Mengeja Cinta di Pulau Aceh

By Si Anak Rimo - November 07, 2016


Bersama Anak - Anak Meulingge

Pulau Aceh, nama yang tak asing sejak beberapa tahun lalu. Nama itu begitu jelas terekam di memori ketika kakak sepupu menikah dengan salah satu pemuda Pulau Aceh yang telah. Seiring perjalanan waktu, rekaman tentang pulau ini pun hilang begitu saja sejak aku mulai disibukkan dengan dunia kampus. Sebetulnya aku malu menuliskan kisah ini, kisah yang seharusnya sudah dimulai sejak aku menjadi mahasiswa baru. Kisah yang menceritakan tentang sebuah pulau yang secara geografis sangat dekat, bahkan dapat dipandang dengan mata telanjang dari ujung kota Banda, namun serasa jauh di hati. Meski demikian, sore ini kucoba untuk mengetikkan  kisah ku tentang sebuah pulau di ujung barat negeri ini.

Meski telah lumayan lama menjadi mahasiswa dan tinggal di Banda Aceh. Aku belum pernah sekalipun berkunjung ke pulau ini, ada keinginan yang besar untuk dapat melakukan perjalanan kesini. Seminggu sebelum berada di pulau itu, aku sempat berdikusi dengan sahabat bahwa aku ingin sekali kesana dalam program pendidikan. Namun, sampai saat ini belum memungkinkan karena tugas akhir dan kegiatan di organisasi yang sedang banyak. Siapa bisa menduga, setelah itu ada sebuah telepon bahwa kita diundang untuk ikut serta ke Pulau Aceh. Alhamdulillah kesempatan itu pun hadir di penghujung tahun 2014,  namun sejak saat itu ada cinta dan rindu yang selalu membekas hingga membuat ku ingin terus kembali kesana.

Nama Pulau Aceh tidaklah setenar Sabang atau pun Pulau Banyak yang menyita perhatian masyarakat terutama anak muda, di dunia instagram pun Pulau Aceh tak begitu banyak terlihat untuk mengisi liburan dari penatnya tugas – tugas perkuliahan. Namun dibalik itu semua, ada banyak pesona keindahan alam dan kearifan masyarakat yang menentramkan. Saya pun yakin ada hal yang akan selalu dirindukan dari pulau ini, pulau yang tidak hanya bercerita tentang keindahan pantai dan mercusuar yang menjulang ke langit, melainkan ada kehidupan masyarakat yang membuat saya belajar bersyukur.

Perjalanan Pertama ke Pulau Aceh
Mengarungi Samudera
Lebih dari 3 jam kami berada di boat nelayan, kondisi boat saat itu memang lambat karena beban yang begitu banyak dan gelombang yang sedang tidak bersahabat. Kayu penyangga dermaga kecil di sebalik pulau berderak saat boat kami bersandar. Dermaga ini menjadi penanda ketibaan kami, anak – anak dan masyarakat pun berdiri melihat sekumpulan anak muda yang sedang sibuk menurunkan seluruh barang bawaan. Di ujung cakrawala, mentari mulai rebah di peraduan. Cahaya keemasannya memantul menimbulkan kilau, akhirnya aku tiba di Rinon. Nama ini mungkin tak banyak yang mendengar, sebuah desa di Pulau Aceh, lebih tepatnya pulau breuh. Pulau Aceh bukanlah sebuah pulau yang penuh dengan bangunan dan ruko – ruko megah dengan jaringan wifi yang ada di setiap cafe dan warungnya. Tapi ketiadaan semua itulah yang membuat ku bersemangat kala itu, ada sebuah keinginan untuk melepaskan kepenatan dari aktivitas yang tiada habisnya di balik keriuhan ibukota. Desa inilah menjadi tempat dimana kaki ini pertama ku langkahkan, pulau terbarat di negeri ini. 

Kedatangan ku tidak sendirian, aku dan teman – teman diundang untuk turut serta dalam bhakti sosial dan pendidikan bersama mahasiswa himpunan teknik pertambangan. Dalam kegelapan malam dihiasi bintang di langit, kami berjalan menyusuri jalanan kerikil yang membuat kaki sedikit harus lebih kuat. Dalam kegelapan malam, bermodalkan cahaya rembulan dan senter handphone, kami harus sedikit berhati – hati karena ada banyak sekali kotoran – kotoran kerbau dan lembu di sepanjang jalan. Tak ada kepadatan rumah penduduk di desa ini, ada jarak yang cukup jauh untuk setiap rumah. Saat itu jalan di desa sedang dalam tahap pembangunan sehingga ada banyak kendaraan alat berat yang terparkir dipinggir jalan, serta listrik yang masih bergilir. 

Kita menghabiskan hari – hari bersama anak di sekolah, berdiskusi dan bermain bersama. Saat matahari mulai berada di barat, kami berenang dan bermain di pantai sambil melihat masyarakat memancing. Kami tak hanya belajar di ruang kelas yang hanya memiliki beberapa kursi dan hiasan di dingdingnya, kami belajar di pantai agar mereka tak bosan dan dapat memberikan suasana yang berbeda. Dua hari di pulau ini memberikan ku banyak sekali pelajaran yang mungkin tak kudapatkan di ruang perkuliahan, pelajaran tentang syukur dalam menjalani perjalanan kehidupan. Ketika jatah listrik telah padam, aku biasanya keluar untuk duduk dibawah langit sambil merenungkan seluruh hal yang telah dan sedang ku lakukan. Banyak hal yang membuat ku lupa bersyukur kala itu dan aku sedang berusaha untuk terus belajar dan mamaknai di setiap peristiwa.

“ Anak anak disini memang dapat bersekolah, tapi mereka akan kesulitan untuk masuk di tingkat smp apalagi SMA. Lagi pula adik – adik sudah melihat sendiri bagaimana kondisi pendidikan disini, kita memiliki bangunan tapi kita kekurangan guru “, ujar salah satu masyarakat.

Tak sanggup berkata apa apa, aku juga tak tau harus bereaksi seperti apa. Aku hanya terdiam membisu sambil mengutuk diri, mengutuk kenapa baru saat ini aku datang kemari.
Waktu itu hanya ada satu guru honor dan dua guru dari program sm3t kementerian pendidikan, ada satu kendala yang dihadapi yaitu anak – anak yang kesulitan berbahasa indonesia. Mereka sudah terbiasa memakai bahasa aceh, namun disisi lain guru – guru hanya bisa berbahasa Indonesia dan tak bisa berbahasa aceh, butuh waktu agar mereka dapat berkomunikasi dengan baik. Biasanya guru dari pulau jawa ini akan mengajak satu anak yang bisa berbahasa indonesia saat berada di kelas, supaya pesan itu dapat tersampaikan. 

Di lain waktu aku berdiskusi dengan guru – guru tentang kondisi pendidikan disini. Alhamdulillah sedang ada pembangunan jalan dan gedung SMP ( sekolah menengah pertama ) terpadu, walau tak memiliki banyak murid namun secercah harapan itu telah hadir. Kita pun melanjutkan diskusi ringan tentang kota semarang, kebetulan aku memiliki sedikit kisah yang belum terselesaikan di kota semarang itu.

Ada banyak sekali cerita yang terus mengingatkan ku saat berada di pulau ini, aku tak mungkin menuliskan seluruhnya disini. 

Setelah meninggalkan pulau ini dan disibukkan oleh kegiatan – kegiatan, sebenarnya aku meninggalkan sepotong hati ku di Pulau Aceh. Aku berjanji dalam hati, secepat mungkin aku harus kembali kesini. Aku dapat memandang dari bibir pantai di dekat kos ku mercusuar yang menjulang tinggi, hampir selalu ada moment aku melihat pulau itu karena pulau ini memang dapat dilihat dari ujung kota banda tanpa teropong atau apapun.

Senyatanya masa depan Aceh ini ada di ruang ruang kelas. Lihatlah senyum dan pancaran masa depan dari wajah mereka. Jika teman punya rezeki dan waktu, berkunjunglah kemari. Pancaran harapan di wajah mereka terkadang redup, hadirlah membawa harapan dan katakan kepada mereka bahwa perubahan itu sudah dekat.  Ini jumlah anak anak dari kelas l sampai lV sebuah desa di Pulau Aceh sana, ruang kelas nya bersih, sedikit hiasan dinding dan jika meja disusun berdasarkan kelas, maka tak lebih dari 10 orang satu kelas, jika tak ada guru SM3T waktu itu maka hanya ada satu dua guru dalam satu sekolah yang hadir. Guru SM3T asal Jawa itu pun terkadang kesulitan karena tak bisa berbahasa Aceh dan anak anak juga tak bisa berbahasa Indonesia. Kata salah satu masyarakat, desa ini memiliki murid terbanyak dibanding desa lain. Menurut ku siapapun yang pernah ke pulau ini, ia pasti akan rindu untuk kembali dan kumpul bersama anak - anak disana.

Anak SD Rinon
Anak SD Negeri Meulingge
Sungguh sejatinya tempat mereka tinggal dapat kita pandang dari pinggiran ibukota, namun ia terkadang jauh dari lubuk hati kita. Sungguh kita ingin sekali kembali kemari dengan peran yang berbeda, tidak hanya membawa senyum dan sedikit bekal ilmu. Senyum tulus mereka terkadang menampar ku secara tak langsung tentang nikmat Allah mana lagi yg aku dusta kan. Sesekali istirahatlah sejenak dari konstelasi politik yg kian memanas, hadirlah kemari untuk menghidupkan kembali harapan mereka. Alhamdulillah jalan, listrik, dll di desa ini sudah ada perbaikan. Namun pendidikan lah kunci semua pembangunan di disana.

Kuba dengan Castro nya mampu menggerakkan ribuan bahkan jutaan orang kota dan terdidik untuk datang ke kantong permasalahan pendidikan di pelosok, di kantor - kantor terpampang slogan " if you know, teach, if you don't know, learn ". Ini menjadi bukti nyata bahwa anggaran besar bukanlah hal terpenting dalam membangun dunia pendidikan, melainkan tekad politik Pemerintah dan rakyatnya. 

Menikmati Laut Rinon
Tuhan tidak menciptakan manusia diatas manusia lain. Maju tertinggal, miskin kaya dan bijaksana atau bodoh, datangnya dari masalah pendidikan, begitu kata tokoh reformasi pendidikan Jepang beberapa abad lalu. 

Di saat negeri ini sedang berlomba membangkitkan laju pertumbuhan ekonomi, saat media – media penuh liputan kondisi ibukota yang diwarnai hutan – hutan beton. Namun di nusantara lain, masih banyak daerah yang tak tersentuh oleh kemajuan peradaban, seolah olah mereka bukan pemilik sah dari negeri ini. Alhamdulillah kini Pemerintah sedang berusaha keras melunasi janji kemerdekaan untuk mencerdaskan anak bangsa dan pembangunan di berbagai bidang. Tugas kita adalah memastikan bahwa kita selalu hadir di setiap ikhtiar republik ini. Di Pulau ini juga kita bisa merasakan Indonesia dari sudut pandang yang berbeda.

Baca juga, Pulau Aceh surga yang terlupakan

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar