Lebaran di Tanah Rantau

By Si Anak Rimo - August 27, 2016



Sebelum aku mendiami Kota Jogja awal Januari 2016 lalu, sebenarnya ada beberapa hal yang sudah lama ku tekadkan dalam hati, salah satunya adalah merayakan lebaran di rantau orang. Tak ada kebimbangan sedikit pun ketika aku harus memutuskan ini. sebulan sebulan lebaran aku masih berada di Kediri, salah satu kota yang memiliki magnet untuk menarik banyak anak muda datang kesini. Kota ini terkenal dengan kampung Inggrisnya, sekaligus dikenal dengan kota Tahu.

Aku mau cerita bagaimana menariknya merasakan lebaran di rantau orang dan bagaimana rasanya menahan rindu yang sudah stadium akhir. Aku bersyukur tahun ini diberi izin oleh orang tua untuk tetap tinggal disini, waktu itu berkali kali juga ditanya apa tidak balik saja karena semua orang pada balik tahun ini. tak terhitung juga berapa kali sahabat – sahabat asrama membujuk untuk mudik bersama. Namun aku tetap saja bertahan untuk tinggal disini.


Tak banyak orang tua yang rela membiarkan anaknya untuk berpisah saat lebaran, terlebih seorang anak yang selalu merasakan rindu ketika gema takbir itu mulai menggema menghiasi malam – malam yang dinantikan. Beberapa hari sebelum lebaran ayah menelpon dan bilang bahwa Pakde  akan berlebaran di kampung halaman di Solo, kita pun bercerita sebentar dan akhirnya ayah menyuruh untuk ikut bareng Pakde  saja di Solo. 
Besok paginya Pakde  langsung menelpon dan bertanya kapan aku berangkat ke Solo ?
 
karena di asrama masih ramai maka aku mengatakan akan ke Solo tanggal 3 juli nantinya, hanya beberapa hari lagi sebelum lebaran. Sebelum aku berangkat Pakde  sempat memberi kabar bahwa lebarannya di Sragen kampung Pakde  dan tidak di Solo kampung Bukde, aku mencoba mencari tahu Sragen itu dimana lewat Mbah Google. Hampir saja Pakde menjemputku ke jogja jika sampai tanggal 3 aku belum juga datang kesana. Ah baiknya Pakde  ini pikirku. 

******

Ayah & ibu selalu saja rela menahan rindunya agar anaknya bisa tumbuh dan belajar, ia biarkan anaknya tumbuh dengan belajar budaya dan tradisi di Indonesia. Tinggal di sebuah desa di kaki bukit tepian sungai bengawan Solo yang sulit sekali sinyal handphone maupun internet, masyarakat yang hampir seluruhnya berbahasa jawa, dan masih banyak hal menarik lainnya saat aku berada disana. Karena susahnya jaringan aku jadi lebih banyak menghabiskan waktu bersilaturahmi dan membaca buku, selama disana aku hanya membawa dan membaca dua buah buku, satu buku Pramoedya “ Arus balik “ dan  “ Essay politik tentang Habibie”, bacaan ringan sekaligus menguatkan kecintaan pada Indonesia dan ilmu pengetahuan. 

Hari itu sesaat sebelum shalat Ied aku hampir menangis sejenak, mencoba mengingat isi ceramah tahun lalu di kampung halaman ku, aku rindu ibuku. Terlalu banyak salah dan dosa kepada kedua orang tua tercinta, aku belum bisa menghabiskan waktu bersama dengan meraka, aku masih terlalu sibuk dengan mimpi – mimpi ku. Maafkan anak mu ini Mak. Disini tak ada lontong,  ketupat bahkan daging pun tak aku rasakan, aku bahkan tak mengenal seorang pun di mesjid ibukota waktu itu. Namun aku begitu menikmati hari - hari, bersama Pakde dan Bukde kita menyusuri berbagai daerah, melihat dan merasakan langsung macetnya arus mudik, melihat budaya serta melihat setiap keindahan negeri ini. namun salahnya salahnya aku masih saja malu mengambil gambar untuk mengabadikan sebuah perjalanan.

Tahun ini aku banyak belajar, betapa sulit meminta maaf kepada orang tua lewat telepon dengan sinyal pas-pasan, menyesuaikan makanan, bahkan budaya lebaran yang jauh berbeda dengan Aceh, dua hari setelah Lebaran pun aku belum ada melihat orang salaman meminta maaf kerumah - rumah, hari Jumat barulah mulai bersalaman, rindu ini sedikit terobati ketika aku menjadi bagian dari keluarga yang aku cintai ini. 

Ada beberapa kisah unik yang ku alami selama berada di desa ini, namun aku tuliskan satu cerita saja. Malam ini seluruh keluarga Pakde  berkumpul, akan lebih seru lagi jika ada masak – masak, saat kaum lelaki berada di ruang tengah dan halaman, kaum ibu pun sibuk di dapur membuat mie ayam. Setelah selesai makan mie ayam kita pun diskusi sambil diselingi tawa dan canda dari Mbah. Malam itu aku memakai baju kaos polos hitam berlengan panjang dan celana hitam panjang, aku pikir di rumah lebih baik memakai baju kaos saja.

Tiba – tiba saat sedang sibuk menonton tv, mas – dan paklek disana pun mengajak ku untuk ikut hadir di acara masyarakat yang diselingi campur sari.
Rahmad ayo ikut kita nonton campur sari ? ajak mereka
Aku pun langsung ikut tanpa cuci muka atau berganti baju, aku ingat sekali mulut ini masih beraroma mie ayam dan terlihat seperti wajah orang hendak tidur. Aku sempat bertanya kepada paklek, 

Apa tidak sebaiknya aku mengganti baju biar lebih rapi ? tanyaku sambil sedikit tertawa. Aku berpikir bahwa campur sari itu seperti acara keyboard di kampung ku yang kita bisa melihat dari kejauhan. Namun tak disangka ternyata kita hadir kesana seperti menghadiri sebuah undangan pesta yang begitu formal, aku menyalami satu persatu tuan rumah yang memakai batik seragam.

Kamu tahu apa yang aneh dari kedatangan ku ke acara ini ?

Dari hampir 300 an tamu yang hadir hanya aku yang memakai baju kaos lengan panjang berwarna hitam, selebihnya memakai baju batik. Aku tak bisa menbayangkan menjadi asing karena pakaian dan sorotan handycam yang tersambung ke setiap sudut. Kehadiran ku pun menjadi pusat perhatiaan karena aku memakai baju kaos dan berpenampilan biasa saja, walaupun sebenarnya baju kaos dan celana yang ku pakai termasuk rapi namun tetap berbeda dari yang lain. Sebahagian ada yang berbisik di kejauhan sambil bertanya itu siapa, setelah ku pikir – pikir bahwa lusa aku sudah kembali ke Jogja maka aku pun santai saja. Namun bukan berarti aku tidak gelisah, aku sempat bertanya kepada paklek malam itu.

Kenapa ndak kasih tau harus pakai baju batik paklek ? padahal di tas ada persedian batik yang belum terpakai. Paklek dengan senyum dan santai pun menjawab dengan santai, tenang saja mereka mengerti kok. Ujar paklek sambil senyum. Malam itu alunan gamelan terkadang membuat ku mengantuk, namun karena ada sedikit kegelisahan makanya ngantuk yang hadir dapat terobati. Sungguh malam itu menjadi unik dan bahan tertawaan Pakde  dan Bukde saat ku ceritakan keesokan harinya.
 
Aku bersyukur Allah pertemukan aku dengan orang orang baik, aku Melihat langsung kebahagiaan masyarakat walaupun hidup serba pas-pasan, melihat bagaimana daerah lain membangun tanahnya, aku belajar menyesuaikan pakaian agar tak mencolok. Aku beruntung Lebaran ini mendapat banyak keluarga baru, cerita dan pengalaman baru yang membuatku terus ingin menyusuri setiap inci negeri ini. Hanya cinta yang tak mau aku cari lagi, aku biarkan saja ia tinggal di Aceh sana, agar aku selalu rindu untuk pulang. Kata ayah, bagi orang Aceh wanita adalah sumber peradaban dan sejarah, jika kau ingin menjaga peradaban itu, hiduplah bersamanya.

10 Juli 2016. Tangen, Sragen, Jawa Tengah.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar