentar