Masyarakat Aceh Singkil
terdiri dari berbagai suku dan budaya, berdasarkan sejarahnya asal etnis yang
paling dominan adalah dari Minang dan Dairi, suku Minang banyak menguasai dalam
bahasa pengantar dagang, sedangkan mayoritas suku Dairi berbahasa Ulu (mudik),
yaitu bahasa Dairi dialek Singkil dan bahasa Minang dilalek pesisir. Singkil sebagai bandar dan
kota perdagangan tentunya mempunyai daya tarik tersendiri bagi penduduk dari
daerah lain sebagai tempat mencari nafkah. Fenomena ini telah menyebabkan
penduduk daerah tersebut sangat hiterogen jika ditinjau dari suku bangsa. Pada
tahun 1852 jumlah penduduk Kota Singkil sebanyak 2.104 orang yang terdiri dari
6 orang Eropa, 55 orang Cina, 183 orang Arab dan sisanya adalah penduduk
setempat dari berbagai kelompok suku bangsa. Memperhatikan data tersebut
terlihat bahwa di Kota Singkil dahulu terdapat 2 kelompok suku bangsa dari
luar, yaitu Arab dan Cina yang secara turun temurun mempunyai budaya yang cukup
kuat dalam berdagang. Kehadiran kedua kelompok suku bangsa tersebut kiranya
dapat memperkuat hipotesis yang mengatakan bahwa Singkil memang merupakan kota
perdagangan.
Selanjutnya pada tahun 1894
Kota Singkil didatangi oleh orang-orang Melayu dari Kesultanan Pahang. Mereka
adalah orang-orang Melayu yang melarikan diri karena Kerajaan Pahang diduduki
oleh pasukan Inggris. Di Kota Singkil mereka mempersiapkan diri untuk berjihad
dan mengharap dapat bantuan dari Kerajaan Aceh dalam melawan agresi pasukan
Inggris tersebut. Mereka baru kembali ke Pahang setelah mendapat himbauan dari
para ulama kesultanan supaya mereka melakukan perjuangan dari dalam negeri.
Tentang agama penduduk pada
masa itu, bahwa umumnya masyarakat Singkil beragama Islam, dan sebagian kecil
memeluk agama Kristen, yang terletak di daerah Simpang Kanan di desa
Kutakerangan. Sesuai dengan keputusan Gubernur Hindia Belanda diberikan
penetapan pada Huria Kristen Batak Protestan tanggal 10 Januari 1935 No. 37
atas permintaan dari ketua Huria untuk diberikan izin mendirikan sebuah gereja,
yang kemudian dinamakan Gereja Zending Batak.
Dalam sebuah laporan W.L. Ritter menyebutkan bahwa penduduk Singkil sekitar 600 orang atau sekitar 150 buah rumah tangga, akan tetapi apabila diperkirakan sampai kepada penduduk yang ada di pedalaman mencapai 10.000 jiwa. Hubungan penduduk Singkil dengan Pak-pak yang belum beragama di pedalaman umumnya berjalan harmonis.
Ritter juga menambahkan
bahwa Bangsa Proto Malayan yang terdesak oleh bangsa Mongolia, mengarungi
Lautan Hindia (Indonesia) menuju ke wilayah Singkil. Sebagian dari mereka itu
memasuki ke arah arus Simpang Kanan terus ke Dairi, sehinga mereka menjadi
marga Dairi. Sebagian daerah itu bercampur dengan suku asli dan disertai dengan
masuk suku Minang. Dari itu muncullah suku Singkil yang terdiri dari campuran
suku pendatang dari suku Minang, Batak, Nias, Aceh, suku Singkil. Tentang
jumlah penduduk Kota Singkil pada waktu itu tidak disebutkan dalam laporan
penyelidikan Belanda ketika akan menyerbu Aceh pada abad ke-19. Belanda hanya
menyebutkan bahwa Tapaktuan adalah sebenarnya pemukiman dari orang Pasaman di
wilayah gunung opir, dan merupakan pelabuhan utama untuk ekspor lada karena
tidak saja ditanam di sekitarnya, tetapi juga di tempat-tempat lebih ke selatan
seperti Asahan, Terbangan, Sinabu dan Bakongan.
Seorang penduduk dari XXV
Mukim Aceh Besar dengan pengikutnya pindah ke Susoh (Aceh Selatan), lalu
menjadi kepala kampung di Susoh. Dua orang keturunannya, yang pertama bernama
Bassa Bujang (Bujang Bapa) pindah ke Trumon, dan yang kedua bernama Lebai Dapha
(Haji Dafna) pindah ke Singkil, dan berhasil mengembangkan pertanian lada di
Singkil. Penguasa daerah Singkil pada waktu itu menaruh simpati kepada Haji
Dafna dan menikahkan anak putrinya dengan Lebai Dapha (Haji Dafna), bahkan
menyerahkan pimpinan kenegerian tersebut kepada Lebai Dapha. Bassa Bujang yang
kurang berhasil di Trumon mengundang adiknya (Haji Dafna), supaya pindah ke
Trumon. Permintaan itu dituruti oleh Lebai Dapha tanpa melepaskan kedudukannya
di Singkil. Kedua daerah itu kemudian berkembang dengan pertanian lada.
Hasil pertanian tersebut
dapat meningkatkan pendapatan mereka yang memimpin kenegerian itu. Lebai Dapha
kemudian meninggal dan meninggalkan 17 orang putri dan 10 orang putri. Putranya
yang laki-laki bernama Raja Bujang menggantikannya menjadi raja di Trumon dan
putranya yang kedua bernama Muhammad Arif memerintah di Singkil.
Pada ababd XVII kekuasaan
VOC makin kokoh dan keuntungannya semakin besar. Keuntungan yang besar ini
diperoleh karena raja-raja di Indonesia akhirnya harus menyerahkan hasil-hasil
tanaman dalam bentuk sumbangan paksa (verplichte leverantien). Di samping itu
masih ada contingenten, upeti-upeti dalam bentuk barang dagangan tanpa
pengganti dari VOC. Keserakahan dan nafsu mencari untung sebesar-besarnya yang
dilakukan oleh VOC Belanda menimbulkan konflik dengan para penguasa daerah yang
dirugikan. Perlawanan-perlawanan pun akhirnya tidak dapat dihindari sehingga
terjadilah pertempuran, walaupun perlawanan-perlawanan itu akhirnya dapat
ditumpas. Belanda berusaha memperluas daerah pengaruh kekuasaannya di pulau
Sumatera. Kepala-kepala daerah diminta untuk bekerja sama dengan Belanda dan
hanya dibolehkan berdagang dengan Belanda. Bagi para penguasa daerah yang
menentang, akan ditundukkan dengan kekerasan.
Setelah Belanda berhasil
menguasai Bengkulu, Riau, Padang dan sebagian Sumatera Utara, Belanda mulai
melirik daerah Singkil. Daerah Singkil yang memiliki hasil bumi yang melimpah,
terutama pala, lada, rotan, kemenyan, kapur barus dan hasil hutan lainnya harus
jatuh ke tangan VOC. Pada tahun 1670, VOC Belanda meminta Haji Lebei Dapha
menerima kehadiran kapal dagang Belanda. Mengingat Belanda hanya ingin
berdagang, penguasa Singkil tersebut dengan senang hati menerima kehadirannya.
Bahkan dijalin kerja sama perdagangan rempah-rempah dengan Belanda. Semula
keuntungan dagang yang diperoleh cukup besar karena Belanda bersedia membeli
rempah-rempah dari Singkil dengan harga mahal.
Pada saat bersamaan dengan
kehadiran Belanda, Haji Lebei Dapha sedang berusaha melepaskan diri dari
kekuasaan Kesultanan Aceh. Hal ini dilakukan karena upeti yang harus dibayarkan
kepada Sultan Aceh dirasa sangat memberatkan. Lebih dari itu, barang-barang
produksi dari Singkil harus dijual dengan harga yang telah ditetapkan kepada
Sultan Aceh. Karena Singkil merasa tidak bebas berdagang dengan bangsa lain,
menyebabkan kehadiran Belanda dianggap sebagai dewa penolong dan menjalin
hubungan kerjasama yang baik. Atas dasar inilah, akhirnya Haji Lebei Dapha
memberi hak istimewa kepada VOC Belanda, dengan harapan VOC Belanda bersedia
membantu Raja Singkil melepaskan diri dari kekuasaan Sultan Aceh.
Atas bantuan VOC Belanda, Raja Singkil berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Sultan Aceh. Sebagai upahnya, pada tanggal 14 Maret 1672 VOC Belanda memaksa penguasa daerah tersebut untuk menandatangani surat perjanjian yang sangat merugikan kerajaan Singkil. Adapun isi perjajian bilateral tersebut di antaranya yaitu : (1). Kerajaan Singkil harus setia sepenuhnya kepada Belanda; (2). Semua hasil bumi harus dijual kepada asosiasi dagang Belanda atau VOC dengan harga yang ditentukan oleh pihak Belanda. Ternyata Belanda sangat licik dan penipu. Bantuan yang diminta untuk melepaskan diri dari kekuasaan Sultan Aceh justru jadi bumerang yang menyebabkan Singkil akhirnya jatuh ke tangan Belanda. Sebagai raja kecil, ia tidak ada pilihan lain selain harus menerima persyaratan yang disodorkan pihak Belanda. Perjajian bilateral yang dibuat pada tanggal 14 Maret 1672 dengan berat hati terpasksa ditandatangani oleh Haji Lebei Dapha.
Walaupun dengan terpaksa
Haji Lebei Dapha menerima keinginan Belanda, tetapi ada juga tokoh-tokoh
masyarakat Singkil yang menentangnya. Salah satu di antaranya yaitu seorang
penghulu Singkil yang bernama Raja Lela Setia dengan keras menentang perjanjia
yang sangat merugikan tersebut. Ia menyatakan akan tetap setia kepada
kesultanan Aceh dan anti terhadap belanda. Oleh karena itu, ia berusaha menjual
hasil rempah-rempah Singkil ke daerah lain. Pembangkakang itu membuat Belanda
berang dan mengancam akan menghukumnya. Raja Lela Setia tidak takut ultimatum
Belanda tersebut. Akhirnya Belanda mengirim satu kompi pasukan perang ke
Singkil untuk menangkap Raja Lela Setia dan para pengikutnya.
Sebelum tentara Belanda
datang, Raja Lela Setia melarikan diri sehingga penangkapan atas diri dan
pengikutnya tidak berhasil. Belanda kemudian memaksa penghulu Singkil lainnya
untuk membantu menangkapnya. Namun usaha ini juga tidak berhasil. Untuk memantapkan
kekuasaannya di Singkil, Belanda kemudian memperbaharui perjanjian yang telah
dibuatnya dahulu dengan perjanjian baru yang isinya : (1). Seluruh hasil bumi
Singkil harus diserahkan kepada Belanda dengan harga yang sangat rendah; (2).
Para penghulu Singkil diwajibkan untuk mengusir Raja Lela Setia apabila kembali
ke Singkil.
Pada tanggal 12 Februari
1681, Belanda menyodorkan surat perjanjian baru kepada para penguasa daerah di
Singkil. Pihak Belanda diwakili oleh Jan Vaan Leene dan Aren Silvius. Sedangkan
raja-raja Singkil yang dipaksa menandatangani perjanjian baru tersebut di
antaranya yaitu : Raja Indra Mulia (penguasa wilayah kanan sungai), Mashoera
Diraja (penguasa wilayah kiri sungai), Raja Setia Bakti, Penghulu Siking
Tousian, Penghulu Banti Panjang Tonsidin, Penghulu Batu-Batu, Penghulu
Perbentjein, Penghulu Kota Baru, Pang Hitam. Adapun yang menjadi saksi
perjanjian tersebut adalah utusan dari Kerajaan Barus.
Pascapenandatanganan
perjanjian tersebut, menyebabkan kedudukan Raja Lela Setia digantikan oleh
Masoera Diraja. Pada masa pemerintahan Raja Pedytam, perjanjian tersebut dirasa
sangat menyakitkan dan merugikan pihak Singkil. Rakyat menjadi sangat menderita
karena hasil panennya hanya dibeli dengan harga murah sehingga tidak dapat
untuk menutup kebutuhan hidupnya. Raja Pytam ingin menolong penderitaan
rakyatnya, namun beliau tidak berani melawan secara terang-terangan. Ia hanya
dapat menyuruh Minuasa memimpin sekelompok orang kepercayaan untuk
menyembunyikan hasil bumi dan menjualnya ke pelabuhan lain melalui
penyelundupan atau perdagangan gelap. Semula penyelundupan ini aman-aman saja
sehingga dapat sedikit membantu mendongkrak perekonomian rakyat. Namun
lama-kelamaan usaha perdagangan gelap tersebut dapat diketahui Belanda. Pihak
Belanda marah dan menyiapkan satu kompi pasukan untuk menyergap kawanan
penyelundup tersebut. Karena tidak menyangka akan adanya serangan dadakan, maka
banyak anak buah Minuasa yang berhasil ditangkap tentara Belanda.
Setelah kejadian itu,
Belanda melakukan pembaharuan perjanjian lagi. Pada tanggal 8 Juni 1707 Belanda
memaksa wakil dari penguasa Singkil untuk menandatangani perjanjian tersebut.
Adapun isinya merupakan penyempurnaan isi perjanjian yang telah dibuat
sebelumnya, ditambah dengan pernyataan bahwa penguasa Singkil yang tunduk pada
Belanda harus mencari dan menangkap orang-orang yang anti Belanda.
Tindakan Belanda yang merugikan masyarakat Singkil tersebut menyebabkan rakyat menderita. Hal tersebut akhirnya diketahui pula oleh Inggris. Oleh karena itulah dengan kedok ingin menolong rakyat Singkil dari kekejaman Belanda, Inggris berusaha menanamkan pengaruhnya di Singkil. Memasuki abad XVII, perusahaan dagang Inggris yang tergabung dalam East Indian Company berusaha menanamkan pengaruhnya di Singkil. Setelah Inggris memantapkan kekuasaannya di kawasan Bengkulu (Fort Marlborough), Natal, Poncan dan Barus, perusahaan dagang Inggris berusaha mencari hasil bumi di wilayah Singkil. Secara diam-diam para penguasa Singkil melakukan hubungan dagang dengan Inggris. Hal tersebut menimbulkan pertentangan dengan Belanda yang telah lebih dahulu menguasai Singkil. Menyadari bahwa Singkil telah menjadi wilayah kekuasaan Belanda, Inggris kemudian meninggalkan Singkil.
Memasuki abad XVIII,
perdagangan di kawasan Asia Tenggara semakin ramai dikunjungi kapal-kapal dari
Eropa dan Amerika. Hal tersebut juga berpengaruh di wilayah Singkil. Tidak
hanya kapal-kapal dagang Belanda saja yang mengangkut hasil bumi dari singkil,
tetapi juga datang kapal-kapal dagang dari Inggris dan Amerika. Hal ini
menyebabkan rakyat Singkil tidak lagi loyall kepada Belanda yang telah memeras
dan menindas selama hampir tiga puluh tahun lamanya. Kehadiran kapal-kapal
dagang Inggris dan Amerika dianggap sebagai penyelamat perekonomian rakyat
singkil karena hasil-hasil bumi mereka dapat dijual bebas kepada mereka.
Lebih-lebih setelah kedua negara (Amerika dan Inggris) tersebut menumbuhkan
iklim perdagangan bebas, maka keuntungan rakyat Singkil dalam penjualan hasil
bumi semakin meningkat. Hal ini sangat berbeda dengan Belanda yang menerapkan
sistem monopoli yang sangat merugikan rakyat. Kehadiran kapal-kapal dagang dari
kedua negara tersebut menyebabkan kedudukan Belanda di Singkil terancam dan
makin lama semakin terdesak.
Perebutan hasil bumi
seperti kemenyan, kapur barus, lada, rotan dan hasil hutan lainnya pada waktu
itu menjadi semakin ramai, sehingga menimbulkan persaingan yang ketat di antara
para pedagang asing yang datang ke daerah tersebut. Pusat-pusat perdagangan
menjadi ajang perebutan. Pada waktu itu, pelabuhan utama yang menampung
hasil-hasil bumi dari daerah Singkil terdapat di tiga tempat, yaitu : Pertama,
di sebelah utara di tarik garis sampai ke Barat Ujung Bawang, Kedua di sebelah
timur dan yang ketiga, di sebelah barat ke arah selatan dekat jalan Singkil
yang terletak depan benteng Singkil. Kapal-kapal dagang ukuran besar dapat
berlabuh di dermaga dengan kedalaman 5 – 10 vadem.
Kehadiran pedagang-pedagang
Inggris dan Amerika menyebabkan wilayah kekuasaan Belanda menjadi semakin
sempit dan akhirnya tersingkir dari Singkil. Setelah itu maskapai perdagangan
Inggris East Indian Company menjadi semakin kuat kedudukannya di daerah
Singkil. Namun di sisi lain, kesultanan Aceh berusaha merebut kembali
kekuasaannya yang telah hilang di Singkil. Upaya itu dilakukan dengan cara
menghasut penduduk Singkil dan Bengkulu supaya menentang Inggris. Pada bulan
Agustus 1771, Residen Inggris yang bernama Gilles Holoway bersama Kapten
Forrest berangkat ke Aceh dengan kapal Luconia dengan maksud akan menemui
Sultan Aceh untuk membuka perdagangan di kawasan yang menjadi wilayah kekuasaan
Aceh. Di samping itu, Inggris juga meminta agar kesultanan Aceh tidak
mengganggu kegiatan perdagangan Inggris di kawasan Tapanuli. Namun usaha
tersebut dihalang-halangi oleh orang-orang India Madras yang tergabung dalam
Madras Syndicate Association.
Adanya rintangan dari
orang-orang Madras tersebut, Inggris marah dan memerintahkan kapal perangnya
untuk menghukum mereka. Pengiriman kapal perang tersebut dipimpin langsung oleh
Sir Henry Botham. Setelah orang-orang India Madras tersebut berhasil dihalau,
armada perang Inggris mulai mengincar daerah-daerah kekuasaan Belanda di
sepanjang pantai barat Sumatera. Setapak demi setapak kedudukan pos-pos Belanda
di pesisir barat pulau Sumatera direbut armada perang Inggris. Tindakan itu
dilakukan karena di Eropa sendiri sedang Inggris sedang berperang dengan
Perancis yang dipimpin oleh Napoleon Bonaparte. Belanda yang telah dikuasai
oleh Perancis dianggapnya sebagai musuh Inggris. Oleh karena itu, kedudukan
Belanda di Sumatera dan Jawa juga terancam oleh serangan Inggris. Setelah
negara-negara di Eropa berdamai pada tahun 1788, pos-pos Belanda yang dikuasai
oleh Inggris diserahkan kembali kepada Belanda.
Pada tahun 1795 di Eropa
terjadi Revolusi Perancis, sehingga Inggris kembali memusuhi Belanda. Armada
Perang Inggris yang dipimpin oleh Edward Cooles menyerang lagi pos-pos Belanda
di sepanjang pantai Barat Sumatera. Mereka bertindak atas nama Pangeran Orange
yang berpihak kepada Inggris. Hal tersebut dilakukan supaya kekayaan Belanda di
Nusantara tidak jatuh ke tangan Perancis. Pada tanggal 20 Juni 1801
Inggris mengangkat John Prince sebagai Residen baru untuk daerah Tapanuli dan
Singkil. Ia membeli lada sebanyak 300 ton setiap tahun yang dikumpulkan dari
Susoh dan Singkil. Untuk kelancaran pengapalan lada tersebut, Inggris mengadakan
perjanjian dengan raja-raja Tapanuli Tengah pada tanggal 11 Maret 1815, yang
diberi nama dengan Perjanjian Poncang atau Batigo badunsanak.
Akhirnya Belanda tahu bahwa
kedudukan Inggris di pesisir barat Sumatera tidak begitu kuat. Hal ini kemudian
dimanfaatkan oleh Belanda untuk merebutnya kembali. Dengan melipat gandakan
armada perangnya Belanda kemudian mengancam kedudukan Inggris di sepanjang
pantai barat Sumatera, termasuk juga di Singkil. Di samping itu, kehadiran
armada Amerika di Sumatera juga mengancam kedudukan Inggris. Untuk menjamin
kepentingan dagang, Inggris melakukan pendekatan keagamaan. Untuk itu pada
tahun 1817, diangkatlah Charles Halhead yang fasih berbahasa Arab sebagai
Residen Inggris yang baru di Tapanuli. Setelah 5 (lima) tahun memerintah
sebagai Residen, ia meninggal dunia karena sakit.
Selanjutnya kegiatan dagang
di sepanjang pantai barat pulau Sumatera semakin hari semakin ramai.
Lebih-lebih setelah kapal-kapal dagang Perancis dan India juga ikut meramaikan
pelayaran dan perdagangan di kawasan tersebut. Walaupun kapal-kapal asing dari
berbagai negeri hilir mudik di di sepanjang pesisir barat pulau Sumatera,
tetapi para penguasa daerah Singkil lebih memilih bangsa Amerika untuk menjual
hasil buminya karena mereka bersedia membeli dengan harga mahal. Pada suatu
waktu, ada pedagang Amerika yang melakukan penipuan. Hasil bumi yang telah
diserahkan oleh orang Singkil tidak dibayar. Rakyat marah dan menyita sebuah
kapal Amerika Frienship asal Salem dan membakarnya di Kuala Batu. Kejadian
tersebut kemudian ditanggapi oleh Presiden Amerika Serikat dengan mengirim
kapal perang Potomac pada tahun 1831. Daerah Kuala Batu kemudian diserang dan
dijadikan lautan api.
Pascainsiden tersebut,
persaingan perdagangan di daerah Sumatera semakin ketat. Dari tahun ke tahun
jumlah armada dagang dari berbagai negara semakin meningkat. Sejauh itu, hanya
Inggris dan Belanda yang saling memperebutkan daerah kekuasaan. Untuk
menghindarkan peperangan, kedua negara tersebut melakukan kesepakatan untuk
menandatangani Traktat London. Adapun isi dari traktat tersebut yaitu Inggris
harus menyerahkan kekuasaannya di daerah-daerah Belanda di Indonesia yang
pernah direbutnya dahulu. Sebagai imbalannya, Belanda harus menyerahkan seluruh
Semenanjung Melayu ke tangan Inggris.
Perjajinan itu sangat
memberatkan Inggris. Menurut anggapannya, daerah Singkil dan Barus merupakan
daerah miliknya yang telah diperolehnya sejak lama dengan susah payah. Jadi
logis kalau Inggris yang menduduki daerah tersebut tidak rela jika harus menyerahkan
begitu saja kepada Belanda. Di sisi lain, penyerahan pulau Sumatera oleh
Inggris kepada Belanda juga sangat menyakitkan kesultanan Aceh. Mengingat
Belanda selalu berusaha menghilangkan pengaruh Aceh dan menguras kekayaan yang
ada. Untuk memperkuat kedudukannya di daerah-daerah yang terbentang dii sepanjang
pantai barat Sumatera, Belanda menempatkan wilayah Tapanuli termasuk Singkil
dan Barus ke dalam Residen Sumatera Barat yang berkedudukan di Padang. Setelah
VOC dinyatakan bangkrut dan dibubarkan pada tanggal 31 Desember 1799, seluruh
aset kekayaan VOC diambil alih oleh Pemerintah Belanda dan mulailah zaman baru
penjajahan Belanda di Indonesia. Jika dulu dikuasai oleh VOC, kemudian beralih
ke tangan Pemerintah Kolonial Belanda.
Kerajaan Aceh merasa
terusik jika Belanda melebarkan sayap kekuasaannya di Sumatera, khususnya di
daerah-daerah yang menjadi daerah taklukan Aceh, seperi di Sumatera Timur dan
Sepanjang Pantai Barat Sumatera hingga ke Padang. Untuk mehambat arus ekspansi
Belanda di Sumatera, Kerajaan Aceh berusaha melemahkan armada dagang Belanda.
Cara-cara yang ditempuh yaitu dengan membiarkan para bajak laut melakukan
perompakan dan perampasan kapal-kapal dagang Belanda yang lalu-lalang di Selat
Malaka dan peraiaran pantai barat Aceh. Di samping itu, Kerajaan Aceh juga
melakukan pengiriman armada perang dan Angkatan Lautnya yang dipimpin oleh Sidi
Vara ke Pulau Poncan. Kapal-kapal perang yang dipersenjatai oleh Kerajaan
Trumon tersebut diperintahkan untuk menyusup ke benteng Belanda di Fort Tapanuli.
Mereka ditugaskan untuk menghancurkan persediaan senjata dan peralatan perang
milik Belanda yang disimpan di gudang-gudang amunisi di benteng Poncan
tersebut.
Penyerbuan kapal-kapal
perang Aceh tersebut, kemudian mengilhami Belanda untuk menahan diri. Untuk
mempertahankan diri dari Angkatan Laut Aceh, mereka membangun daerah barrier
(daerah penyangga) antara wilayah kerajaan dengan wilayah kekuasaan Belanda.
Selanjutnya untuk dapat mengembangkan daerah jajahannya pada tahun 1839,
Belanda menempatkan satu skwadron kapal perang di Kerajaan Barus. Dan satu
tahun kemudian (1840), Belanda juga menempatkan beberapa kapal perangnya di
Singkil. Di samping itu melalui Residen Padang Mc Gillary, Belanda membuat
perjanjian perdamaian dengan Kerajaan Trumon.
Tindakan Belanda tersebut
membuat Sultan Ibrahim Mansursyah dari Kerajaan Aceh merasa dirugikan. Untuk
menghadapinya, ia meminta bantuan pada Raja Louis Phillipe dari Perancis agar
dapat menghentikan tindakan Belanda yang memperluas daerah kekuasaan di Pantai
Barat Sumatera. Sebagai tindak lanjut dari permintaan Sultan Aceh tersebut,
pada tahun 1843 Pemerintah Perancis mengirim armada kapal perang La Fortune
yang dipimpin langsung oleh La Comte. Kedatangan kapal perang Perancis tersebut
hanya untuk melindungi Kesultanan Aceh dari tekanan Belanda. Adapun kawasan
Singkil dan daerah-daerah bekas wilayah kekuasaan Aceh yang lain tetap
dibiarkan sebagai daerah perdikan (daerah yang berdiri sendiri). Kekuasaan yang dilakukan
VOC (Kompeni) Belanda di daerah-daerah Singkil belum dapat dinamakan
penyelenggaraan pemerintahan umum. Kekuasaannya terutama terbatas pada
penuntutan penyerahan wajib dari penguasa-penguasa daerah Singkil, mengangkat
pegawai-pegawai ini dan itu serta mengawasi mereka dalam melakukan kewajiban-kewajibannya
terhadap VOC (kompeni) Belanda.
Pengaruh kumpeni tidak terbatas pada wilayah daratan Singkil saja, tetapi juga menguasai wilayah lautan. Kompeni Belanda juga menguasai dan memonopoli seluruh hasil bumi yang diproduksi di daerah Singkil. Walaupun demikian, pengaruh kumpeni tidak boleh dilebih-lebihkan. Tradisi dagang penduduk Singkil tetap hidup, walaupun ada monopoli pelayaran dan perdagangan. Pengawasan di laut yang teliti sekali untuk melindungi monopoli kumpeni tak mungkin dilakukan, karena adanya tempat bersauh yang jumlahnya cukup banyak dan luas. Apa yang disebut dengan perdagangan gelap tetap berlangsung, terutama di daerah-daerah yang tidak terawasi.
Sumber:
Sudirman dalam “Sejarah Maritim Singkil”
0 komentar