Rindu sang Anak Pemalu
By Si Anak Rimo - November 28, 2016
Kota Tua Jakarta |
Kala berkayuh menuju pantai, kerap bersua ragam halangan. Tidak semua
hasrat kan sampai, kadang terbentur di tengah jalan. Tapi bila kaki
telah melangkah, jangan dikenang lagi akan kembali. Walaupun tiang layar
bergerak patah, namun sebelum sampai jangan berhenti. Janganlah hati
beragak singgah karena melihat pulau indah menarik, bukan semua yang
tampak indah tahan luntur di panas terik. Bukan semua cita - cita dapat
dicapai dengan mudahnya, tapi ku yakin dibalik derita bahagia menanti
sesudahnya. Bila bintang tak jua terbit, harus tabah hati menerima.
Yakinlah bila bulan dah sabit esok lusa pasti purnama. - Lirik lagu
qasidah kesukaan Mamak, lagu yang paling sering di dengar semasa kecil.
Tak seorang pun anak yang sanggup terlalu lama berpisah jarak dengan ibu, akan selalu hadir rindu yang begitu dalam. Sebaik apapun kota tempat sang anak menetap, seramah apapun masyarakat menyambutnya, sebanyak apapun materi yang ia miliki, kasih sayang ibu tak akan ada tandingannya.
Lelaki ini harus berkelana jauh, terkadang ia terhempas di tengah arah yang tak pasti. Rindu yang terus menggunung membuat dadanya begitu sesak oleh hal yang tak pasti. Seorang wanita yang begitu mencintainya yang ia temui di persimpangan kehidupan, kini mulai ragu menjalalani kehidupan bersama - sama nantinya.
Bu, sejujurnya ingin sekali aku pulang untuk bersimpuh memeluk mu memohon ampun. Lebaran tahun lalu juga aku tak mencium tangan lembut mu dan juga ayah, melihat senyum adik - adik yang semakin tumbuh dan dewasa. Anak mu memang terlihat begitu tersenyum manis menghadapi roda kehidupan yang saat ini menghempaskannya, namun dalam jiwanya ia rapuh akan kasih dan peluk mu. Ia tak kuasa menyembunyi kan kegundahannya di tengah keheningan malam yang penuh dengan kegelisahan yang tak berujung.
Bu, bolehkah aku pulang ?
Melepas rindu tak sanggup ku pikul sendiri di kota ini. Melepas kesedihan yang kian menyayat hati dan menyesakkan dada ini bu. Melihat wajah mu di pagi hari kala mentari mulai memperlihatkan senyumnya di ufuk timur, berjalan bersama tanpa alas melewati aspal - aspal depan rumah kita tanpa berani bertutur kata.
Bu, aku masih dan akan selalu merindukan mu. Aku juga tak pernah lupa memutar lagu qasidah kesukaan mu. Aku tau sampai saat ini tak berani mengatakan ini secara langsung pada mu bu. Tapi aku selalu berdoa pada Allah, sang Pemilik segala cinta di alam semesta, aku meminta agar engkau selalu dijaga dalam setiap langkah mu. Sembah sujud untuk mu Ibu.
2 komentar
pilu
ReplyDeletekisahnya buat rintihan air
ReplyDelete