Sanggaberu dan Puzzle Kehidupan

By Si Anak Rimo - October 17, 2016



“ Tempat semua mata air mimpi selalu berada di tempat kita lahir dan besar. Bukan legenda di ujung dunia “
- Anies Baswedan

Sanggaberu bukan hanya nama sebuah desa, melainkan sebuah tempat dimana sepotong perjalanan hidup pernah ku lalui disana. Desa ini memiliki udara yang sejuk dan sungai yang mengalir membelah kampung warga, biasanya jika malam kita bisa melihat kunang – kunang menari di tengah embun malam.  Sanggaberu berada di Kecamatan Gunung Meriah, untuk menuju desa itu kita biasanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit. Desa ini dikenal sebagai penghasil batu bata, Sanggaberu terletak di tengah – tengah perkebunan kelapa sawit Socfindo, sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit swasta tertua yang telah ada sejak zaman belanda dahulu.

Malam itu aku ingin menulis tentang dunia politik yang sedang hangat di banyak daerah menjelang pilkada dan perjalanan kenapa aku bisa sampai kuliah di ilmu politik, namun ternyata di bagian awal ada banyak kisah yang dijalani di desa Sanggaberu, setelah dipikir – pikir akan lebih baik jika aku menulis tentang desa ini saja agar ceritanya lebih terarah ke satu pembahasan.

Aku menghabiskan masa kecil ku seperti kebanyakan anak – anak lainnya, bermain, mandi di sungai, memancing, menjebak burung di hutan, bersepeda dan masih banyak lainnya. Tapi ada hal lain yang mungkin menurut ku sedikit berbeda untuk anak seusia ku waktu itu, aku anak yang sejak kecil sudah suka mengikuti perkembangan politik dan bacaan politik. Terlahir dari keluarga sederhana, ayah adalah orang yang keras untuk hal pendidikan sehingga membuat ku selalu dekat dengan dunia pendidikan dan sekolah. Ketika kelas 5 SD, ayah mencoba melihat bakat ku untuk ia ikut sertakan dalam lomba cerdas – cermat. Aku diarahkan untuk mengambil jurusan matematika atau IPA, alasannya ia berharap agar aku bisa kuliah di jurusan pertambangan atau menjadi insinyur nantinya. Namun keadaan berkata lain, aku tak memiliki minat dan kemampuan di dua jurusan itu, akhirnya aku di fokuskan dan memfokuskan diri di dua mata pelajaran, yaitu PPKN dan IPS. Hampir setiap hari aku belajar dua pelajaran itu, bahkan kami ada les hampir 1 tahun untuk jurusan itu saja. Aku menyukai pelajarannya karena tidak sulit dan bisa membuat pikiran ini berkelana membayangkan setiap isinya. Hal ini jualah yang membuat aku suka mengikuti dinamika politik tanah air pasca reformasi, mungkin karena rasa penasaran dan ada sedikit bekal yang ku pelajari waktu itu.

Ada cerita yang masih teringat jelas sampai kini, saat masih kecil ayah selalu membawa ku ke sekolahnya dahulu SD Negeri 2 Sanggaberu jika ada rapat dengan komite sekolah atau masyarakat, biasanya rapat membahas program sekolah kedepan atau laporan keuangan begitu, ketika rapat berlangsung aku lebih memilih berkumpul dengan anak – anak disana atau bermain di warung samping sekolah, karena rapat biasanya pukul tiga siang jadi anak anak belum ada yang bermain ke sekolah. Namun, ada hal yang begitu membekas dan memiliki effect sampai saat ini, yaitu ketika ayah rapat aku selalu saja masuk ke kantor dan memeriksa ruangan ayah untuk mencari buku – buku, biasanya buku yang kudapat adalah  buku perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah. Inilah oleh – oleh yang selalu ku bawa pulang kalau ikut ayah ke sekolah, oleh – oleh yang masih ku jalani sampai kini dan awal dari kisah cinta aku dengan buku. Kadang aku membaca buku catatan hariannya, tidak begitu menarik karena berisi jadwal – jadwal.

Aku selalu menyukai kehidupan masyarakat tempat ayah berkerja, keramahan dan kesantunan saat bertutur kata, persatuannya hingga penggilan mereka yang selalu mengatakan “ Mampir Pak “ ketika kami menaiki motor tua Astrea ayah untuk  melintasi jalanan bebatuan. Dahulu saat baru menikah, untuk ke sekolah ayah menaiki sepeda tuanya yang sampai saat ini masih tersimpan rapi. Saksi atas perjuangan ayah membiayai kehidupan keluarga dan membesarkan ku yang waktu itu masih belum memiliki adik. Mungkin selain motor tua itu, aku adalah salah satu saksi nyata atas perjalanan hidup ayah dengan segala ceritanya di desa ini. Ada banyak sekali bagian dari kehidupan ku dan ayah yang terbangun begitu erat dengan desa ini. Pada tahun 1996, saat berumur empat tahun. Sekolah akan mengadakan acara perpisahan untuk anak kelas 6 SD di pantai jilbab Blang Pidie, masih terekam jelas siapa – siapa yang waktu itu ikut dan aku masih mengenali wajah mereka. 

Biasanya jika ayah pulang dari sekolah, pasti ia membawa sesuatu seperti makanan peyek kacang atau kue kue khas kesukaan orang Jawa, terkadang juga mie dengan kuah kacang itu, salah satu makanan yang kusukai sampai saat ini. Masyarakat Sanggaberu adalah salah satu contoh dari betapa beragam dan ramahnya masyarakat aceh singkil, walaupun mayoritas di desa itu adalah suku jawa, tetapi ada banyak suku lain bahkan beberapa guru dan kenalan ku waktu itu berbeda agama. Tak pernah ada masalah, sampai saat ini pun jika bertemu dengan salah satu siswa ayah dulu, aku masih suka bercanda tawa mengingat kebandelan masa itu.

Tahun 2003 ayah sudah tidak lagi menjadi kepala sekolah di SD Sanggaberu, namun interaksi dengan masyarakat dan guru – guru masih terjalin. Ada satu guru yang biasa dipanggil buk Ros, jika hari minggu biasanya ia selalu ke pecan yang kebetulan melewati rumah ku, ia sering membawakan buah durian, pete atau apapun itu, satu hal yang saya ingat bahwa suami ibu itu adalah sekretaris desa dan mereka berbeda agama dengan ayah, tapi saya merasa bahwa buk ros bukan hanya seorang guru di tempat itu, melainkan saudara sendiri. Beberapa tahun lalu saya sempat bertemu dengannya, mungkin ia tak mengenali ku lagi karena aku sudah tumbuh besar. 

Aku begitu merasakan bagaimana jahitan tenun kebangsaan itu telah aku rasakan sejak kecil, cerita yang secara tak langsung memberi ku sebuah gambaran betapa keberagaman Indonesia dapat aku temukan dalam kehidupan ku.  Waktu itu aku bersekolah di SD Tulaan, aku memilih tidak sekolah di depan rumah atau ikut bersama ayah ke Sanggaberu, dari empat bersaudara hanya si bungsu yang memilih sekolah di depan rumah. Walaupun aku tidak sekolah di depan rumah, tapi hampir seluruh siswa di depan rumah yang seangkatan merupakan teman ku. Cerita tentang Sanggaberu pun berlanjut ketika aku mulai masuk ke sekolah menengah pertama di Rimo, lebih dari 12 tahun ayah menghabiskan separuh harinya di desa itu, sehingga wajar saja jika ayah begitu dikenal disana, sekalian juga aku numpang untuk bisa berkenalan dengan teman – teman dan murid ayah. Di sekolah baru inilah aku kembali memulai berbagai cerita bersama teman – teman yang berasal dari Sanggaberu atau afdeling IV, hampir seluruh siswa dari dua desa itu ku kenal dan mungkin mereka juga mengenal ku. Walaupun dulu tidak satu sekolah dengan mereka, biasanya aku hadir di setiap acara sekolah mereka.  
 
Desa ini punya banyak cerita yang masih jelas teringat sampai kini, ada cerita lucu juga saat aku mulai merasakan menyukai lawan jenis waktu sekolah dulu, kebetulan aku akan melanjutkan ke SMA di Tapaktuan, maka aku memilih untuk menitipkan foto – foto itu kepada teman ku yang rumahnya di Sanggaberu, alasannya hanya satu yaitu agar tidak ketahuan dirumah. Biasanya setiap pulang kampung aku selalu menyempatkan diri berkunjung kesana dengan mandi di sungainya, kerakah, mungkin ini salah satu cara untuk melepas rindu ke desa ini.

Ini salah satu puzzle kehidupan yang mewarnai kisah hidup, membekas di jiwa dan memberi makna dalam setiap etape kehidupan. Aku pasti akan selalu merindukan masa – masa itu, merindukan kehangatan masyarakat dan keberagaman warganya. Kini, saat aku menghabiskan waktu di Kediri Jawa Timur,  aku merasakan ada nuansa sanggaberu yang ku rasakan disini, tidak seperti di tanah jawa melainkan di Sanggaberu.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar