Kajian Kemiskinan Masyarakat Perbatasan, Kabupaten Aceh Singkil #1
Kehidupan Sekeruh Air di Ladang Sawit. Muhajir Al Fairusy, Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin UIN Ar Raniry) |
Kemiskinan, selalu menjadi isu magnet untuk diperbincangkan, didiskusikan, dikaji, hingga berujung pada rekomendasi kebijakan- sebagai upaya menuntaskannya. Dalam kajian sosial, kemiskinan sering dibenturkan dengan pandangan struktural dan kultural sebagai sebab dari potret kehidupan getir tersebut, yang hadir di tengah komunitas masyarakat. Kajian ini, dihidangkan sebagai upaya mendiskusikan kembali potret kemiskinan di tengah masyarakat perbatasan-Aceh Singkil. Sebagai wilayah perbatasan, Aceh Singkil sering mengalami kompleksitas persoalan, terutama di bidang ekonomi (selain banjir dan konflik antar-umat beragama). Padahal, kabupaten ini dipandang sebagai salah satu kawasan penghasil sawit terbesar di Aceh. Permasalahan yang dikemukakan di sini adalah Bagaimana potret makna kemiskinan bagi masyarakat perbatasan, dan sebab munculnya kemiskinan.
Tujuan penelitian ini adalah berusaha memahami dan menjelaskan fenomena kemiskinan, makna dari individu miskin, dan lahirnya solusi pengentasan kemiskinan-berbasis pendekatan etnografi, tanpa mengabaikan interkoneksi metode lain. Kajian ini, dipotret dan dinarasikan dengan pendekatan kualitatif, melakukan observasi, wawancara mendalam dengan beberapa informan, serta dilakukan dokumentasi (berupa foto) untuk mendukung hasil kajian kemiskinan di Kabupaten Aceh Singkil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, muncul beberapa sebab kemiskinan berdasar etik dan emik masyarakat. Di sisi lain, juga turut bermunculan situasi kemiskinan yang didominasi oleh sebab struktural. Karena itu, solusi yang ditawarkan pun dalam upaya mereduksi adalah dengan pola mengubah pola perlakuan terhadap masyarakat (bantuan sosial, dan kebijakan pembangunan) dengan memahami akar kemiskinan di perbatasan.
PENDAHULUAN
Kantong-kantong kemiskinan di Indonesia, sering bermunculan di wilayah yang
jauh dari episentrum birokrasi dan perencanaan pembangunan. Jika pada skala
nasional, maka wilayah yang kian jauh dari ibukota (Jakarta) cenderung diklaim
sebagai teritorial yang lamban pembangunannya, sebut saja Papua dan Aceh.
Pun demikian, di tingkat provinsi-kabupaten yang semakin
renggang dan jauh dari jangkauan pusat ibukpta provinsi, cenderung
dianggap sebagai wilayah yang
luput dari keseriusan pembangunan, dan rentan kemiskinan. Fenomena ini, berlaku
di setiap provinsi yang ada di Indonesia, termasuk Aceh. Kabupaten Aceh Singkil
misalnya, sebagai salah satu kabupaten perbatasan, dan letaknya paling ujung
teritorial Aceh, terkesan lamban laju pembangunan, mendapat stereotipe daerah
tertinggal, dan bermunculan potret kemiskinan sebagai konfigurasi komunitas
warganya. Apalagi, gempuran
perusahaan besar perkebunan sawit, kian menempatkan banyak
masyarakat terjebak menjadi buruh, dan sulit mengembangkan diri pada taraf sejahtera.
Dalam konteks kultur manusia Aceh secara etnik, mereka yang terjebak pada situasi kemiskinan, tampak sadar secara sosial, bagaimana mengidentifikasi diri sebagai orang Miskin (Aceh ; gasien, papa). Dalam beberapa tutur Aceh yang lain, orang miskin hadir dalam struktur sosial-yang menunjukkan kelasnya, hingga dituntut membutuhkan perhatian dari pihak lain. Kemiskinan di Aceh, sering hadir seiring menguatnya kelas sosial, dan kepemilikan materi yang didominasi oleh individu tertentu, hingga menempatkan orang miskin di tingkat bawah. Pun di wilayah tertentu, seperti pesisir, kemiskinan kerap dihadirkan dengan potret rumah tak layak huni, lemahnya pendidikan, hubungan kerja, hingga kepemilikan alat produksi. Di wilayah pegunungan, kemiskinan dihadirkan oleh terputusnya akses pasar, dan kepemilikan alat produksi.
Secara sosial dan politik, potret kemiskinan dianggap salah satu indikator
penting mengukur laju perkembangan, kesejahteraan dan kemajuan sebuah negara.
Meskipun, kemiskinan itu sendiri absurd di tengah gempita pembangunan. Atribut
dan ukuran kemiskinan juga berbeda antar-komunitas, yang ragam topografis
wilayahnya, antara komunitas satu negara dengan negara lain, bahkan antara satu
provinsi dengan provinsi lain di Indonesia. Apalagi, sistem demokrasi yang umum
dipakai oleh banyak negara dewasa
ini, khusus untuk
Indonesia, dianggap belum
menjadi sistem yang mampu memberantas kemiskinan
(Lihat Utomo, 2004 ; 109-111). Karena itu, solusi untuk menentaskan kemiskinan
dianggap semakin rumit, apalagi laju penduduk tak dapat dibendung.
Di samping itu, menarik melihat liputan Republika (11 Desember 2014 ; 9), terutama di kolom Sudut Pandang, tulisan yang ditulis oleh Muhammad Djibril, dengan judul “Yang Rentan Miskin,” bahwa secara statistik, angka kemiskinan Indonesia turun, meski melambat sekitar 0.7 persen, selama rentang 2012-2013. Indikator yang dipakai penulis adalah menyandingkan data BPS, “... bahwa jumlah penduduk Indonesia yang miskin mencapai 28.28 juta jiwa, setara sekitar 11.25 %, data Maret 2014. Dalam data tersebut, terungkap, jumlah penduduk miskin Indonesia berkurang dari 11.46 % menjadi 11.25 %, padahal pada September 2013, jumlahnya mencapai 28.60 juta jiwa. Jika merujuk pada data Bank Dunia, sebanyak 68 juta penduduk Indonesia rentan miskin.
Dari data BPS, kemiskinan dapat dilihat dari kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan ekonominya, dalam hal dasar makanan, bukan aspek pengeluaran. Malah, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) mencatat pada 2013, yang rentan miskin mencapai 96.7 juta jiwa atau sebanyak 24.7 juta rumah tangga. BPS mencatat garis kemiskinan pada September 2013 sebesar Rp 292.951 per kapita per bulan. Langkah kemudian adalah mendongkrak pendapatan kelompok rentan miskin. Salah satu caranya adalah tersedianya lapangan kerja.” (Djibril, Republika, Desember 2014).
Paragraf di atas, ukuran statistik yang menjadi salah satu acuan setiap penelitian, tentu memberikan gambaran dinamika kemiskinan (naik dan turun). Memang, data BPS masih menjadi data “sakral dan vital” untuk mengukur kemiskinan, atau standar garis kemiskinan. Namun, lewat pendekatan kualitatif (penelitian yang dilaksanakan), nantinya akan diukur secara etik dan emik-kausalitas kemiskinan, yang muncul dari masyarakat miskin sendiri, sesuai kultur dan struktur yang berlaku. Apalagi, sejalur yang dikatakan oleh Hendri Saparni, Direktur Eksekutif Core Indonesia (masih di Republika, 2014 ; 18), bahwa harus dibedakan orang yang berada di bawah garis kemiskinan, dan orang yang mendekati kemiskinan. Jika, hanya menyelesaikan orang yang berada di bawah garis kemiskinan, tinggal diberi beras saja bisa selesai. Namun, untuk menanggulangi orang yang mendekati kemiskinan, salah satu solusinya adalah menciptakan lapangan kerja yang masif.
Tentunya, untuk mencapai solusi yang dimaksud, harus muncul interkoneksi
metode penelitian, dan disipilin paradigma. Mesipun
begitu, kajian tentang kemiskinan dalam ranah sosial (dengan pendekatan
kualitatif), tentu bukan hal baru, termasuk
dari sisi kajian etnografi (Lihat
Kusnadi, 2002, 2003. Ghofur, 2009, dan Siwanto, 2008 ). Pun, kajian mengenai
kemiskinan terus dilakukan untuk menemukan titik celah menuntaskan
potret kesenjangan sosial tersebut. Pentingnya kajian etnografi mengingat variannya
kultur dalam masyarakat membangun
persepsi miskin, dan sebab munculnya kemiskinan yang cenderung berbeda. Seperti
kata Spradley, dalam bukunya Metode
Penelitian Etnografi, “Jika anda melihat riak ombal di lautan, maka
etnografi menyeleminya hingga ke dasar lautan.” Pun fenomenan kemiskinan, tak
cukup dilihat sepintas, dia harus dilakukan upaya penelitian partisipan-guna
menggali lebih dalam makna, dan fenomena kemiskinan secara mendalam.
0 komentar