Sarjana Berbagi Cerita #4 : Sejarah Bisa Kuliah Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian

By Keumala Bangsa - July 15, 2018

" Sempat terfikir untuk tidak melanjutkan pendidikan lebih tinggi karena kendala biaya, kehidupan ekonomi keluarga yang sedang dalam kondisi yang tidak stabil, membuat saya harus memutar otak dan menyiapkan segala kemungkinan, hanya satu saat itu yang terlintas. Bekerja " - Karunia Sari, Pengajar Muda Angakatan XV Aceh Singkil

Sekilas Tentang Karunia Sari

Sempat menjabat sebagai Kepala Departement Kewirausahaan BEM FTP tak membuatnya berkecil hati, “Bukan berarti anak basis ekonomi tidak bisa berkegiatan sosial”, ungkapnya.

Pernah diberikan amanah untuk mengabdi di sebuah Pulau kecil di ujung Barat Indonesia, membuat Nia, salah satu mahasiswi kelahiran Yogyakarta, sekaligus penerima beasiswa bidikmisi, membayangkan hal yang sama, yaitu, senyum dan semangat pagi dari anak-anak Aceh. Bedanya, tempat saya bertumbuh nanti, bukan lagi di SDN Alue Reuyeueng tetapi SDN Lae Balno, Aceh Singkil. Berbekal keingian untuk belajar dan kesukaanya pada dunia anak, Ia jadikan modal untuk merubah perwajahan pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik. Ia ingin, anak-anak Indonesia dapat mengenyam bangku pendidikan sampai derajat yang sama.
 “Anggap saja, balas budi terhadap negara yang sudah membiayai setiap langkah pendidikanku” ujarnya. Itulah, yang membuatnya memutuskan untuk bergabung di Gerakan Indonesia Mengajar. Ia yakin, perubahan kecil ini kelak akan memberikan dampak yang besar bagi mereka.


Melanjutkan Pilihan Terbaik Dalam Hidup

Kembali lagi mengenang masa-masa yang dilalui, setiap hari ke sekolah dengan mengayuh sepeda. Saat itu saya masih duduk di kelas 3 SMA, sekitar 5 tahun yang lalu. Sempat terfikir untuk tidak melanjutkan pendidikan lebih tinggi karena kendala biaya, kehidupan ekonomi keluarga yang sedang dalam kondisi yang tidak stabil, membuat saya harus memutar otak dan menyiapkan segala kemungkinan, hanya satu saat itu yang terlintas. Bekerja.

Rupanya, Allah melihat sisi lain dari kesungguhanku untuk merubah ekonomi keluarga, maka Allah berikan beasiswa BIDIKMISI untuk mencapainya. Beasiswa tersebut yang membuatku semangat mengayuh sepeda setiap pagi ke sekolah. Hampir setiap hari tergopoh-gopoh bangun pagi agar tidak terlambat kelas tambahan jam ke-nol, kelas yang membuat saya bisa jadi seperti ini. Setiap pagi memang kami dipersiapkan untuk belajar menghadapi soal yang rumit ketika ujian maupun ketika dalam tekanan terutama issue SNMPTN/ SBMPTN yang dahsyat saat itu.

Waktu berjalan begitu cepat, hingga tak terasa tibalah saat kami harus menentukan jalan hidup dan duduk mengadu nasib di depan komputer untuk mendaftar SNMPTN, komputer rumah Nyunyu seakan menjadi saksi bisu pendaftaran SNMPTN sore itu.

  Kalau aku lolos SNMPTN, aku cuma mau kuliah di TPHP UGM. Ga mau yang lain, karena kuliah itu intinya bukan asal masuk UGM tapi juga diterima di jurusan yang paling aku inginkan ”, kataku.

Jurusan yang dipilih adalah TPHP (Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian), Univesitas Gadjah Mada. Sungguh hanya satu yang ku pilih, dengan mempertimbangkan segala resiko. Bismillah, saya membulatkan tekad saat itu.

Memilih satu jurusan tanpa mengisi pilihan jurusan cadangan, itu merupakan sebuah taktik beresiko besar. Pihak SNMPTN biasanya akan mempertimbangkan keseriusan seorang anak dalam memilih jurusan. Pemilihan satu jurusan, cukup membuat “ yakin ” panitia SNMPTN bahwa pendaftar sangat serius dengan satu jurusan yang dipilihnya, sehingga menjadi nilai plus bagi pendaftar namun resiko yang diambil sangat besar. Kalau tidak lolos pilihan pertama, maka hangus sudah kesempatanmu juga di SNMPTN tersebut. Keputusan yang dibuat sore itu, sudah sangat bulat hingga tibalah waktu pengumuman SNMPTN. Waktu itu tepat jam tiga sore, saya dihubungi Nyunyu untuk kembali berhadapan dengan komputer yang menjadi satu-satunya saksi bisu – lagi- kala itu.

Sepeda ku kayuh dengan hati yang berdebar di setiap kayuhannya. Berharap bisa menyelesaikan tahap ini dengan mulus. Semakin dekat sepeda ku kayuh dan segera aku letakkan di halaman rumah Nyunyu, bergegas aku menjemput komputer yang ada di kamarnya, mengetik nomer ujian, tanggal lahir, dan password.

SELAMAT ANDA DITERIMA DI UNIVERSITAS GADJAH MADA, JURUSAN TEKNOLOGI PANGAN DAN HASIL PERTANIAN”

Kaki bergetar, mulut seketika membisu, hanya sujud syukur yang bisa ku lakukan dan memeluk Nyunyu dengan erat sore itu. Seketika mengambil sepeda dan kembali mengayuh untuk pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, tanpa pikir panjang, sepeda langsung ku lepaskan dan berlari ke arah Bapak dan mengabarkan berita gembira yang ternyata menjadi awal perjalananku menjalani hidup hingga hari ini.

HALLO TPHP!

Kalau dibilang berani ambil resiko, memang. Bahkan sudah dijelaskan alasan hanya mengisi pilihan pertama dan mengosongi pilihan kedua. Tapi, masih ada yang ngganjel.
Alasanku seyakin itu dengan TPHP, bermula dari kakak angkatan yang masuk ke tiap kelas kala itu. TPHP adalah sebuah jurusan yang mampu mengakomodir kesukaanmu terhadap bidang pangan, baik makanan (berupa jajan ringan), maupun ke industri kreatif.
Jujur memang, mimpiku saat itu hanya satu.

Saya memiliki sebuah usaha yang menganut paham industri kreatif (khususnya makanan), yang kemudian saya akan mengajak masyarakat sekitar untuk mengembangkannya bersama”, sesimpel itu. Bahkan belum terfikir hal lain untuk dijadikan “cita-cita” selepas kuliah.

Hari demi hari dilalui, berkuliah di TPHP itu merupakan hal yang unik. Ketika orang lain tidak pernah mempertimbangkan berapa panas dan waktu yang dibutuhkan agar sebuah telor matang sempurna, kami melakukannya. Kenapa? Se-detail itu hingga kami mempertimbangkan aspek gizi dan kesehatannya dengan harapan makanan tersebut matang sempurna dan membunuh mikrobia yang ada sehingga aman untuk dikonsumsi. Lucu memang, tapi inilah kami.

Menjalani hari-hari menjadi seorang TPHPers, lumayan menyenangkan. Terlebih lagi memang, inilah jurusan yang diidamkan dari dulu tapi terkadang juga merasa malas tiba-tiba terlebih jika bertemu mata kuliah yang sangat susah, namun kembali lagi saya harus membulatkan tekad dan mengulang tujuan saya memilih jalan tersebut agar terus dikuatkan Gusti Allah.

JALAN PILIHAN NIA.

Jalan yang dipilih ini sempat agak membuyarkan fokus dalam pencapaian “cita-cita” selepas kuliah, yang bisa membuka jalan pekerjaan di perusahaan/pabrik makanan sebagai Quality Control, Quality Assurance, Management Training, dan segala macam posisi dalam proses produksi makanan. Di luar itu, jika memiliki jiwa sosial yang tinggi, bisa mengambil jalan sebagai sosio-enterprenur di bidang makanan, atau bisa juga bekerja untuk negara di LIPI/BPOM/LABEL HALAL MUI. Begitu jalan yang bisa diambil ketika “kamu” memutuskan untuk memilih jalan sebagai teknolog pangan.

Namun, saya mencoba memilih jalan yang berbeda. Jalan menjadi seorang teknolog pangan, tidak menyudutkan hati dan membuatku hanya terfokus pada satu bidang saya.

Kala itu saya memutuskan masuk di BEM setelah tahun kedua saya berkuliah, menyasar kegiatan ekonomi-sosial masyarakatnya. Dari situlah saya berkembang dan mendapat banyak kepercayaan dari berbagai pihak, kesempatan tersebut sempat membawa saya menjadi Kepala Departement Pengembangan Usaha Mandiri. Sebuah departement di BEM yang bergerak di eko-sosial kampus ataupun masyarakat. Tak cukup dengan satu tanggungjawab, rasanya masih ada yang “ngganjel” kalau belum berbagi.

Rasanya di tahun 2014 menjadi sebuah titik balik, kala itu Nia bersama tiga temannya berkesempatan menginjakkan kaki di Surya University, Tangerang. Kala itu saya mengikuti lomba “Social Project Development” dengan project “Mantra Home-pim-pah” yaitu sebuah wadah untuk mengenalkan permainan tradisional sebagai sarana pembelajaran anak-anak sambil bermain.

Rupanya Allah berkata lain, masih belum diberikan kesempatan mendapatkan posisi yang terbaik, namun sungguh banyak sekali pembelajaran yang bisa dibawa pulang. Pilihan jalan ini juga yang menjadi jumping stone  buat diriku sendiri hingga memutuskan setelah selesai tanggungjawab Kepala Departement selesai, memilih untuk bergabung dengan sebuah komunitas mainan anak-anak dan pendidikan yaitu Museum Kolong Tangga. Kali ini, saya tidak akan banyak bercerita mengenai apa itu Museum Kolong Tanngga karena segala penjelasan mengenai komunitas ini, bisa kamu lihat sendiri di http://kolongtangga.org yang hingga saat ini terus berusaha menunjukkan eksistensinya.

Memiliki kesempatan mengenyam pendidikan yang tinggi, merupakan sebuah kesempatan berharga buatnya, terlebih selama saya bersekolah, Bidikmisi menjadi penyelamat di tengah ekonomi keluarga yang saat itu carut-marut yang sempat memutuskan semangatnya untuk kuliah. Rasanya, selain ilmu bermanfaat yang diperoleh, masih ada rasa ingin berbagi dengan orang lain dengan jalan lebih nyata selain komunitas Museum Kolong Tangga. Itulah awal mula yang membuatnya bisa berdiri tegak disini, hari ini, di Aceh Singkil untuk mengabdikan diri.

Sekedar sangat yakin, bahwa anak-anak disini yang nasibnya sama kurang beruntungnya dalam keadaan ekonomi juga bisa memiliki mimpi yang sama sepertiku.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar