Ulama Besar dari Singkil: Syekh Abdul Rauf Al - Singkili
By Si Anak Rimo - December 13, 2018
Syekh Abdur Rauf Al - Singkili atau Syiah Kuala |
Mendengar nama Syekh Abdul Rauf Al Singkili, saya percaya bahwa hampir seluruh masyarakat Aceh pernah mendengar nama beliau, tapi masyarakat Aceh lebih mengenal dengan sebutan Syiah Kuala, bahkan Indonesia dan Dunia mengenal beliau lewat karya dan keilmuan yang dimilikinya.
Beliau adalah Ulama besar dan tokoh tassawuf dari Aceh yang pertama kali mengembangkan ajaran Tharekat Syattariah di Indonesia. Banyak ulama besar di Aceh dan berbagai daerah lain di Indonesia adalah murid beliau, diantaranya adalah Syaikh Burhanuddin Ulakan RA dari Pariaman, Sumatera Barat. Untuk menghargai jasa beliau terhadap kemajuan Islam dan pendidikan di Aceh, nama Beliau menjadi disematkan menjadi salah satu nama kampus di Aceh, yaitu Universitas Syiah Kuala.
Pernah waktu itu, saya bersama Uncu berangkat ke Padang dan bertemu dengan tokoh - tokoh agama dan masyarakat disana, mereka begitu menghormati sekali kami yang berasal dari Aceh Singkil, mereka selalu bertanya tentang Syekh Abdul Rauf Assingkili. Saya merasa dan yakin sekali, begitu kuatnya pengaruh dan perkembangan agama Islam di Sumatera Barat sangat dipengaruhi oleh Ulama Burhanuddin yang merupakan murid Beliau. Bahkan sebahagian besar tokoh yang saya jumpai menyatakan keinginan untuk berziarah ke Makam Syekh Abdur Rauf di Singkil.
Syekh Abdur Rauf lahir di Desa Suro pada tahun 1620, namun ada juga yang berpendapat bahwa beliau lahir tahun 1615. Nama asli beliau adalah Aminuddin Abdur rauf Bin Ali Al - Jawi Al - Fansuri As Singkili. Beliau adalah putra dari seorang Arab asli yang dulu menetap di Singkel, atau saat ini dikenal dengan Kabupaten Aceh Singkil. Keluarga besar beliau adalah keturunan dari ulama Parsi, Syekh Al - Fansuri yang menikahi seorang wanita setempat dari Fansur " Barus " dan menetap di Singkel.
Para cendikiawan muslim abad ini mencatat beliau termasuk dalam Ats Tsalitsul Awal " tiga tokoh pertama " yaitu Syaikh Nuruddin Ar - Raniri RA, Syaikh Abdur Rauf As - Singkili RA, dan Syaikh Muhammad Yusuf Makasar RA sebagai pembaharu Islam di nusantara.
Dibesarkan seorang ayah yang paham akan agama, menjadikan keluarga besarnya memiliki pemahaman agama yang tinggi. Ayah beliau adalah pendiri dayah “ pasantren “ di Suro, Lipat Kajang. Dulu sebelum Suro menjadi sebuah kecamatan, daerah ini masih berada di dalam wilayah kecamatan Simpang Kanan yang beribukota Lipat Kajang. Di Pasantren yang didirikan ayahnya itulah Abdurrauf Al Singkili mendapatkan pendidikan dasar, kemudian melanjutkan pendidikan ke Dayah Oboh, Rundeng Simpang Kiri yang dipimpin oleh paman beliau sendiri, yaitu Syekh Hamzah Fansuri. Dahulu Aceh Singkil itu hanya terdiri dari beberapa kecamatan, antara lain Singkil, Simpang Kanan dan Simpang Kiri, Rundeng. Namun seiring berjalannya waktu, terjadi pemekaran di Kabupaten Aceh Singkil dan melahirkan satu daerah baru yaitu Kota Subulussalam.
Setelah selesai mendapatkan pendidikan di tempat itu, beliau melanjutkan menuntut ilmu ke dayah Geudong pimpinan Syekh Syamsudin Sumatrani di Pasai, dan setelah itu beliau melanjutkan belajar agama ke Arab Saudi selama lebih kurang sembilan belas tahun.
Sebagai ulama besar, Abdurrauf
Al Singkil banyak melahirkan karya – karya yang masih dapat diketahui, antara
lain :
Saat ini di Aceh Singkil ada banyak pasantren yang diberi nama Pasantren Syekh Abdur Rauf, hal ini didasarkan kebanggaan masyarakat atas nama beliau serta satu impian agar islam kembali berjaya seperti dimasa beliau waktu itu. Alhamdulillah waktu kedatangan Ustadz Abdul Somad, masyarakat mengumpulkan dana untuk membangun pasantren dengan menggunakan nama Syekh Abdurrauf.
Saya begitu kagum terhadap ulama Syekh Abdurrauf, selain berasal dari kampung saya, kearifan dan tutur kata serta penjelasan yang tersusun rapi dan tuntas selama membantu kerajaan membuat saya semakin kagum.
Saya berharap, semoga Aceh Singkil dapat menjadi daerah yang menjadi mercusuar penyebaran Islam di tanah Aceh dengan mengirimkan banyak putra - putrinya belajar dan mengembangkan agama ke seluruh penjuru. Setelah itu mereka akan kembali membangun pasantren / dayah di tengah - tengah masyarakat.
- Mi’rat Al – Thullab, sebuah kitab fiqih dalam mahzab Imam Syafi’i. Kitab ini sangat banyak dikenal dan pernah dicetak di Instanbul, Turki, Amsterdam oleh Johannes Muller, salah satu alasan kenapa kitab ini banyak dicetak karena dinilai tepat untuk latihan berpikir. Bahkan di negeri Belanda, kitab ini dijadikan buku wajib dalam mata kuliah hukum islam yang diberikan oleh A. Meursinge di Sekolah Tinggi Koninklijke Akademis di Delft.
- Turjumun Al - Mustafid, sebuah kitab tafsir. Cetakan keempat Kitab ini pernah dicetak di Kairo pada 1952. Bahkan kitab ini masih dipakai di sekolah agama di Siam dan Malaysia.
- 'Umdat Al - Muhtajin, kitab ini berisi uraian tentang ilmu tasawuf yang sebenarnya menurut agama Islam.
- Al - Thariqat Al Syattariah. Kitab ini menguraikan tentang dasar - dasar dari tarikat itu sendiri, kitab ini disusun atas permintaan Ratu Shafiyatuddin.
- Majmu' Al Masail, sebuah kitab tentang seputar tanya jawab permasalahan sosial yang berkaitan dengan agama Islam.
- Serta kitab Mawa'idh Al Badiah, Hidayat Al - Balighah.
Ini adalah karya - karya beliau yang masih mudah didapatkan. Banyak karya beliau yang sulit ditemukan saat ini, namun banyak yang tersimpan rapi di berbagai Museum di Malaysia, Jakarta, Inggris, Belanda.
Di kalangan pegikut tasawuf Syatariah, Abdur Rauf dipandang sebagai " Quthub Rabbani Wahidun Bila Tsani " sebutan yang sangat terhormat yang diberikan kepada tokoh sufi tertinggi. Selain kebesaran dan ketinggian ilmu yang dimilikinya, beliau juga dikenal karena kemampuannya menyederhanakan persoalan. Seperti dalam menilai dua perkaran tidak harus memvonis, bahwa ini benar dan itu salah, atau sebaliknya. Hal ini juga terjadi saat terjadi perselisihan besar di Aceh kala itu, sebuah perselisihan besar antara dua paham tasawuf di Kerajaan Aceh, antara Wujudiyah dan Qadariah. Masyarakat dilanda kebingungan yang sulit akan mana yang harus diikuti dan rakyat saat itu membutuhkan jawaban. Perkembangan agama di Kerajaan Aceh, khususnya masa pemerintahan Iskandar Muda sangatlah baik dan berkembang. Terlebih saat itu Sultan Iskandar Muda sedang giat membangun kerajaan atas dua sendi, yaitu kuat rohani dan kuat ekonomi.
Untuk mewujudkan program tersebut, Sultan mendatangkan para ahli dari luar negeri. Untuk bidang ekonomi beliau mendatangkan ahli pengairan, pertanian, perikanan dan lain lain, sedangkan dalam urusan agama beliau menghadirkan ulama besar untuk datang ke Aceh.
Namun masa itu perselisihan antara Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani dengan Nuruddin Arraniri sudah semakin panas dan kedua belah pihak sudah saling mengkafirkan. Sekalipun perselisihan ini dapat diredakan oleh Sultan Iskandar Muda dan kedua pihak berdamai, namun dampak negatif perselisihan ini masih sangat terasa di masyarakat, bahkan masih sangat terlihat saling memojokkan dan merasa paling benar. Saat itu Syekh Abdurrauf masih berada di Arab Saudi, beliau sangat diharapkan untuk pulang guna menyelesaikan perselisihan ini.
Perselisihan paham ini terus berlanjut sampai ke masa pemerintahan Iskandar Tsani, menantu Iskandar Muda. Kebetulan beliau adalah pengikut paham Qadariyah yang dibangun oleh Syekh Abdul Kadir Al - Jaelani, dengan demikian Sultan adalah seorang paham Wujudiyah.
Pada masa pemerintahan Ratu Shafiyatuddin inilah, Syekh Abdur Rauf pulang dari Arab Saudi. Setibanya di Aceh, beliau mengadakan pengamatan sejauh bana perselisihan itu di tengah - tengah masyarakat dan dampaknya terhadap persatuan ummat. Beliau turun langsung dan menyelusup ke lapisan masyarakatdan menyamar sebagai petani, pedagang dan nelayan. Pernah satu ketika beliau tersenyum arif saat mendengar penuturan beberapa orang bahwa sebahagian besar masyarakat menunggu kedatangan Syekh Abdurrauf dari Mekkah.
Setelah beberapa lama turun di lapangan, beliau menyimpulkan bahwa perselisihan itu terus terjadi karena mereka kurang pendidikan. Jalan satu - satunya mengatasi hal itu, perlu diadakan pengajaran agama yang utuh dan mendalam. Sebagai tindak lanjut, beliau pun mendirikan Sekolah Agama di Kuala Sungai Aceh.
Perselisihan paham ini terus berlanjut sampai ke masa pemerintahan Iskandar Tsani, menantu Iskandar Muda. Kebetulan beliau adalah pengikut paham Qadariyah yang dibangun oleh Syekh Abdul Kadir Al - Jaelani, dengan demikian Sultan adalah seorang paham Wujudiyah.
Pada masa pemerintahan Ratu Shafiyatuddin inilah, Syekh Abdur Rauf pulang dari Arab Saudi. Setibanya di Aceh, beliau mengadakan pengamatan sejauh bana perselisihan itu di tengah - tengah masyarakat dan dampaknya terhadap persatuan ummat. Beliau turun langsung dan menyelusup ke lapisan masyarakatdan menyamar sebagai petani, pedagang dan nelayan. Pernah satu ketika beliau tersenyum arif saat mendengar penuturan beberapa orang bahwa sebahagian besar masyarakat menunggu kedatangan Syekh Abdurrauf dari Mekkah.
Setelah beberapa lama turun di lapangan, beliau menyimpulkan bahwa perselisihan itu terus terjadi karena mereka kurang pendidikan. Jalan satu - satunya mengatasi hal itu, perlu diadakan pengajaran agama yang utuh dan mendalam. Sebagai tindak lanjut, beliau pun mendirikan Sekolah Agama di Kuala Sungai Aceh.
Saat ini di Aceh Singkil ada banyak pasantren yang diberi nama Pasantren Syekh Abdur Rauf, hal ini didasarkan kebanggaan masyarakat atas nama beliau serta satu impian agar islam kembali berjaya seperti dimasa beliau waktu itu. Alhamdulillah waktu kedatangan Ustadz Abdul Somad, masyarakat mengumpulkan dana untuk membangun pasantren dengan menggunakan nama Syekh Abdurrauf.
Saya begitu kagum terhadap ulama Syekh Abdurrauf, selain berasal dari kampung saya, kearifan dan tutur kata serta penjelasan yang tersusun rapi dan tuntas selama membantu kerajaan membuat saya semakin kagum.
Saya berharap, semoga Aceh Singkil dapat menjadi daerah yang menjadi mercusuar penyebaran Islam di tanah Aceh dengan mengirimkan banyak putra - putrinya belajar dan mengembangkan agama ke seluruh penjuru. Setelah itu mereka akan kembali membangun pasantren / dayah di tengah - tengah masyarakat.
0 komentar