Sesaat Setelah Acara |
Mengarungi
Lautan Luas, menyeberangi sungai, membelah jalan di hutan - hutan dan jalan
perkebunan, berjemur di bawah terik sang surya, bergadang bersama tuntutan
kerjaan yang kejar tayang dan tumpukan kertas yang berjibun. Semua ini kita
jalani dengan sepenuh hati dan gembira bersama team pemenangan waktu itu.
Waktu itu hampir sebulan
penuh kita liburan di lapangan pertarungan pilkada dan menjadi bagian dari
keberagaman masyarakat di seluruh penjuru Aceh Singkil. Sepanjang perjalanan
panjang bersama, hanya satu moment ini yang kita abadikan bersama setelah
seharian bekerja mempersiapkan Kampanye Akbar waktu itu. Bayangin berbulan - bulan sama hanya sekali kita berfoto bersama.
Kak Timme Metri Rahmi ini adalah arsitek lulusan Universitas ternama di Medan, USU. Usianya beda
tipis dengan Ibu di rumah, hanya beda setahun dua tahun. Ibu kelahiran 70an, dan aku anak baru gede yang lahir tahun 90an. Harusnya sih aku memanggilnya tante atau ibuk, tetapi supaya bisa lebih akrab bagusnya sih kakak. Terkadang kita membagi
peran sebagai rekan kerja, terkadang berbagi seperti adik dan kakak. Bagi saya kita itu komplit banget dalam berbagi tugas di lapangan.
“ Usia duapuluhan adalah masa kegemilanganmu, masa yang
paling penting dan paling indah. Tapi juga masa-masa dimana kamu harus
mengambil keputusan penting dan melakukan kesalahan besar. ”
Di
ufuk usia dua puluh enam tahun aku mulai memilih isi dari seluruh peristiwa
hidup yang kian mengharuskan ku menentukan pilihan. Usia ini adalah waktu
terpenting dalam mengejar masa depan dan pilihan pendamping hidup. Sebelum
malam kian sunyi dan bintang - bintang mulai ditelan malam, izinkan aku
mengucapkan terima kasih untuk semuanya atas doa dan kebaikan teman - teman
dalam mewarnai perjalanan hidup ku. Aku sangat berterima kasih untuk semua ini.
Terspesial
untuk dua pengantin muda ini, aku tak bisa ketik apa apa lagi selain berusaha memberikan
dan menjadi yang terbaik dalam setiap waktu nantinya. Pokoknyo tenang sajo yo kak. Oio kak, kepatang tu kan ado yang mbo kecek nandak foto berduo itu samo kakak, eh malam ko kito ado foto berduo yo.
Pagi itu salah satu
sahabat saya, Mbak Rizka Amalia mengirim pesan untuk mengajak menulis bersama
tentang perjalanan kita selama di Turun Tangan dan menjadikannya sebuah buku.
Saya katakan siap bergabung, walaupun sedikit ragu apa bisa menulis buku dalam
12 jam. Bagaimana mungkin bisa menulis ditengah jadwal kegiatan yang sedang padat, aku harus terlibat dalam usaha baik ini pikirku. Akhirnya teman - teman menyusun rencana bahwa waktu untuk penulisan buku ini
hanya 12 jam sejak waktu yang ditentukan dan tak boleh lewat. Sumpah ini gile bener, sedang serius atau sedang bercanda mereka ini.
" Ketika
aku meminta dikuatkan Langkahku, Allah kirimkan aku masalah dan ujian
untuk ku selesaikan. Konon katanya doa dan takdir itu bertarung hebat di
langit. Jikalau benar demikian, maka akan aku kirimkan sebanyak
banyaknya doa untuk menggebrak langit, dan memenangkan takdir ". - RHM
Aku begitu menyukai kata - kata ini. Bahwa doa yang selalu kita kirimkan dalam munajat akan selalu sampai dan dijawab Allah dengan cara yang indah dan mengejutkan. Di tengah sejuknya suasana Kota Jogja malam itu, pikiran saya terlempar jauh mengingat alasan keberadaan ku di kota ini. Pertualangan itu dimulai dari sebuah desa kecil di ujung negeri, ia tumbuh bersama rindangnya pepohonan dan kicauan burung - burung serta keberagaman penduduk, ia tidak lahir dan tumbuh dari gedung - gedung pencakar langit nan megah di kota. Dan, sampai saat ini pun mimpi itu selalu tersimpan rapi di balik desa kecil nan rindang di tanah kelahiran kita disana, tempat aku nantinya akan pulang memulai cerita baru. Ya, tanah dimana perbedaan dan keberagaman itu menjadi rahmat, serta birunya laut di sepanjang samudra hindia tempat dimana semua rindu akan ditumpahkan.
Aku harus menceritakan kisah ini, bahwa kepergian ku disebabkan banyak alasan, mulai dari mimpi yang ku dapat dari buku Anak - Anak Revolusi yang bercerita tentang beliau berkeliling Indonesia untuk mempelajari budaya masyarakat sebelum terjun ke dunia politik, kegagalan diplomasi cinta yang tak kunjung menemukan titik temu dan berakhir dengan status quo " kembali seperti semula ", keinginan besar mengikuti DA di Indonesia Mengajar hingga niat hati untuk melanjutkan kuliah. Namun, ditengah lamunan tiba – tiba handphone memberi tanda ada pesan yang masuk.
“ Mad, kamu jadi
tes beasiswa dan melanjutkan kuliah mu ? “ Tanyanya
“ Belum, karena aku sedang focus untuk mengikuti Direct Assesment Indonesia
Mengajar terlebih dahulu, Aku berharap banget bisa menjadi bagian dari gerakan ini “ Jawabku waktu itu.
“ Belum, karena aku sedang focus untuk mengikuti Direct Assesment Indonesia
Mengajar terlebih dahulu, Aku berharap banget bisa menjadi bagian dari gerakan ini “ Jawabku waktu itu.
Percakapan ini pun terus berlanjut tentang apa yang
akan kami lakukan setelah peristiwa sakral ( baca “ wisuda “ ). Terlebih jauh
sebelum peristiwa sakral itu, aku punya banyak mimpi yang ingin aku capai nantinya.
Kadang aku merasa mimpi ini terlalu aneh dan sedikit gila sih, mimpi yang lahir
dari berbagai buku yang ku baca dan berbagai diskusi dengan teman – teman saat
kuliah dahulu. Oa aku bingung saat mengisi judul tulisan ini, setelah pikir - pikir ya ambil judul yang netral saja yaitu “ Kegundahan Membawa Ku Pulang
Kampung “. Kisah ini akab bercerita tentang berbagai macam kegundahan yang aku hadapi
dan semua peristiwa dan mimpi itu membawa ku pulang ke kampung halaman.
Tak selamanya apa yang kita inginkan adalah terbaik untuk kita. Kegagalan saat proses DA di Indonesia Mengajar ternyata memberi guncangan yang begitu besar akan suasana hati waktu itu, aku menyadari kesalahan ini sih karena aku terlalu berharap tinggi, sehingga ketika aku gagal ada rasa gundah yang membuncah, lain lagi rasa sedih atas waktu yang berjalan tanpa planning sehingga terasa tanpa arti. Tapi harus aku katakana bahwa aku bangga atas usaha dan pilihan ini.
Tak selamanya apa yang kita inginkan adalah terbaik untuk kita. Kegagalan saat proses DA di Indonesia Mengajar ternyata memberi guncangan yang begitu besar akan suasana hati waktu itu, aku menyadari kesalahan ini sih karena aku terlalu berharap tinggi, sehingga ketika aku gagal ada rasa gundah yang membuncah, lain lagi rasa sedih atas waktu yang berjalan tanpa planning sehingga terasa tanpa arti. Tapi harus aku katakana bahwa aku bangga atas usaha dan pilihan ini.