Singkel Bisa #1 : 2024 Putra Aceh Singkil Wajib Duduk di Parlemen Aceh

By Si Anak Rimo - October 24, 2021

Aceh Singkil, Kabupaten Paling Selatan Provinsi Aceh

Sejak kecil kita selalu membaca dan mendengar cerita betapa jaya dan kayanya daerah kita, seperti dongeng yang dikisahkan ayah kepada putranya, kisah bagaimana perusahaan besar mengeksploitasi sumber daya alam selama puluhan tahun seperti perusahaan kayu yang sangat mendunia, PT Gunung Raya Utama Timber Industries “ GRUTI “ hingga perkebunan kelapa sawit yang kini semakin menggurita dan dilirik berbagai kalangan, daerah itu dinamakan Aceh Singkil. Kisah ini sampai sekarang sering kita dengar di berbagai media dan diskusi para sejarawan, namun timbul satu pertanyaan yang harus kita jawab bersama dalam lubuk hati terdalam, Kemana arah pembangunan daerah yang kaya ini ?

Apakah arah pembangunan daerah ini kita ditentukan sepenuhnya oleh provinsi, investor atau kolaborasi dari stakeholder di daerah. Jawabnya adalah ditangan seluruh stakeholder pembangunan, baik yang ada di daerah, provinsi ataupun pusat. Lantas bagaimana hubungan antara daerah, provinsi dan pusat dalam akselerasi pembangunan di daerah ?

Pertanyaan inilah yang coba penulis uraikan berdasarkan pengalaman kerja dan dunia usaha yang kita jalani saat ini.  

Beberapa hari lalu saya membaca tulisan senior juga sahabat saya, Bang Fauzan Hidayat di salah satu media dengan judul “ Karena Singkil Kon Awak Geutanyoe “. Tulisan ini menarik untuk kita baca sebagai bentuk refleksi bagaimana hubungan provinsi terhadap dinamika pembangunan di daerah, tetapi lebih tepat sebagai bahan intropeksi stakeholder daerah dan kita semua dalam menyusun arah pembangunan daerah, saya meyakini budaya diskusi melalui tulisan dan dialektika ini harus terbangun dalam memberikan berbagai referensi dan solusi terhadap dinamika dan permasalahan pembangunan.

Kita tidak bisa mengeneralisasi suatu kondisi untuk menyimpulkan satu dinamika politik, isme kedaerahan atau suku serta bahasa tidak hanya terjadi di Aceh, melainkan banyak terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Kita tak perlu jauh untuk melihat satu contoh, Aceh Singkil juga memiliki satu skat yang belum bisa disatukan dalam menyusun arah pembangunan. Apakah ini karena bukan orang kita atau jika memakai bahasa daerah entang kalak kita, bukan urang kito atau uduk sedulur ? Tentu saya rasa alasan ini tidak kuat untuk kita jadikan satu latar belakang akan lambatnya atau minimnya perhatian terhadap satu daerah tertentu.

Pasca reformasi, terjadi perubahan di berbagai model pembangunan yang selama ini sentralistik menjadi lebih merata di daerah, atau kita kenal model desentralisasi. Muncul satu istilah pembangunan inklusif, satu strategi pembangunan yang mengedepankan pemerataan akses dan aset pembangunan. Pentingnya pembangunan ekonomi inklusif ini juga disebutkan secara eksplisit di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010–2014. Pembangunan ekonomi yang inklusif adalah yang menyertakan semua kelompok dan golongan masyarakat serta masyarakat yang berada di wilayah-wilayah yang terpencil dan terisolasi, seperti di wilayah-wilayah perbatasan dan di pulau-pulau terluar.

Pembangunan ekonomi yang inklusif juga dituju dengan meningkatkan partisipasi pada proses perumusan kebijakan dan implementasinya dari semua golongan masyarakat. Pelibatan ini menandakan pemihakan pembangunan pada masyarakat yang tertinggal. Maka setelah masuknya era reformasi jelas terlihat kalau pembangunan inklusif yang merata dan berpihak bagi masyarkat tertinggal menjadi strategi pembangunan yang baru setelah evaluasi trickle-down effect yang gagal.

Secara definisi, banyak ahli yang sudah mengemukakan pendapatnya. Menurut International Disabilty and Development Consortium (IDDC), pembangunan inklusif merupakan sebuah proses untuk memastikan bahwa semua kelompok masyarakat yang terpinggirkan bisa terlibat sepenuhnya di dalam proses pambangunan. Selain itu Paul Collier (2017) juga menjelaskan konsep umum dari pembangunan inklusif yaitu suatu institusi yang kekuatan dan kekayaannya tidak dikuasai oleh kelompok elit tertentu tapi terdistribusi.

Dari sini dapat ditarik sebuah bahasan menarik dan penting dari inklusifitas, bahwa pembangunan inklusif tidak hanya berbicara tentang distribusi kekayaan, tapi juga kekuatan. Hal ini selaras dengan yang diutarakan oleh Robert Reich (2020) dalam bukunya The System: Who Rigged It and How We Fix It. Dalam bukunya ia mengutarakan bahwa ekonomi baru (the new economy) tidak dapat dilihat hanya dengan supply and demand tetapi perlu dilihat dari konsentrasi kekuatan, dalam hal ini konsentrasi kekuatan politik. Siapa yang berkuasa dan siapa yang dikuasai, siapa yang dapat bersuara dan terbungkam diam, dan siapa yang dapat berpartisipasi dalam pembangunan. Hal ini sesuai dengan pembahasan sebelumnya terkait persepsi masyarakat yang kerap terbutakan oleh angka-angka pertumbuhan ekonomi tanpa mengerti bahwa ketidakadilan dan kesenjangan masih subur terjadi. Dari definisi tersebut, distribusi kesempatan, kekuatan politik, dan partisipasi dapat digunakan sebagai pisau analisis untuk membedah kondisi daerah kita sejauh ini.

Pasca reformasi, pemimpin yang senyatanya mampu melakukan terobosan pembangunan adalah kepala daerah tingkat II, yaitu Bupati dan Walikota. Gubernur tidak memiliki wilayah sebagaimana kepada daerah dibawahnya dalam mengatur pembangunan. Gubernur adalah penyelenggara pemerintahan daerah provinsi berkedudukan sebagai kepala daerah provinsi dan wakil pemerintah pusat di daerah dan bertanggung jawab kepada presiden. Gubernur yang memiliki peran ganda yaitu sebagai kepala daerah provinsi dan kepala wilayah wakil pemerintah pusat. UU 23 Tahun 2014 tentang Pemda cenderung menitikberatkan peran gubernur sebagai wakil pemerintah melalui penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan asas dekonsentrasi.

Kita meyakini bahwa tidak semua rencana pembangunan dibahas dalam forum formal, terkadang dibahas di diskusi ringan di warung kopi atau wadah lain yang sering kita sebut dibalik layar. Rencana pembangunan dibahas Eksekutif  bersama SKPK dan Legislatif, kita menyepakati bahwa pembahasan anggaran ada di tangan dua elemen ini. Dalam tulisan ini kita ingin melihat sejauh mana upaya dan langkah yang dilakukan daerah dalam menyukseskan rencana pembangunan. Jika semua variabel ini telah kita coba telusuri dalam bentuk rencana, langkah dan komitmen bersama, baru kita kembali menilai apa semua keterlambatan pembangunan ini karena Singkel bukan bagian dari keacehan, atau karena emang upaya kita yang sangat terbatas dalam menjemput dan mengawal program.

Melihat kondisi dan dinamika politik di Aceh, saya mencoba menuliskan beberapa sektor yang mendukung percepatan pembangunan di daerah antara lain ; Keterwakilan di parlemen, Elit partai, Pengusaha / Kontraktor, Birokrat, serta Akademisi dan afiliasi saat konstalasi politik. Namun, dalam tulisan ini kita membahas dua sektor, yaitu parlemen dan elit partai.

Keterwakilan di Parlemen

Pernah dalam satu diskusi bersama senior saya di kampus Teuku Raja Muda Bentara, selain sebagai penulis, ia juga pemerhati sejarah dan politik di Aceh menuliskan dalam pesan whattshap ;

“ Brother, ada tiga daerah kunci di Aceh, yaitu Banda Aceh, Lhokseumawe dan Singkel, disini peradaban Aceh dahulu “. – Muda Bentara

Keunikan, kekayaan dan keistimewaan daerah Singkel ini tidak disadari oleh kita semua, malah orang dari luar daerah yang melirik Singkel dengan penuh peluang, daerah yang memiliki sumber daya yang sangat beragam, laut, hutan, sungai, gunung, perkebunan, hingga sejarah yang begitu kaya. Hal ini harus diketahui oleh mereka yang diberikan amanah untuk menjalanan roda pembangunan, karena permasalahan pembangunan adalah murni ditangan kita masyarakat Singkel, bukan ditangan provinsi atau pusat, namun kolaborasi terhadap mereka harus terbangun guna percepatan pembangunan.

Baca Juga : Kumpulan Ide #8 : Kolaborasi Pengusaha dan Pemerintah Daerah Kunci Kemajuan Ekonomi Aceh Singkil

Melihat pengalaman dalam dunia politik, untuk menyukseskan satu program pembangunan setidaknya kita harus memiliki keterwakilan atau koneksi terhadap kekuasaan. Singkel sering lupa bahwa mereka daerah kaya yang dilirik banyak tokoh, ini terlihat dari tidak adanya keterwakilan putra – putri daerah yang duduk di kursi Dewan Perwakilan Daerah Aceh “ DPRA “ di provinsi, padahal jumlah kursi untuk dapil IX “ Sembilan “ ini adalah 9 kursi. Apakah kokosongan kursi ini karena strategi dan finansial calon dari daerah lain yang mumpuni, pembaca silahkan menjawab dalam hati. Jika saya ditanya maka jawabannya karena kita tidak memilliki agenda besar bersama dalam memenangkan pileg kursi parlemen DPRA.

Ini peluang karena DPR ini tidak memiliki wilayah khusus, sehingga besar kemungkinan aspirasi pembangunan diarahkan ke daerah pemilihan masing - masing. Coba kita kalkulasikan dana aspirasi satu orang dewan sebesar 15 Milyar untuk anggota, jika kita memiliki dua orang perwakilan. Setidaknya ada beberapa mata anggaran bisa diarahkan ke Singkel, terlebih jika Singkel memberi suara maksimal walaupun harus berbagi kue dengan dapil lain. Jika perwakilan parlemen kita memiliki kemampuan diplomasi yang baik, ada kemungkinan kue pembangunan diluar dana aspirasi dapat dilobi untuk dibawa ke Singkel.

Saya melihat bahwa Singkel tidak memiliki satu grand desain besar, yang mencakup desain pembangunan politik, pemerintahan, pendidikan maupun ekonomi, serta tidak mendeskripsikan dengan jelas dimana kelemahan dan kelebihan yang dimiliki daerah untuk dijadikan referensi dalam pembangunan. Jika salah satu permasalahan minimnya kue pembangunan ke Singkel karena koneksi ke provinsi sangat minim dengan tidak adanya putra daerah yang duduk di Eselon II di provinsi, maka pileg harus menjadi kunci untuk direbut bersama. Membaca contoh kejadian pemilihan DPRA, tidak adanya agenda atau isu daerah yang digerakkan untuk mendorong meloloskan putra daerah menjadi refresentasi, jumlah DPT yang hampir mencapai 80.000 suara jauh lebih banyak tidak mampu mendorong dibandingkan Subulusaalam yang berkisar dibawah 60.000 berhasil meloloskan 3 utusan daerahnya duduk parlemen.

Perolehan suara calon legislatif dari Aceh Singkil tahun 2019

No

Nama Calon

Jumlah Suara

Partai

1

Frida Siska Sihombing, STP

4.633

PKB

2

H. Syamsul Bahri, SH

1.277

Golkar

3

H. Ali Hasmi Tommy

896

Gerindra

4

Putra Ariyanto

1.992

Nasdem

5

Syafriadi

3.844

PAN

6

H. Mauidhah

2.280

PNA

7

M. Rusdy Manik

6908

PBB

 

Total

21.900

 

Perolehan suara anggota DPRA dapil 9 tahun 2019

No

Nama Calon

Suara

Partai

Suara Partai

Asal Daerah

1

Hj. Sartina, SE

14.024

Golkar

33.056

Subulussalam

2

Tgk. Syafarudin, MA.

7.435

PKB

29.367

Subulussalam

3

Hj. Asmidar

15.637

PA

40.054

Subulussalam

4

T. Samaindra

22.556

Demokrat

42.872

Aceh Selatan

5

Safarudin, S.Sos, M. SP

9.159

Gerindra

18.398

Abdya

6

Safrijal

10.374

PNA

29.546

Aceh Selatan

7

Irfannusir S.Ag

6.643

PAN

21.660

Aceh Selatan

8

Hendriyono

11.534

PKPI

14.607

Aceh Selatan

9

Tgk. Attarmizi Hamid

6.335

PPP

20.613

Aceh Selatan

Jika kita membaca tabel ini secara umum, hampir 70 persen suara dari total pemilih Singkel memilih calon dari daerah lain. Dalam politik. Kehadiran perwakilan tanpa kecakapan berdiplomasi saja belum tentu mampu mempengaruhi pengambilan kebijakan, apalagi jika tidak ada keterwakilan di parlemen. Harapan kita dengan adanya parlemen dari Singkel, daerah mendapatkan alokasi pembangunan yang masuk dalam DPA “ Dokumen Pelaksanaan Anggaran “ APBA induk Aceh, terutama dalam proyek sstrategis, apalagi saat covid ini anggaran Otsus Aceh Singkil sangat terbatas tidak lebih dari 90 milyar, daerah tak mampu membiayai berbagai proyek yang memakan anggaran besar melalui APBK, sehingga butuh APBA dan APBN.

Namun, menjemput bola dan kue pembangunan juga tak mudah, butuh waktu dan pengorbanan serta strategi yang jitu. Namun, untuk mensukseskan ini butuh dukungan para tokoh dan king maker di daerah, karena kondisi kekosongan keterwakilan di parlemen ini telah berlangsung lebih dari 10 tahun, Singkel tak mampu mengantarkan tokohnya menjadi refresentatif di parlemen untuk mewakili kepentingan Singkel, dan tahun 2024 kondisi ini tidak boleh terjadi lagi. Singkel harus merebut setidaknya 2 kursi parlemen. Karena dalam ruangan ini anggaran itu dibahas, bagaimana Singkel dibahas jika kita tidak memiliki keterwakilan dalam parlemen.

Dalam dunia sepakbola dikenal dua strategi bermain, yaitu strategi bertahan “ defensif “ dan strategi menyerang “ Offensif “. Dan Singkel harus memilih strategi menyerang dengan mengantarkan tokoh daerah di parlemen.
– Si Anak Rimo

Elit Partai 

Tak banyak putra Singkel yang mengisi kepengurusan inti di kepengurusan partai pada tingkat provinsi, jika sistem pembangunan inklusif berupaya menghilangkan faktor ikatan SARA dalam pembangunan, keterikatan sesama partai menjadi jalan lurus dalam memberikan rencana pembangunan di daerah. Tahun 2021 ini, sudah jarang kita mendengar ada elit di daerah melakukan lobi politik karena didasarkan satu suku, tetapi lebih karena satu afiliasi partai atau hubungan kepartaian. Karena dalam politik ini ada jenjang, satu partai bisa saja memiliki keterwakilan di parlemen daerah, provinsi hingga pusat, dan hubungan ini memiliki simbiosis mutualisme.

Saya teringat bagaimana 14 tahun lalu, saat itu Almarhum Bupati Makmur Syahputra, yang juga ketua DPD II Golkar saling berkolaborasi dengan salah satu petinggi partai di provinsi dalam mengalokasikan kue pembangunan ke Singkel.

Jika kita tidak mampu menjadi pemimpin partai di level provinsi, maka kita harus mengajak para politisi dan elit partai di daerah untuk berkolaborasi bersama Tim Anggaran “ TAPK “ dibantu seluruh bagian program di SKPK untuk menyiapkan seluruh data dan DED “ Detail Enginering Desain “ guna menjemput kue pembangunan serta mengawal pembangunan di Singkel. Apalagi pasangan gubernur Irwandi – Nova saat itu menang telak di Aceh Singkil pada pilkada 2017 lalu.

Partai pengusung Gubernur saat itu adalah PNA, PDIP, Demokrat, PKB dan PDA. Dan sebahagian besar partai ini merupakan koalisi kepala daerah di Singkel di parlemen Singkel. Namun, sebelum kerjasama ini terbangun, komitmen ini harus dibangun dan saling dijaga. 

Pertanyaan kita semua,
Kepada siapa rencana pembangunan Singkel ini kita titipkan di Parlemen dan Elit Partai di Provinsi ?

Baca Juga : Tentang Rahmad, Rektor Unsyiah, dan Anies Baswedan

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar