Sejarah Maritim Singkil

By Si Anak Rimo - June 30, 2018


Masyarakat Aceh Singkil terdiri dari berbagai suku dan budaya, berdasarkan sejarahnya asal etnis yang paling dominan adalah dari Minang dan Dairi, suku Minang banyak menguasai dalam bahasa pengantar dagang, sedangkan mayoritas suku Dairi berbahasa Ulu (mudik), yaitu bahasa Dairi dialek Singkil dan bahasa Minang dilalek pesisir. Singkil sebagai bandar dan kota perdagangan tentunya mempunyai daya tarik tersendiri bagi penduduk dari daerah lain sebagai tempat mencari nafkah. Fenomena ini telah menyebabkan penduduk daerah tersebut sangat hiterogen jika ditinjau dari suku bangsa. Pada tahun 1852 jumlah penduduk Kota Singkil sebanyak 2.104 orang yang terdiri dari 6 orang Eropa, 55 orang Cina, 183 orang Arab dan sisanya adalah penduduk setempat dari berbagai kelompok suku bangsa. Memperhatikan data tersebut terlihat bahwa di Kota Singkil dahulu terdapat 2 kelompok suku bangsa dari luar, yaitu Arab dan Cina yang secara turun temurun mempunyai budaya yang cukup kuat dalam berdagang. Kehadiran kedua kelompok suku bangsa tersebut kiranya dapat memperkuat hipotesis yang mengatakan bahwa Singkil memang merupakan kota perdagangan.
 
Selanjutnya pada tahun 1894 Kota Singkil didatangi oleh orang-orang Melayu dari Kesultanan Pahang. Mereka adalah orang-orang Melayu yang melarikan diri karena Kerajaan Pahang diduduki oleh pasukan Inggris. Di Kota Singkil mereka mempersiapkan diri untuk berjihad dan mengharap dapat bantuan dari Kerajaan Aceh dalam melawan agresi pasukan Inggris tersebut. Mereka baru kembali ke Pahang setelah mendapat himbauan dari para ulama kesultanan supaya mereka melakukan perjuangan dari dalam negeri.
Tentang agama penduduk pada masa itu, bahwa umumnya masyarakat Singkil beragama Islam, dan sebagian kecil memeluk agama Kristen, yang terletak di daerah Simpang Kanan di desa Kutakerangan. Sesuai dengan keputusan Gubernur Hindia Belanda diberikan penetapan pada Huria Kristen Batak Protestan tanggal 10 Januari 1935 No. 37 atas permintaan dari ketua Huria untuk diberikan izin mendirikan sebuah gereja, yang kemudian dinamakan Gereja Zending Batak.

Dalam sebuah laporan W.L. Ritter menyebutkan bahwa penduduk Singkil sekitar 600 orang atau sekitar 150 buah rumah tangga, akan tetapi apabila diperkirakan sampai kepada penduduk yang ada di pedalaman mencapai 10.000 jiwa. Hubungan penduduk Singkil dengan Pak-pak yang belum beragama di pedalaman umumnya berjalan harmonis.

Ritter juga menambahkan bahwa Bangsa Proto Malayan yang terdesak oleh bangsa Mongolia, mengarungi Lautan Hindia (Indonesia) menuju ke wilayah Singkil. Sebagian dari mereka itu memasuki ke arah arus Simpang Kanan terus ke Dairi, sehinga mereka menjadi marga Dairi. Sebagian daerah itu bercampur dengan suku asli dan disertai dengan masuk suku Minang. Dari itu muncullah suku Singkil yang terdiri dari campuran suku pendatang dari suku Minang, Batak, Nias, Aceh, suku Singkil. Tentang jumlah penduduk Kota Singkil pada waktu itu tidak disebutkan dalam laporan penyelidikan Belanda ketika akan menyerbu Aceh pada abad ke-19. Belanda hanya menyebutkan bahwa Tapaktuan adalah sebenarnya pemukiman dari orang Pasaman di wilayah gunung opir, dan merupakan pelabuhan utama untuk ekspor lada karena tidak saja ditanam di sekitarnya, tetapi juga di tempat-tempat lebih ke selatan seperti Asahan, Terbangan, Sinabu dan Bakongan.

Seorang penduduk dari XXV Mukim Aceh Besar dengan pengikutnya pindah ke Susoh (Aceh Selatan), lalu menjadi kepala kampung di Susoh. Dua orang keturunannya, yang pertama bernama Bassa Bujang (Bujang Bapa) pindah ke Trumon, dan yang kedua bernama Lebai Dapha (Haji Dafna) pindah ke Singkil, dan berhasil mengembangkan pertanian lada di Singkil. Penguasa daerah Singkil pada waktu itu menaruh simpati kepada Haji Dafna dan menikahkan anak putrinya dengan Lebai Dapha (Haji Dafna), bahkan menyerahkan pimpinan kenegerian tersebut kepada Lebai Dapha. Bassa Bujang yang kurang berhasil di Trumon mengundang adiknya (Haji Dafna), supaya pindah ke Trumon. Permintaan itu dituruti oleh Lebai Dapha tanpa melepaskan kedudukannya di Singkil. Kedua daerah itu kemudian berkembang dengan pertanian lada.

Hasil pertanian tersebut dapat meningkatkan pendapatan mereka yang memimpin kenegerian itu. Lebai Dapha kemudian meninggal dan meninggalkan 17 orang putri dan 10 orang putri. Putranya yang laki-laki bernama Raja Bujang menggantikannya menjadi raja di Trumon dan putranya yang kedua bernama Muhammad Arif memerintah di Singkil.

Pada ababd XVII kekuasaan VOC makin kokoh dan keuntungannya semakin besar. Keuntungan yang besar ini diperoleh karena raja-raja di Indonesia akhirnya harus menyerahkan hasil-hasil tanaman dalam bentuk sumbangan paksa (verplichte leverantien). Di samping itu masih ada contingenten, upeti-upeti dalam bentuk barang dagangan tanpa pengganti dari VOC. Keserakahan dan nafsu mencari untung sebesar-besarnya yang dilakukan oleh VOC Belanda menimbulkan konflik dengan para penguasa daerah yang dirugikan. Perlawanan-perlawanan pun akhirnya tidak dapat dihindari sehingga terjadilah pertempuran, walaupun perlawanan-perlawanan itu akhirnya dapat ditumpas. Belanda berusaha memperluas daerah pengaruh kekuasaannya di pulau Sumatera. Kepala-kepala daerah diminta untuk bekerja sama dengan Belanda dan hanya dibolehkan berdagang dengan Belanda. Bagi para penguasa daerah yang menentang, akan ditundukkan dengan kekerasan.

Setelah Belanda berhasil menguasai Bengkulu, Riau, Padang dan sebagian Sumatera Utara, Belanda mulai melirik daerah Singkil. Daerah Singkil yang memiliki hasil bumi yang melimpah, terutama pala, lada, rotan, kemenyan, kapur barus dan hasil hutan lainnya harus jatuh ke tangan VOC. Pada tahun 1670, VOC Belanda meminta Haji Lebei Dapha menerima kehadiran kapal dagang Belanda. Mengingat Belanda hanya ingin berdagang, penguasa Singkil tersebut dengan senang hati menerima kehadirannya. Bahkan dijalin kerja sama perdagangan rempah-rempah dengan Belanda. Semula keuntungan dagang yang diperoleh cukup besar karena Belanda bersedia membeli rempah-rempah dari Singkil dengan harga mahal.

Pada saat bersamaan dengan kehadiran Belanda, Haji Lebei Dapha sedang berusaha melepaskan diri dari kekuasaan Kesultanan Aceh. Hal ini dilakukan karena upeti yang harus dibayarkan kepada Sultan Aceh dirasa sangat memberatkan. Lebih dari itu, barang-barang produksi dari Singkil harus dijual dengan harga yang telah ditetapkan kepada Sultan Aceh. Karena Singkil merasa tidak bebas berdagang dengan bangsa lain, menyebabkan kehadiran Belanda dianggap sebagai dewa penolong dan menjalin hubungan kerjasama yang baik. Atas dasar inilah, akhirnya Haji Lebei Dapha memberi hak istimewa kepada VOC Belanda, dengan harapan VOC Belanda bersedia membantu Raja Singkil melepaskan diri dari kekuasaan Sultan Aceh.

Atas bantuan VOC Belanda, Raja Singkil berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Sultan Aceh. Sebagai upahnya, pada tanggal 14 Maret 1672 VOC Belanda memaksa penguasa daerah tersebut untuk menandatangani surat perjanjian yang sangat merugikan kerajaan Singkil. Adapun isi perjajian bilateral tersebut di antaranya yaitu : (1). Kerajaan Singkil harus setia sepenuhnya kepada Belanda; (2). Semua hasil bumi harus dijual kepada asosiasi dagang Belanda atau VOC dengan harga yang ditentukan oleh pihak Belanda. Ternyata Belanda sangat licik dan penipu. Bantuan yang diminta untuk melepaskan diri dari kekuasaan Sultan Aceh justru jadi bumerang yang menyebabkan Singkil akhirnya jatuh ke tangan Belanda. Sebagai raja kecil, ia tidak ada pilihan lain selain harus menerima persyaratan yang disodorkan pihak Belanda. Perjajian bilateral yang dibuat pada tanggal 14 Maret 1672 dengan berat hati terpasksa ditandatangani oleh Haji Lebei Dapha.

Walaupun dengan terpaksa Haji Lebei Dapha menerima keinginan Belanda, tetapi ada juga tokoh-tokoh masyarakat Singkil yang menentangnya. Salah satu di antaranya yaitu seorang penghulu Singkil yang bernama Raja Lela Setia dengan keras menentang perjanjia yang sangat merugikan tersebut. Ia menyatakan akan tetap setia kepada kesultanan Aceh dan anti terhadap belanda. Oleh karena itu, ia berusaha menjual hasil rempah-rempah Singkil ke daerah lain. Pembangkakang itu membuat Belanda berang dan mengancam akan menghukumnya. Raja Lela Setia tidak takut ultimatum Belanda tersebut. Akhirnya Belanda mengirim satu kompi pasukan perang ke Singkil untuk menangkap Raja Lela Setia dan para pengikutnya.

Sebelum tentara Belanda datang, Raja Lela Setia melarikan diri sehingga penangkapan atas diri dan pengikutnya tidak berhasil. Belanda kemudian memaksa penghulu Singkil lainnya untuk membantu menangkapnya. Namun usaha ini juga tidak berhasil. Untuk memantapkan kekuasaannya di Singkil, Belanda kemudian memperbaharui perjanjian yang telah dibuatnya dahulu dengan perjanjian baru yang isinya : (1). Seluruh hasil bumi Singkil harus diserahkan kepada Belanda dengan harga yang sangat rendah; (2). Para penghulu Singkil diwajibkan untuk mengusir Raja Lela Setia apabila kembali ke Singkil.

Pada tanggal 12 Februari 1681, Belanda menyodorkan surat perjanjian baru kepada para penguasa daerah di Singkil. Pihak Belanda diwakili oleh Jan Vaan Leene dan Aren Silvius. Sedangkan raja-raja Singkil yang dipaksa menandatangani perjanjian baru tersebut di antaranya yaitu : Raja Indra Mulia (penguasa wilayah kanan sungai), Mashoera Diraja (penguasa wilayah kiri sungai), Raja Setia Bakti, Penghulu Siking Tousian, Penghulu Banti Panjang Tonsidin, Penghulu Batu-Batu, Penghulu Perbentjein, Penghulu Kota Baru, Pang Hitam. Adapun yang menjadi saksi perjanjian tersebut adalah utusan dari Kerajaan Barus.

Pascapenandatanganan perjanjian tersebut, menyebabkan kedudukan Raja Lela Setia digantikan oleh Masoera Diraja. Pada masa pemerintahan Raja Pedytam, perjanjian tersebut dirasa sangat menyakitkan dan merugikan pihak Singkil. Rakyat menjadi sangat menderita karena hasil panennya hanya dibeli dengan harga murah sehingga tidak dapat untuk menutup kebutuhan hidupnya. Raja Pytam ingin menolong penderitaan rakyatnya, namun beliau tidak berani melawan secara terang-terangan. Ia hanya dapat menyuruh Minuasa memimpin sekelompok orang kepercayaan untuk menyembunyikan hasil bumi dan menjualnya ke pelabuhan lain melalui penyelundupan atau perdagangan gelap. Semula penyelundupan ini aman-aman saja sehingga dapat sedikit membantu mendongkrak perekonomian rakyat. Namun lama-kelamaan usaha perdagangan gelap tersebut dapat diketahui Belanda. Pihak Belanda marah dan menyiapkan satu kompi pasukan untuk menyergap kawanan penyelundup tersebut. Karena tidak menyangka akan adanya serangan dadakan, maka banyak anak buah Minuasa yang berhasil ditangkap tentara Belanda.
Setelah kejadian itu, Belanda melakukan pembaharuan perjanjian lagi. Pada tanggal 8 Juni 1707 Belanda memaksa wakil dari penguasa Singkil untuk menandatangani perjanjian tersebut. Adapun isinya merupakan penyempurnaan isi perjanjian yang telah dibuat sebelumnya, ditambah dengan pernyataan bahwa penguasa Singkil yang tunduk pada Belanda harus mencari dan menangkap orang-orang yang anti Belanda.

Tindakan Belanda yang merugikan masyarakat Singkil tersebut menyebabkan rakyat menderita. Hal tersebut akhirnya diketahui pula oleh Inggris. Oleh karena itulah dengan kedok ingin menolong rakyat Singkil dari kekejaman Belanda, Inggris berusaha menanamkan pengaruhnya di Singkil. Memasuki abad XVII, perusahaan dagang Inggris yang tergabung dalam East Indian Company berusaha menanamkan pengaruhnya di Singkil. Setelah Inggris memantapkan kekuasaannya di kawasan Bengkulu (Fort Marlborough), Natal, Poncan dan Barus, perusahaan dagang Inggris berusaha mencari hasil bumi di wilayah Singkil. Secara diam-diam para penguasa Singkil melakukan hubungan dagang dengan Inggris. Hal tersebut menimbulkan pertentangan dengan Belanda yang telah lebih dahulu menguasai Singkil. Menyadari bahwa Singkil telah menjadi wilayah kekuasaan Belanda, Inggris kemudian meninggalkan Singkil.

Memasuki abad XVIII, perdagangan di kawasan Asia Tenggara semakin ramai dikunjungi kapal-kapal dari Eropa dan Amerika. Hal tersebut juga berpengaruh di wilayah Singkil. Tidak hanya kapal-kapal dagang Belanda saja yang mengangkut hasil bumi dari singkil, tetapi juga datang kapal-kapal dagang dari Inggris dan Amerika. Hal ini menyebabkan rakyat Singkil tidak lagi loyall kepada Belanda yang telah memeras dan menindas selama hampir tiga puluh tahun lamanya. Kehadiran kapal-kapal dagang Inggris dan Amerika dianggap sebagai penyelamat perekonomian rakyat singkil karena hasil-hasil bumi mereka dapat dijual bebas kepada mereka. Lebih-lebih setelah kedua negara (Amerika dan Inggris) tersebut menumbuhkan iklim perdagangan bebas, maka keuntungan rakyat Singkil dalam penjualan hasil bumi semakin meningkat. Hal ini sangat berbeda dengan Belanda yang menerapkan sistem monopoli yang sangat merugikan rakyat. Kehadiran kapal-kapal dagang dari kedua negara tersebut menyebabkan kedudukan Belanda di Singkil terancam dan makin lama semakin terdesak.

Perebutan hasil bumi seperti kemenyan, kapur barus, lada, rotan dan hasil hutan lainnya pada waktu itu menjadi semakin ramai, sehingga menimbulkan persaingan yang ketat di antara para pedagang asing yang datang ke daerah tersebut. Pusat-pusat perdagangan menjadi ajang perebutan. Pada waktu itu, pelabuhan utama yang menampung hasil-hasil bumi dari daerah Singkil terdapat di tiga tempat, yaitu : Pertama, di sebelah utara di tarik garis sampai ke Barat Ujung Bawang, Kedua di sebelah timur dan yang ketiga, di sebelah barat ke arah selatan dekat jalan Singkil yang terletak depan benteng Singkil. Kapal-kapal dagang ukuran besar dapat berlabuh di dermaga dengan kedalaman 5 – 10 vadem.

Kehadiran pedagang-pedagang Inggris dan Amerika menyebabkan wilayah kekuasaan Belanda menjadi semakin sempit dan akhirnya tersingkir dari Singkil. Setelah itu maskapai perdagangan Inggris East Indian Company menjadi semakin kuat kedudukannya di daerah Singkil. Namun di sisi lain, kesultanan Aceh berusaha merebut kembali kekuasaannya yang telah hilang di Singkil. Upaya itu dilakukan dengan cara menghasut penduduk Singkil dan Bengkulu supaya menentang Inggris. Pada bulan Agustus 1771, Residen Inggris yang bernama Gilles Holoway bersama Kapten Forrest berangkat ke Aceh dengan kapal Luconia dengan maksud akan menemui Sultan Aceh untuk membuka perdagangan di kawasan yang menjadi wilayah kekuasaan Aceh. Di samping itu, Inggris juga meminta agar kesultanan Aceh tidak mengganggu kegiatan perdagangan Inggris di kawasan Tapanuli. Namun usaha tersebut dihalang-halangi oleh orang-orang India Madras yang tergabung dalam Madras Syndicate Association.

Adanya rintangan dari orang-orang Madras tersebut, Inggris marah dan memerintahkan kapal perangnya untuk menghukum mereka. Pengiriman kapal perang tersebut dipimpin langsung oleh Sir Henry Botham. Setelah orang-orang India Madras tersebut berhasil dihalau, armada perang Inggris mulai mengincar daerah-daerah kekuasaan Belanda di sepanjang pantai barat Sumatera. Setapak demi setapak kedudukan pos-pos Belanda di pesisir barat pulau Sumatera direbut armada perang Inggris. Tindakan itu dilakukan karena di Eropa sendiri sedang Inggris sedang berperang dengan Perancis yang dipimpin oleh Napoleon Bonaparte. Belanda yang telah dikuasai oleh Perancis dianggapnya sebagai musuh Inggris. Oleh karena itu, kedudukan Belanda di Sumatera dan Jawa juga terancam oleh serangan Inggris. Setelah negara-negara di Eropa berdamai pada tahun 1788, pos-pos Belanda yang dikuasai oleh Inggris diserahkan kembali kepada Belanda.

Pada tahun 1795 di Eropa terjadi Revolusi Perancis, sehingga Inggris kembali memusuhi Belanda. Armada Perang Inggris yang dipimpin oleh Edward Cooles menyerang lagi pos-pos Belanda di sepanjang pantai Barat Sumatera. Mereka bertindak atas nama Pangeran Orange yang berpihak kepada Inggris. Hal tersebut dilakukan supaya kekayaan Belanda di Nusantara tidak jatuh ke tangan Perancis. Pada tanggal 20 Juni 1801 Inggris mengangkat John Prince sebagai Residen baru untuk daerah Tapanuli dan Singkil. Ia membeli lada sebanyak 300 ton setiap tahun yang dikumpulkan dari Susoh dan Singkil. Untuk kelancaran pengapalan lada tersebut, Inggris mengadakan perjanjian dengan raja-raja Tapanuli Tengah pada tanggal 11 Maret 1815, yang diberi nama dengan Perjanjian Poncang atau Batigo badunsanak.

Akhirnya Belanda tahu bahwa kedudukan Inggris di pesisir barat Sumatera tidak begitu kuat. Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh Belanda untuk merebutnya kembali. Dengan melipat gandakan armada perangnya Belanda kemudian mengancam kedudukan Inggris di sepanjang pantai barat Sumatera, termasuk juga di Singkil. Di samping itu, kehadiran armada Amerika di Sumatera juga mengancam kedudukan Inggris. Untuk menjamin kepentingan dagang, Inggris melakukan pendekatan keagamaan. Untuk itu pada tahun 1817, diangkatlah Charles Halhead yang fasih berbahasa Arab sebagai Residen Inggris yang baru di Tapanuli. Setelah 5 (lima) tahun memerintah sebagai Residen, ia meninggal dunia karena sakit.

Selanjutnya kegiatan dagang di sepanjang pantai barat pulau Sumatera semakin hari semakin ramai. Lebih-lebih setelah kapal-kapal dagang Perancis dan India juga ikut meramaikan pelayaran dan perdagangan di kawasan tersebut. Walaupun kapal-kapal asing dari berbagai negeri hilir mudik di di sepanjang pesisir barat pulau Sumatera, tetapi para penguasa daerah Singkil lebih memilih bangsa Amerika untuk menjual hasil buminya karena mereka bersedia membeli dengan harga mahal. Pada suatu waktu, ada pedagang Amerika yang melakukan penipuan. Hasil bumi yang telah diserahkan oleh orang Singkil tidak dibayar. Rakyat marah dan menyita sebuah kapal Amerika Frienship asal Salem dan membakarnya di Kuala Batu. Kejadian tersebut kemudian ditanggapi oleh Presiden Amerika Serikat dengan mengirim kapal perang Potomac pada tahun 1831. Daerah Kuala Batu kemudian diserang dan dijadikan lautan api.

Pascainsiden tersebut, persaingan perdagangan di daerah Sumatera semakin ketat. Dari tahun ke tahun jumlah armada dagang dari berbagai negara semakin meningkat. Sejauh itu, hanya Inggris dan Belanda yang saling memperebutkan daerah kekuasaan. Untuk menghindarkan peperangan, kedua negara tersebut melakukan kesepakatan untuk menandatangani Traktat London. Adapun isi dari traktat tersebut yaitu Inggris harus menyerahkan kekuasaannya di daerah-daerah Belanda di Indonesia yang pernah direbutnya dahulu. Sebagai imbalannya, Belanda harus menyerahkan seluruh Semenanjung Melayu ke tangan Inggris.

Perjajinan itu sangat memberatkan Inggris. Menurut anggapannya, daerah Singkil dan Barus merupakan daerah miliknya yang telah diperolehnya sejak lama dengan susah payah. Jadi logis kalau Inggris yang menduduki daerah tersebut tidak rela jika harus menyerahkan begitu saja kepada Belanda. Di sisi lain, penyerahan pulau Sumatera oleh Inggris kepada Belanda juga sangat menyakitkan kesultanan Aceh. Mengingat Belanda selalu berusaha menghilangkan pengaruh Aceh dan menguras kekayaan yang ada. Untuk memperkuat kedudukannya di daerah-daerah yang terbentang dii sepanjang pantai barat Sumatera, Belanda menempatkan wilayah Tapanuli termasuk Singkil dan Barus ke dalam Residen Sumatera Barat yang berkedudukan di Padang. Setelah VOC dinyatakan bangkrut dan dibubarkan pada tanggal 31 Desember 1799, seluruh aset kekayaan VOC diambil alih oleh Pemerintah Belanda dan mulailah zaman baru penjajahan Belanda di Indonesia. Jika dulu dikuasai oleh VOC, kemudian beralih ke tangan Pemerintah Kolonial Belanda.

Kerajaan Aceh merasa terusik jika Belanda melebarkan sayap kekuasaannya di Sumatera, khususnya di daerah-daerah yang menjadi daerah taklukan Aceh, seperi di Sumatera Timur dan Sepanjang Pantai Barat Sumatera hingga ke Padang. Untuk mehambat arus ekspansi Belanda di Sumatera, Kerajaan Aceh berusaha melemahkan armada dagang Belanda. Cara-cara yang ditempuh yaitu dengan membiarkan para bajak laut melakukan perompakan dan perampasan kapal-kapal dagang Belanda yang lalu-lalang di Selat Malaka dan peraiaran pantai barat Aceh. Di samping itu, Kerajaan Aceh juga melakukan pengiriman armada perang dan Angkatan Lautnya yang dipimpin oleh Sidi Vara ke Pulau Poncan. Kapal-kapal perang yang dipersenjatai oleh Kerajaan Trumon tersebut diperintahkan untuk menyusup ke benteng Belanda di Fort Tapanuli. Mereka ditugaskan untuk menghancurkan persediaan senjata dan peralatan perang milik Belanda yang disimpan di gudang-gudang amunisi di benteng Poncan tersebut.

Penyerbuan kapal-kapal perang Aceh tersebut, kemudian mengilhami Belanda untuk menahan diri. Untuk mempertahankan diri dari Angkatan Laut Aceh, mereka membangun daerah barrier (daerah penyangga) antara wilayah kerajaan dengan wilayah kekuasaan Belanda. Selanjutnya untuk dapat mengembangkan daerah jajahannya pada tahun 1839, Belanda menempatkan satu skwadron kapal perang di Kerajaan Barus. Dan satu tahun kemudian (1840), Belanda juga menempatkan beberapa kapal perangnya di Singkil. Di samping itu melalui Residen Padang Mc Gillary, Belanda membuat perjanjian perdamaian dengan Kerajaan Trumon.

Tindakan Belanda tersebut membuat Sultan Ibrahim Mansursyah dari Kerajaan Aceh merasa dirugikan. Untuk menghadapinya, ia meminta bantuan pada Raja Louis Phillipe dari Perancis agar dapat menghentikan tindakan Belanda yang memperluas daerah kekuasaan di Pantai Barat Sumatera. Sebagai tindak lanjut dari permintaan Sultan Aceh tersebut, pada tahun 1843 Pemerintah Perancis mengirim armada kapal perang La Fortune yang dipimpin langsung oleh La Comte. Kedatangan kapal perang Perancis tersebut hanya untuk melindungi Kesultanan Aceh dari tekanan Belanda. Adapun kawasan Singkil dan daerah-daerah bekas wilayah kekuasaan Aceh yang lain tetap dibiarkan sebagai daerah perdikan (daerah yang berdiri sendiri). Kekuasaan yang dilakukan VOC (Kompeni) Belanda di daerah-daerah Singkil belum dapat dinamakan penyelenggaraan pemerintahan umum. Kekuasaannya terutama terbatas pada penuntutan penyerahan wajib dari penguasa-penguasa daerah Singkil, mengangkat pegawai-pegawai ini dan itu serta mengawasi mereka dalam melakukan kewajiban-kewajibannya terhadap VOC (kompeni) Belanda.

Pengaruh kumpeni tidak terbatas pada wilayah daratan Singkil saja, tetapi juga menguasai wilayah lautan. Kompeni Belanda juga menguasai dan memonopoli seluruh hasil bumi yang diproduksi di daerah Singkil. Walaupun demikian, pengaruh kumpeni tidak boleh dilebih-lebihkan. Tradisi dagang penduduk Singkil tetap hidup, walaupun ada monopoli pelayaran dan perdagangan. Pengawasan di laut yang teliti sekali untuk melindungi monopoli kumpeni tak mungkin dilakukan, karena adanya tempat bersauh yang jumlahnya cukup banyak dan luas. Apa yang disebut dengan perdagangan gelap tetap berlangsung, terutama di daerah-daerah yang tidak terawasi.

Sumber: Sudirman dalam “Sejarah Maritim Singkil”




  • Share:

You Might Also Like

0 komentar