Kajian Kemiskinan Masyarakat Perbatasan, Kabupaten Aceh Singkil #2

By Si Anak Rimo - October 19, 2021

Kehidupan Sekeruh Air di Ladang Sawit. Muhajir Al Fairusy, Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin UIN Ar Raniry)


Metode Penelitian

Penelitian untuk mengumpulkan data tentang fenomena kemiskinan, di salah satu kecamatan, Kabupaten Pidie Jaya, dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Teknik pengambilan data dengan teknik observation (observasi) dan depth interview (wawancara mendalam). Peneliti juga melakukan perekaman data visual dengan pemotretan memanfaatkan kamera foto, nantinya data visual akan ditampilkan dalam tulisan ini. Sebelum penelitian lapangan (field  research) dilaksanakan, terlebih dahulu peneliti mengkaji berbagai literatur yang berhubungan dengan kajian kemiskinan, dan masyarakat yang akan diteliti. Strauss & Corbin (2003; 10-11) mengatakan bahwa, “Teori yang grounded adalah teori yang diperoleh secara induktif dari penelitian tentang fenomena yang dijelaskannya. Karenanya teori ini ditemukan, disusun, dan dibuktikan untuk sementara melalui pengumpulan data yang sistematis, dan analisis data yang berkenaan  dengan  fenomena  itu. Dengan demikian pengumpulan data, analisis, dan teori saling  terkait dalam hubungan timbal-balik. Peneliti tidak memulai penyelidikan dengan satu teori tertentu, lalu membuktikannya, tetapi dengan suatu bidang kajian dan hal-hal yang terkait dengan bidang tersebut”.

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif sehingga yang lebih dipentingkan adalah kualitas dan kedalaman data. Karena itu, Peneliti tidak memanfaatkan kuisioner sebagai instrumen penelitian, tidak ada hipotesa, tidak mencari korelasi antar variabel, tidak ada sebab dan akibat (causality), tidak ada prosentase responden terhadap populasi, dan tidak ada istilah responden sebagai nara sumber  pengumpulan  data. Semuanya, adalah poin-poin ciri khas pada metode penelitian kuantitatif. Sebaliknya, peneliti memanfaatkan interview guidance (panduan atau pedoman wawancara) sebagai  instrumen  penelitian, yang bersifat fleksibel dan menyesuaikan dengan kondisi di lapangan saat melakukan wawancara mendalam. Nara sumber penggalian data adalah key persons dan informan, bukan responden. Penggalian data difokuskan pada makna (meaning) yang ada di dalam pikiran informan terhadap situasi kemiskinan yang dia pahami, dia alami, atau dia saksikan. 
 
Untuk mencapai lokasi penelitian, maka dari Kota Banda Aceh ke Kabupaten Aceh Singkil, peneliti melakukan perjalanan  darat,  dengan jarak tempuh ± 15 jam-menggunakan  angkutan  mini  bus. Situasi jauhnya jarak Banda Aceh menuju Singkil, menjadi tantangan tersendiri bagi peneliti. apalagi, saat tiba di Kota Subulussalam, armada angkutan (L 300) tidak lantas menuju Singkil (yang membutuhkan  waktu 2 jam 30 menit perjalanan lagi), armada penumpang tersebut, terlebih dahulu berhenti untuk istirahat dan sarapan selama 30 menit, dan kemudian melanjutkan lagi perjalanan ke Singkil. Perjalalan ke Singkil, melintasi 7 Kabupaten/Kota (Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, dan Kota Subulussalam). Sepanjang perjalanan dari Aceh Barat hingga ke Singkil, perkebunan sawit tampak membentang luas, sebagai indikasi kultur masyarakat setempat merupakan bagian dari  industri  perkebunan sawit. 
 
Di lokasi penelitian, peneliti terlebih  dulu  melakukan  penelitian di pusat Kabupaten Aceh  Singkil,  untuk  mengumpulkan data mengenai kemiskinan di kabupaten yang baru yang langsung berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara. Setelah itu, baru peneliti masuk dan fokus bekerja di Kecamatan yang dipilih sebagai salah satu titik rawan kemiskinan (berdasar data dari kabupaten), selanjutnya melakukan kajian di sana selama beberapa Minggu. 

Potret Kemiskinan ; Struktural, Kultural dan Kemampuan akses lima kapital 
 
Aceh sebagai salah satu provinsi-bagian dari Republik  Indonesia. Tentunya, juga tak luput dari persoalan kemiskinan. Meskipun, di lapangan, saat  berhadapan  dengan  masyarakat  sulit sekali menentukan posisi “miskin” di Aceh, jika  dikomparasikan  dengan kehidupan di Jakarta misalnya, yang kontras menampilkan kemiskinan-dengan atribut kumuh, pemulung, dan gaya hidup yang dilebelkan miskin. Di Aceh, aroma kemiskinan baru dapat ditemukan, jika langkah sanggup berkunjung ke dalam pelosok (wilayah pegunungan dan pesisir) beberapa Kabupaten di Aceh. Dalam pelosok Aceh, rumah gubuk tak layak huni adalah atribut miskin yang dapat dipetakan langsung. Karena itu, dengan menggunakan akses lima  kapital yang wajib dimiliki individu, nantinya akan dapat ditemukan gejala kemiskinan, setelah ditelusuri secara partisipan di titik-titik yang dianggap rawan kemiskinan, pada beberapa kabupaten di Aceh. 
 
Memasuki wilayah Kabupaten Aceh Singkil, suguhan perkebunan sawit membentang luas di hadapan setiap pengunjung. Rentetan rumah di beberapa titik bermaterial kayu menjadi tontonan atribut potret ekonomi masyarakat setempat. Lalu lalang, truk pengangkut sawit yang bermuatan tandan sawih dalam bak penuh- dengan mudah dijumpai di sepanjang jalan menuju ibukota Singkil. Beberapa jembatan berkonstruksi beton menjadi penghubung utama untuk menyebrang beberapa sungai lebar, di bawahnya menampilkan aktifitas-kebutuhan vital masyarakat pada air sungai yang tampak  keruh, terutama untuk mandi dan mencuci pakaian. 
 
Daerah yang pernah terkenal sebagai reproduksi cerita sejarah ini, didiami dan dimoninasi oleh masyarkat lintas etnik  (Pakpak, Minang, Aceh dan Jawa). Sebagian besar masyarakat bermata pencaharian sebagai petani di perkebunan sawit, sebagian besar adalah buruh pada perusahaan industri sawit. Di wilayah pesisir , umumnya masyarakat bekerja sebagai nelayan penangkap ikan. Khusus kajian kemiskinan ini, saya hanya melibatkan  diri  dengan  karakter  masyarakat di lingkungan perkebunan sawit. Apalagi, masyarakat perkebunan, selain pola hidup masyarakatnya dalam mengatur aset ditentukan oleh perusahaan, juga klaim dirinya sebagai orang miskin lebih tinggi, dibanding wilayah pesisir Singkil.
 
Narasi ini, mengenai kehidupan masyarakat miskin di  salah  satu kecamatan-Aceh Singkil, Kecamatan Gunung Meriah. Kecamatan yang tampak luas ini, dan menjadi pusat perekonomian salah satu kotanya (Kota Rimo), justru menampilkan sisi getir di wilayah pedalaman dan beberapa kampung berbatasan dengan Kota Rimo. Dua kampung, yang saya ambil sebagai landasan  penelitian  adalah Kampung Cingkam dan Kampung Pertampakan. Narasi dalam kajian ini-saya akan menampilkan potret kemiskinan di dua Kampung  tersebut, salah satu kampung merupakan kampung relokasi pascatsunami di Aceh tahun 2005.
 
Jika dilihat secara Sumber Daya Alam (SDA), kecamatan ini memiliki aset alam, representasi salah satu syarat agar setiap individu atau kelompok harus memiliki lima aset (livelihood assets), dan dapat melangsungkan kehidupan layak (bebas kemiskinan). Pun aset lain (penunjang mutlak) yang harus dimiliki oleh individu, agar bebas dari kemiskinan adalah aset manusia, aset sosial, aset  fisik,  dan  aset finansial. Bentangan kebun sawit, ekosistem sungai, cukup untuk menempatkan kapital SDA terpenuhi. Hanya saja, status kepemilikan, menjadi persoalan, karena tak semua masyarakat (menurut geuchik setempat) memiliki aset seperti kebun sawit. Umumnya, masyarakat adalah buruh sawit dengan gaji kecil.

 

Namun demikian, ketersediaan aset alam tak didukung oleh kemampuan mengakses-akibat keterbukaan pada izin perusahaan yang dapat menguasai sebagian besar lahan sawit di kabupaten ini.  Akibatnya, banyak masyarakat dimiskinan secara struktural. Selain itu, atribut kemiskinan muncul dari sisi kultural, di mana pola hidup masyarakat setempat yang menonjolkan tempat tinggal dengan potret sangat sederhana. Umumnya, rumah dibuat dari konstruksi kayu, dan terkesan kurang layak tinggal. Namun, sepertinya masyarakat setempat merasa nyaman dengan tempat tinggal demikian.

 

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar