Oleh
Jejen Musfah
Dosen Magister UIN Jakarta & Pengurus PGRI
BULAN Mei ialah masa orangtua mencari sekolah yang tepat untuk
anak-anak mereka. Kegiatan ini menguras tenaga, pikiran, dan uang orangtua.
Sekolah negeri menjadi pilihan pertama karena kualitas, gratis, atau jauh lebih
murah jika dibandingkan dengan sekolah swasta. Keluarga dari kelas atas,
menengah, apalagi miskin mengincar sekolah negeri. Setiap tahun, pendaftarnya
selalu jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan kuota yang disediakan
panitia. Kondisi ini sering dimanfaatkan oknum guru dan kepala sekolah untuk
melakukan jual beli kursi.Dosen Magister UIN Jakarta & Pengurus PGRI
Tiga kategori
Tidak semua sekolah negeri memenuhi standar nasional
pendidikan (SNP), baik di Ibu Kota, kota, pinggiran, maupun daerah 3T (terluar,
terdepan, dan tertinggal). Fasilitas dan gurunya kurang sehingga proses
pembelajaran pun berlangsung tidak efektif. Inilah sekolah negeri kategori non
favorit. Kualitas lulusan di sekolah ini biasa saja karena prosesnya yang tidak
standar tadi. Sekolah ini dipilih bukan karena kualitas, melainkan karena
gratis atau murah. Sekolah negeri tetapi gurunya mayoritas honorer. Siswanya
minim prestasi.
Hal ini jauh berbeda dengan sekolah negeri favorit yang
jumlahnya tidak sebanyak sekolah sebelumnya. Di setiap kota jumlahnya bisa
dihitung jari. Sarana dan gurunya di atas standar nasional pendidikan.
Kurikulum dan manajemennya bagus. Kepala sekolahnya kreatif, siswa sering
mengikuti aneka lomba dalam dan luar negeri, bahkan kadang menjadi juara. Lulusannya banyak diterima di perguruan tinggi negeri dan
swasta favorit. Belajar di sekolah tersebut nyaman dan menyenangkan karena
sarana memadai dan guru kompeten. Orangtua memilih sekolah kategori ini karena
kualitas. Seandainya berbayar mahal pun, orangtua yang mampu akan bersedia.
Karena itu, persaingan masuk sekolah ini sangat ketat. Syaratnya tidak mudah,
bahkan membutuhkan kesabaran saat pendaftaran daring (online).
Kategori lainnya ialah sekolah negeri yang sudah memenuhi
standar nasional pendidikan tetapi tidak berprestasi atau biasa saja. Meskipun
fasilitas cukup, tidak mampu mengembangkan bakat dan potensi siswa karena
kinerja guru dan kepala sekolah buruk.
Sekolah ini diminati masyarakat tetapi tidak menjadi rebutan
meskipun persaingannya tetap ketat. Jumlah sekolah ini banyak, dan berada di
antara sekolah favorit dan nonfavorit. Guru-guru di sekolah ini memerlukan
kepala sekolah visioner yang mampu melecut motivasi belajar dan mengajar
mereka. Tidak ada alasan malas karena secara ekonomi mereka yang PNS sudah
sejahtera.
Syarat penerimaan
Saat ini pendaftaran peserta didik baru (PPDB) menggunakan
sistem zonasi secara daring. Sistem ini lahir karena sistem sebelumnya
dianggap banyak kekurangan, di antaranya jarak sekolah dengan rumah siswa jauh
dan hanya berpihak kepada siswa cerdas. Syarat utama penerimaan di sekolah negeri ialah jarak rumah
siswa, bukan prestasi akademik: nilai rapor dan ujian nasional (UN). Semakin
dekat rumah siswa, semakin besar peluang diterima di sekolah negeri. Nilai
akademik dipertimbangkan tetapi kecil persentasenya.
Siswa yang jarak rumahnya jauh harus memiliki nilai akademik
yang sangat bagus. Kecuali itu, yang rumahnya jauh, sedangkan nilainya kecil
harus melampirkan surat keterangan tidak mampu (SKTM) dari desa. Tidak sedikit
orangtua yang memalsukan kartu ini demi masuk sekolah negeri.
Sistem zonasi ini memberi peluang bagi keluarga miskin di
sekolah negeri pada satu sisi, tetapi tidak melarang keluarga kaya pada sisi
yang lain. Keluarga kaya perlu dilarang atau setidaknya dibatasi karena sekolah
negeri itu gratis atau sangat murah dan jumlahnya sedikit di setiap kota,
kabupaten, dan kecamatan. Tanpa sekolah negeri, mereka bisa memilih dan membayar
sekolah swasta bagus yang jumlahnya cukup banyak saat ini. Anak-anak dari
keluarga miskin harus diberi peluang belajar di sekolah negeri daripada
anak-anak keluarga kaya. Inilah di antara kelemahan sistem zonasi.
Kecerdasan jamak
Sistem zonasi menghapus sistem yang hanya mementingkan
kecerdasan akademik siswa. Selama ini sekolah negeri—apalagi yang
favorit—mengumpulkan siswa-siswa cerdas berdasarkan nilai UN yang tinggi.
Muncul pernyataan, jika fungsi sekolah adalah mencerdaskan, mengapa hanya
menerima siswa-siswa yang cerdas saja?
Selaiknya, guru bisa menerima siswa dari beragam tingkat
kecerdasan, yakni sangat cerdas, cerdas, kurang cerdas, dan tidak cerdas.
Setiap siswa, cerdas maupun tidak, berhak mendapatkan pendidikan yang baik.
Sekolah negeri yang dibiayai penuh oleh pemerintah tidak boleh hanya dinikmati
siswa cerdas, apalagi dari keluarga kaya. Tugas guru ialah mengajar dan mendidik siswa dengan baik
sesuai standar. Jika guru mengajar dengan baik dan sungguh-sungguh, siswa
dengan kecerdasan standar pun akan berprestasi. Biarkan siswa berkembang sesuai
dengan kecerdasan dan bakatnya masing-masing.
Guru-guru yang merasa lebih nyaman dan lebih memilih
mengajar siswa-siswa pintar saja seperti dulu ialah pikiran keliru. Jika
guru-guru PNS yang saat ini sudah sejahtera dengan berbagai tunjangan dari
pemerintah pusat dan daerah, dan dengan fasilitas sekolah yang nyaman, hanya
mau mengajar siswa-siswa yang cerdas di atas rata-rata, dengan alasan mengejar
prestasi, siapa yang akan mengajar siswa-siswa dengan kecerdasan menengah dan
rendah? Bukankah seharusnya mereka yang PNS justru lebih terpanggil mengajar
dan mendidik siswa dari kalangan tidak mampu sekaligus rendah dalam kecerdasan?
Dengan demikian, melalui pendidikan dasar dan menengah yang baik dari
guru-guru, kelak mereka bisa berhasil meraih mimpi-mimpinya.
Akhirnya, setiap guru harus ingat bahwa kecerdasan akademik
hanya satu di antara aneka kecerdasan anak. Jika siswa lemah dalam aspek
akademik, guru dan kepala sekolah dituntut menemukan dan mengembangkan bakat
siswa dalam bidang seni, olahraga, atau musik.
Keterbatasan fasilitas sekolah untuk mengembangkan bakat
anak bisa diatasi dengan kemauan guru dan siswa yang kuat. Mereka pasti
menemukan jalan keluar untuk pemenuhan alat-alat tersebut asalkan mau berusaha
dan niat yang baik, tulus, dan ikhlas. Sekolah yang hanya mengejar prestasi akademik akan membunuh
bakat siswa dalam bidang tertentu. Sekolah yang hanya berorientasi akademik
ialah sekolah gagal. Saatnya sekolah Indonesia mengembangkan pendidikan
berbasis kecerdasan jamak (multiple intelligence) agar semua siswa mampu
berprestasi (juara) sesuai dengan bakatnya masing-masing.
0 komentar