Kajian Kemiskinan Masyarakat Perbatasan, Kabupaten Aceh Singkil #1

By Si Anak Rimo - October 18, 2021

 Kehidupan Sekeruh Air di Ladang Sawit. Muhajir Al Fairusy, Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin UIN Ar Raniry)

 

Kemiskinan, selalu menjadi isu magnet untuk diperbincangkan, didiskusikan, dikaji, hingga berujung pada rekomendasi kebijakan- sebagai upaya menuntaskannya.  Dalam  kajian  sosial,  kemiskinan sering dibenturkan dengan pandangan struktural dan kultural sebagai sebab dari potret kehidupan getir tersebut, yang hadir di tengah komunitas masyarakat. Kajian ini, dihidangkan sebagai upaya mendiskusikan kembali potret kemiskinan di tengah masyarakat perbatasan-Aceh Singkil. Sebagai wilayah perbatasan, Aceh Singkil sering mengalami kompleksitas persoalan, terutama di bidang ekonomi (selain banjir dan konflik antar-umat  beragama).  Padahal,  kabupaten  ini dipandang sebagai salah satu kawasan penghasil sawit terbesar di Aceh. Permasalahan yang dikemukakan di sini  adalah  Bagaimana  potret makna kemiskinan bagi masyarakat perbatasan, dan sebab munculnya kemiskinan.

 

Tujuan penelitian ini adalah berusaha memahami dan menjelaskan fenomena kemiskinan, makna  dari  individu miskin, dan lahirnya solusi pengentasan kemiskinan-berbasis pendekatan etnografi, tanpa mengabaikan interkoneksi metode lain. Kajian ini, dipotret dan dinarasikan dengan pendekatan kualitatif, melakukan observasi, wawancara mendalam  dengan  beberapa informan, serta dilakukan dokumentasi  (berupa  foto)  untuk mendukung hasil kajian kemiskinan di Kabupaten Aceh Singkil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, muncul beberapa sebab kemiskinan berdasar etik dan emik masyarakat. Di sisi lain, juga turut bermunculan situasi kemiskinan yang didominasi oleh sebab struktural. Karena itu, solusi yang ditawarkan pun dalam upaya mereduksi adalah  dengan  pola mengubah pola perlakuan terhadap masyarakat (bantuan  sosial, dan kebijakan pembangunan) dengan memahami akar kemiskinan di perbatasan.

 

PENDAHULUAN


Kantong-kantong kemiskinan di Indonesia, sering bermunculan di wilayah yang jauh dari episentrum birokrasi dan perencanaan pembangunan. Jika pada skala nasional, maka wilayah yang kian jauh dari ibukota (Jakarta) cenderung diklaim sebagai teritorial yang lamban pembangunannya, sebut saja Papua dan  Aceh.  Pun  demikian,  di tingkat provinsi-kabupaten yang semakin renggang dan jauh dari jangkauan pusat ibukpta provinsi,  cenderung  dianggap  sebagai wilayah yang luput dari keseriusan pembangunan, dan rentan kemiskinan. Fenomena ini, berlaku di setiap provinsi yang ada di Indonesia, termasuk Aceh. Kabupaten Aceh Singkil misalnya, sebagai salah satu kabupaten perbatasan, dan letaknya paling ujung teritorial Aceh, terkesan lamban laju pembangunan, mendapat stereotipe daerah tertinggal, dan bermunculan potret kemiskinan sebagai konfigurasi komunitas warganya. Apalagi, gempuran  perusahaan  besar  perkebunan sawit, kian menempatkan banyak masyarakat terjebak menjadi buruh, dan sulit mengembangkan diri pada taraf sejahtera.

 

Dalam konteks kultur manusia Aceh secara etnik, mereka yang terjebak pada situasi kemiskinan, tampak sadar  secara  sosial,  bagaimana mengidentifikasi diri sebagai orang Miskin (Aceh ; gasien, papa). Dalam beberapa tutur Aceh yang lain, orang miskin hadir dalam struktur sosial-yang menunjukkan kelasnya, hingga dituntut membutuhkan perhatian dari pihak lain. Kemiskinan di Aceh, sering hadir seiring menguatnya kelas sosial, dan kepemilikan materi yang didominasi oleh individu tertentu, hingga menempatkan orang miskin  di tingkat bawah. Pun di wilayah tertentu, seperti pesisir, kemiskinan kerap dihadirkan dengan potret rumah tak layak huni, lemahnya pendidikan, hubungan kerja, hingga kepemilikan alat produksi. Di wilayah pegunungan, kemiskinan dihadirkan oleh terputusnya akses pasar, dan kepemilikan alat produksi.


Secara sosial dan politik, potret kemiskinan dianggap salah satu indikator penting mengukur laju perkembangan, kesejahteraan dan kemajuan sebuah negara. Meskipun, kemiskinan itu sendiri absurd di tengah gempita pembangunan. Atribut dan ukuran kemiskinan juga berbeda antar-komunitas, yang ragam topografis wilayahnya, antara komunitas satu negara dengan negara lain, bahkan antara satu provinsi dengan provinsi lain di Indonesia. Apalagi, sistem demokrasi yang umum dipakai oleh banyak negara dewasa  ini,  khusus  untuk  Indonesia, dianggap belum menjadi sistem yang mampu memberantas
kemiskinan (Lihat Utomo, 2004 ; 109-111). Karena itu, solusi untuk menentaskan kemiskinan dianggap semakin rumit, apalagi laju penduduk tak dapat dibendung.

 

Di samping itu, menarik melihat liputan Republika (11  Desember 2014 ; 9), terutama di kolom Sudut Pandang, tulisan yang ditulis oleh Muhammad Djibril, dengan judul “Yang Rentan Miskin,” bahwa secara statistik, angka kemiskinan Indonesia turun, meski melambat sekitar 0.7 persen, selama rentang 2012-2013. Indikator yang dipakai penulis adalah menyandingkan data BPS, “... bahwa jumlah penduduk Indonesia yang miskin mencapai 28.28 juta jiwa, setara sekitar 11.25 %, data Maret 2014. Dalam data tersebut, terungkap, jumlah penduduk  miskin  Indonesia  berkurang  dari 11.46 % menjadi 11.25 %, padahal pada September 2013, jumlahnya mencapai 28.60 juta jiwa. Jika merujuk pada data Bank Dunia, sebanyak 68 juta penduduk Indonesia rentan miskin. 

 

Dari data BPS, kemiskinan dapat dilihat dari kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan ekonominya, dalam hal dasar makanan, bukan aspek pengeluaran. Malah, Tim  Nasional  Percepatan  Penanggulangan  Kemiskinan (TNP2K) mencatat pada 2013, yang rentan miskin mencapai  96.7 juta jiwa atau sebanyak 24.7 juta rumah tangga. BPS mencatat garis kemiskinan pada September 2013 sebesar Rp 292.951 per kapita per bulan. Langkah kemudian adalah mendongkrak pendapatan kelompok rentan miskin. Salah satu caranya adalah tersedianya lapangan kerja.” (Djibril, Republika, Desember 2014).

 

Paragraf di atas, ukuran statistik yang menjadi salah satu acuan setiap penelitian, tentu memberikan gambaran dinamika kemiskinan (naik dan turun). Memang, data BPS masih menjadi data “sakral dan vital” untuk mengukur kemiskinan, atau standar garis kemiskinan. Namun, lewat pendekatan kualitatif (penelitian yang dilaksanakan), nantinya akan diukur secara etik dan emik-kausalitas kemiskinan, yang muncul dari masyarakat miskin sendiri, sesuai  kultur  dan  struktur  yang berlaku. Apalagi, sejalur yang dikatakan oleh Hendri Saparni, Direktur Eksekutif Core Indonesia (masih di Republika, 2014 ; 18),  bahwa harus dibedakan orang yang berada di bawah garis kemiskinan, dan orang yang mendekati kemiskinan. Jika,  hanya  menyelesaikan orang yang berada di bawah garis kemiskinan, tinggal diberi beras saja bisa selesai. Namun, untuk menanggulangi orang yang mendekati kemiskinan, salah satu solusinya adalah menciptakan lapangan kerja yang masif. 

 

Tentunya, untuk mencapai solusi yang dimaksud, harus muncul interkoneksi metode penelitian, dan disipilin paradigma. Mesipun begitu, kajian tentang kemiskinan dalam ranah sosial (dengan pendekatan kualitatif), tentu bukan hal  baru,  termasuk  dari  sisi kajian etnografi (Lihat Kusnadi, 2002, 2003. Ghofur, 2009, dan Siwanto, 2008 ). Pun, kajian mengenai kemiskinan terus  dilakukan  untuk menemukan titik celah menuntaskan potret kesenjangan sosial tersebut. Pentingnya kajian etnografi mengingat  variannya  kultur  dalam masyarakat membangun persepsi miskin, dan sebab munculnya kemiskinan yang cenderung berbeda. Seperti kata Spradley, dalam bukunya Metode Penelitian Etnografi, “Jika anda melihat riak ombal di lautan, maka etnografi menyeleminya hingga ke dasar lautan.” Pun fenomenan kemiskinan, tak cukup dilihat sepintas, dia harus dilakukan upaya penelitian partisipan-guna menggali lebih dalam makna, dan fenomena kemiskinan secara mendalam.


Kemiskinan di Aceh, terutama kabupaten yang sulit di akses seperti Aceh Singkil, tentu menjadi persoalan yang harus diselesaikan oleh ragam komponen, baik elite negara, hingga akademisi (meskipun tidak komprehensif). Melimpahnya Sumber Daya Alam, kuatnya klen kekerabatan, dan meningkatnya jumlah sarjana (pendidikan) dari 150 Perguruan Tinggi, menjadi persoalan baru, kenapa kemiskinan masih tinggi. Apalagi, di tengah melimpahnya dana yang mengalir ke Aceh pascatsunami dan MoU antara RI dan GAM, kemiskinan menjadi borok yang patut dipertanyakan. Apalagi, jika di lapangan-masih ditemukan warga yang hidup tak layak, meskipun ukuran derasnya dana-tak bisa dijadikan klaim terhapusnya kemiskinan, karena fenomena sosial ini  juga identik dengan kultural komunitas. 
 
Karena itu penelitian dengan menggunakan metode kaulitatif, mengharuskan peneliti terlibat secara aktif (partisipan) di tengah masyarakat-yang menjadi informan. Nantinya, diharapkan akan memunculkan narasi kausalitas fenomena kemiskinan, terutama menemukan akar kemiskian di wilayah  perbatasan Aceh.

 

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar