Nasehat Pejabat Pajak Kepada Bawahannya
By Si Anak Rimo - October 16, 2012
Oleh: Syaefudin Simon
Teman saya, seorang pegawai Direktorat Jenderal Pajak Golongan III, lulusan STAN, bercerita tentang nasihat bosnya.
“Saya
tahu, Anda suatu ketika akan mendapat bingkisan dari wajib pajak,” kata
sang bos kepada anak buahnya itu. “Agar Anda selamat, maka ada enam
cara yang harus Anda lakukan,” ujarnya. Pertama, Anda jangan sekali-kali
mengambil sendiri bingkisan itu. Suruhlah kurir atau pembantu untuk
mengambilnya. Kedua, jangan sekali-kali menyimpan bingkisan itu dalam
rekening pribadi Anda. Ketiga, uang bingkisan itu jangan untuk membeli
sesuatu yang mudah dilacak, seperti properti dan mobil. Kalaupun mau
beli properti, atas namakan orang lain. Keempat, jangan pakai telepon
untuk transaksi nilai bingkisan. Kelima, jangan tulis apa pun sebagai
bukti terima bingkisan. Keenam, bagi rata secara adil bingkisan itu
kepada orang-orang yang ikut andil dalam tugas Anda. Jika enam poin itu
Anda laksanakan, niscaya aman!
Saya
sempat tercengang mendengar cerita sang teman itu. Betapa cerdiknya
para pejabat dan pegawai pajak dalam menyembunyikan uang bingkisan itu.
Gayus Tambunan, pegawai pajak yang mendapat “bingkisan” (baca:
menggelapkan pajak PT Megah Jaya Citra Garmindo Rp 24,6 miliar) itu,
tampaknya kurang mencermati nasihat tersebut. Gayus ketahuan karena
melanggar poin kedua, ketiga, dan keenam. Laporan Susno Duadji, perihal
makelar kasus di Kepolisian RI dan tingkah laku Gayus, sangat mungkin
diperoleh Susno dari bawahannya (Polri) yang tidak kebagian jatah
bingkisan; atau karyawan pajak kolega Gayus yang jatah bingkisannya
kurang; atau pihak-pihak terkait (jaksa dan hakim) yang tidak mendapat
jatah “bingkisan” secara adil. Entahlah!
Yang
jelas, korupsi di Indonesia sudah demikian tertata rapi dan tersistem,
sehingga sulit dilacak. Korupsi yang mengikuti sistem dan tata kelola
birokrasi niscaya tidak akan terlacak. Sulit membedakan mana mafia dan
mana birokrasi. Apalagi di Ditjen Pajak dan Bea-Cukai. Di kedua lembaga
ini, sudah jadi pengetahuan umum, korupsi sudah merajalela dan berurat
berakar. Faisal Basri, ekonom Universitas Indonesia, misalnya pernah
berkata, jika korupsi diberantas di Ditjen Pajak dan Bea-Cukai, niscaya
pemasukan negara dari kedua sektor itu bisa bertambah 100 persen.
Sayangnya, korupsi di Ditjen Pajak dan Bea-Cukai sulit sekali terlacak.
Jika pun ada masalah dalam perpajakan, masalahnya diselesaikan di dalam
pengadilan pajak dengan “jaksa dan hakim” orang-orang dalam di Ditjen
Pajak.
Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002 memang menentukan adanya pengadilan pajak di Ditjen
Pajak untuk menyelesaikan sengketa perpajakan. Pengadilan pajak memang
sangat berbeda dengan pengadilan umum. Namun, apakah asumsi itu cukup
kuat menjadi alasan dibentuknya pengadilan pajak yang khusus? Sudah
sejak lama banyak pihak mempersoalkan keberadaan pengadilan pajak di
internal Ditjen Pajak ini. Tapi Ditjen Pajak selalu berkilah bahwa kasus
pajak berbeda dengan kasus umum yang ditangani pengadilan negeri. Ada
beberapa hak wajib pajak yang harus dilindungi, sehingga kalau
masalahnya masuk ke pengadilan umum, bisa menimbulkan distorsi hak asasi
manusia (HAM). Itulah alasannya, kenapa di Ditjen Pajak perlu ada
pengadilan internal. Meski demikian, kalau pengadilan internal itu tidak
bisa menyelesaikan masalah, kasusnya bisa dimasukkan dalam pengadilan
umum.
Yang
jadi soal, citra dan gelagat pengadilan pajak tak beda jauh dengan
pengadilan umum. Sebagaimana opini masyarakat kepada pengadilan umum,
masyarakat pun telanjur tidak percaya kepada pengadilan pajak. Publik
menganggap pengadilan pajak tak lebih dari sarang “manipulasi dan
korupsi” dari kedua belah pihak (wajib pajak dan pemungut pajak) untuk
menegosiasikan jumlah pajak yang harus dibayar. Celakanya, kasus Gayus
membenarkan opini publik itu. Padahal kasus Gayus dianggap puncak gunung
es di pengadilan pajak, yang tiap tahunnya menangani 5.000-an lebih
sengketa pajak.
Di
pengadilan umum, kalau masalahnya menyangkut pajak yang nilainya besar,
hakim dan jaksa pun tak mau ketinggalan dibanding “koleganya” di
pengadilan pajak. Mereka pun ramai-ramai mencari “jatah bingkisan”.
Hukum pun terabaikan demi bingkisan itu. Inilah yang terjadi di
Pengadilan Negeri Tangerang. Lalu Gayus pun bebas. Tuduhan penggelapan pajak, korupsi, dan pencucian uang hilang begitu saja.
Para
pengguna facebook banyak yang bertanya, kenapa Gayus yang hanya
golongan III A bisa mengumpulkan uang sebanyak itu? Seorang pengguna
facebook, yang bekerja sebagai pegawai negeri berkomentar, “Sampai
pensiun pun, saya tidak bermimpi punya uang Rp 24,6 miliar.” Benar apa
kata para pengguna facebook itu. Tapi pegawai negeri di Ditjen Pajak
mempunyai uang sebanyak Rp 24,6 miliar seperti Gayus sangatlah mudah.
Jika Gayus yang golongan III A saja bisa mempunyai uang sebanyak itu,
bagaimana golongan IV A dan pejabat eselon I? Wah, sulit dibayangkan.
Sebelum
lari ke Singapura, ketika ditemui Satuan Tugas Pemberantasan Mafia
Hukum, Gayus menyatakan bahwa apa yang dilakukannya tidak sendirian.
Yang terlibat banyak, mulai bawahannya hingga atasannya. Uangnya
dibagi-bagi ke orang-orang yang ikut andil. Permainan seperti itu, kata
Gayus yang disampaikan kepada Mas Achmad Santosa dari Satgas
Pemberantasan Mafia Hukum, sudah biasa terjadi di Ditjen Pajak.
Buktinya? Yang meminta Gayus dibebaskan juga koleganya sendiri.
Alasan Hibah
Gayus
memang sial. Sebelum uang Rp 24,6 miliar itu dinikmati dengan aman
sampai pensiun, kasus korupsinya terbongkar. Seandainya Gayus aman dan
kariernya mulus sampai menjadi direktur jenderal di Ditjen Pajak,
niscaya Gayus punya jawaban “ampuh” kalau ditanya kenapa hartanya
sebanyak itu. Jawaban Gayus--seandainya terpilih jadi pejabat negara
lain (anggota DPR, Ketua BPK, atau menteri), cukup meniru para
pendahulunya di Ditjen Pajak: harta saya berasal dari hibah! *
Syaefudin Simon, alumnus Program Magister Ekonomi Universitas Trisakti, Jakarta
Sumber : Koran Tempo, Selasa, 30 Maret 2010
0 komentar