Tak Perlu Ada Yang Dibuang
By Si Anak Rimo - August 22, 2016
Ada banyak cerita dan perjalanan waktu yang mereka
lalui bersama. Sebuah kisah penantian seorang gadis dan lelaki pemalu. Gadis manis
itu menaruh harapan yang begitu besar kepada lelaki yang ditemuinya sepuluh
tahun lalu saat mereka berada di sekolah yang sama. Lelaki berkaca mata itu
adalah mantan ketua osis sewaktu mereka berada di sekolah yang sama, sedangkan
wanita itu adalah bintang kelas yang selalu dipuji – puji guru dan menjadi
dambaan semua siswa karena kepintaran dan kelembutan bahasanya.
Senin pagi setelah upacara bendera selesai, mereka berdua
dipanggil ke ruang kepala sekolah dan akan ditugaskan berangkat ke ibukota
provinsi untuk mewakili sekolah sebagai pelajar Sekolah Berstandar Nasional,
waktu itu sekolah memang baru saja mendapatkan status Sekolah Berstandar
Nasional. Awalnya mereka tidaklah begitu akrab namun kegiatan ini lah yang menjadi
awal tumbuhnya rasa dan cerita penuh makna diantara mereka. Untuk sekian banyak
perjalanan yang telah mereka lewati, gadis itu merasa ia dijaga oleh lelaki
yang kini menjadi sahabatnya itu. Walaupun mereka seangkatan namun pemuda itu
menjaganya seperti ia menjaga adiknya sendiri.
Sesampai di ibukota Banda Aceh, mereka pun menginap di hotel yang sama yaitu, Hotel Leding. Mengikuti pelatihan dan diskusi bersama perwakilan lain Se - Aceh membuat mereka lupa akan waktu yang terus berjalan, wanita ini pun mendapat banyak teman baru, kebetulan ia sekamar dengan perwakilan dari Aceh Barat Daya. Kampung yang sama antara wanita dan lelaki itu. Kamis sore itu, tiba tiba gadis itu mengetuk kamar dan meminta menemaninya ke toko buku, jelas saja lelaki itu mau karena sudah jauh – jauh hari ia ingin ke toko buku yang disamping Mesjid Raya Baiturahman itu. Tak butuh waktu lama jika berjalan kaki menuju mesjid kebangaan masyarakat Aceh itu.
Sesampai di ibukota Banda Aceh, mereka pun menginap di hotel yang sama yaitu, Hotel Leding. Mengikuti pelatihan dan diskusi bersama perwakilan lain Se - Aceh membuat mereka lupa akan waktu yang terus berjalan, wanita ini pun mendapat banyak teman baru, kebetulan ia sekamar dengan perwakilan dari Aceh Barat Daya. Kampung yang sama antara wanita dan lelaki itu. Kamis sore itu, tiba tiba gadis itu mengetuk kamar dan meminta menemaninya ke toko buku, jelas saja lelaki itu mau karena sudah jauh – jauh hari ia ingin ke toko buku yang disamping Mesjid Raya Baiturahman itu. Tak butuh waktu lama jika berjalan kaki menuju mesjid kebangaan masyarakat Aceh itu.
Diperjalanan mereka
bercerita sambil sesekali bercanda karena ada banyak sekali cerita lucu saat
mengikuti rangkaian acara. Wanita pintar dan cantik yang dahulu sering ia
dengar dari cerita – cerita teman kini menjadi sahabatnya, tak disangka bahwa
ia akan menjadi sedekat ini, tak terasa mereka
menghabiskan waktu lebih dari satu jam di toko buku. Gadis itu membeli beberapa
buku Biologi dan novel – novel yang sedang terkenal, sedangkan lalaki itu
membeli beberapa buku sejarah Aceh dan sebuah novel cinta. Setelah selesai
berburu buku, mereka ingin langsung ke Mesjid Raya menghabiskan sisa – sisa senja
di rerumputan sambil sesekali melihat ikan – ikan berenang di kolam besar
mesjid. Namun saat gadis menyeberang sebuah kendaraan kencang hampir saja
menabraknya, lelaki itu menarik tangannya dengan cepat sehingga semua baik-baik
saja. Inilah awal hadirnya sebuah rasa yang terus terjaga. Saat mereka berjalan berdua
dengan sebuah kantong plastik berisi buku, pemuda itu sering menoleh ke
belakang untuk memastikan ia baik-baik saja dan tidak terlalu ketinggalan. Ah,
tapi bukan tentang itu. Ini adalah tentang bagaimana pemuda itu membiarkannya menikmati
keindahan sebuah kota yang dahulu menjadi pusat kerajaan Islam di Aceh. Wanita itu
terlihat sedikit melamun, mungkin memikirkan peristiwa yang baru saja terjadi.
“Kenapa kau tidak takut pergi berdua denganku?” tanya pemuda itu suatu kali. Sambil
memandang kendaraan yang berlalu lalang, wanita itu mencoba menjawab dengan
sedikit bercanda.
“Kenapa aku harus
takut jika berada di samping Ketua Osis ? ” gadis itu balas bertanya. Lelaki pemalu
itu tak mampu menjawab dan membiarkan pertanyaan itu hilang ditelan langit
senja di barat indonesia ini. mereka pun semakin akrab namun karena berbeda
kelas tak banyak waktu yang mereka habiskan bersama seperti dulu. Setelah tamat
sekolah gadis itu melanjutkan ke Banda Aceh dan lelaki itu pun melanjutkan
sekolah di Semarang.
Setelah 4 tahun tak bertemu sejak mereka meneruskan pendidikan di sekolah yang
berbeda. Sering gadis itu mengingat waktu-waktu yang mereka lewati hanya
berdua. Perjalanan-perjalanan, obrolan ringan sampai diskusi berat. Dalam kesunyian
malam sering ia teringat lelaki yang menjadi sahabatnya itu. Ia masih mengingat
semua bagian – bagian perjalanan bersama yang menurutnya menarik untuk dikenang
dan diteruskan. Ia simpan dengan rapi semua dalam tempat khusus untuk
kenangan-kenangan bahagia. Ia rindu bagaimana lelaki itu menuntunnya saat
menyebrang dan setia menanti saat membeli buku. Pernah suatu ketika, ketika
rindu terus hadir di keheningan malam, ia memberanikan diri mengirim surat
cinta dan rindu bahwa ia akan menanti lelaki itu pulang, ia ingin meneruskan
cerita perjalanan mereka berdua. Penantian yang tak pasti apakah akan berbalas
rindu atau tak berbalas sama sekali.
Namun di seberang
pulau sana, lelaki itu ternyata menyimpan dengan sangat rapi semua kenangan itu
dan tak ingin ada cerita baru yang menggantikannya. Ia baca dengan seksama
surat yang dikirimkan jauh dari barat negeri ini, ia teringat semua perjalanan
yang mereka lalui bersama saat mewakili sekolah. Dalam surat balasan ia katakan
bahwa ia memiliki rasa yang sama dan akan segera kembali jika pendidikannya
telah selesai. Lelaki itu menyimpan dengan rapi sehingga tak seorang pun yang
tahu bahwa ia begitu mencintai gadis yang menjadi sahabatnya sewaktu remaja
dulu.
Lama mereka tak
berkabar karena lelaki itu paham betul bahwa ia tak boleh terlalu jauh menjalin
komunikasi, ia hanya bersabar menunggu studinya yang tak lama lagi akan
selesai. Namun saat ia menyiapkan semua berkas untuk keperluan wisuda, sebuah
surat sampai melalui JNE Express, itu
terlihat dari halaman depan amplop berwarna cokelat itu. Perlahan ia membaca
rangkaian kata yang tertulis rapi, hingga pada kalimat bahwa ia sudah
dijodohkan dan akan segera menikah bulan depan. Sambil melipat kembali surat
itu, ia meneteskan air mata, harapan dan rasa yang selama ini ia jaga kini
hanya meninggal waktu untuk dibuang jauh ke samudera luas, janji yang terus
dijaganya ternyata begitu mudah diingkari, dan mimpi yang ingin ia bangun dan
teruskan bersama telah sirna. Ia sadar bahwa tak perlu harus membuang semua
kenangan itu, biarkan saja ia hidup dan menjadi pelajaran untuk kedepan.
Lewat ponsel
pintarnya ia kirimkan sebuah pesan kepada wanita yang sebenarnya begitu ia
cintai, namun juga dengan sekuat hati harus ia lepaskan. ” Perjalanan
panjang ini bermula dari sebuah pertemuan singkat kita dulu. Kini kita bergerak
mengejar dan menggapai cita meski kita tak lagi bersama. Tak mungkin aku
terlalu banyak bertanya tentang isi surat mu. Kau pasti menulisnya penuh dengan
pertimbangan. Sebenarnya ada kerinduan namun aku tak berharap sebuah perjumpaan
lagi. Semoga pernikahan mu berjalan lancar dan penuh rasa bahagia. Pesan ku,
kau tak perlu menjauh dan menghilang dariku, membuang cerita masa remaja kita, cerita
ini hanya kita berdua yang tahu dan semua akan baik-baik saja “.
0 komentar