Simpang Lima Gumul Kediri |
Awal tahun 2016 lalu, di Kota Kediri yang sangat indah dan nyaman ini, kita mencoba menyusun puzzle mimpi yang lama berserakan. Berusaha belajar siang malam mengejar ketertinggalan pengetahuan yang tak berbatas, sesekali saya merenung di tepian sungai brantas yang membelah desa - desa disana, walau terkadang saya selalu dalam bayang - bayang ingin mengelilingi Indonesia.
Hingga hadir satu masa rasa rindu yang tak terkira terhadap Ibu, dan Kampung halaman. Saat itu Ibu memberi dukungan penuh membiayai lanjut kuliah dengan komitmen harus memilih, pilih fokus lanjut sekolah atau terus dibalik layar politik orang, Lama saya merenung memikirkan langkah hidup yang harus diambil, politik, pendidikan, atau ya belajar usaha dengan mencari kerja. Akhirnya aku memilih pendidikan untuk menyiapkan diri melewati zaman di hari esok saat balik kampung.
Bertemulah saya satu lagu dari Ary Raya " Meusyem Keu Poma " yang begitu indah saya dengar, memberi kekuatan dengan segala kegundahan, karena keuangan juga sangat terbatas, paket data juga seadanya, kalau sedang rindu dengan Ibu saya pergi ke warnet biar puas bisa mutar lagu ini sambil melihat perkembangan berita dan hal lain. Sambil searching dan nulis blog, perasaan tak begitu tenang karena takut sepatu dan sepeda di depan hilang, maklum sepedanya adalah sewaan selama beberapa bulan dari tempat rental.
Malam ini saya merasakan dan merenung betapa saya begitu lama jauh dari ilmu pengetahuan yang saya impikan dulu, saat berkumpul dengan sahabat yang mengupgrade pengetahuan, saya minder karena terlalu fokus kepada pondasi usaha, walaupun sejatinya mimpi ini tidak hilang, melainkan hanya ditunda karena ternyata kehidupan nyata dan mimpi membutuhkan biaya untuk menjalaninya. Lama saya konsultasi dengan mentor, bagaimana harusnya langkah kedepan. Dan langkah yang kita pilih adalah perkuat ekonomi, lanjutkan sekolah, baru kembali ke politik. Dengan sebelum permasalahan dan potensi di kampung halaman, saya harus banyak belajar untuk kembali nantinya. Kita sadar kekurangan ilmu sehingga harus memilih dunia yang ingin dijalani, tak bisa semua dijalani.
Dengan segala keterbatasan, saya bersama sahabat berusaha sekuat mungkin mandiri dan mempercepat pondasi ekonomi, sampai terkadang saya tak kuat menghadapi lelah dan stresnya permasalahan, jika pondasi telah terpancang kita bisa cepat melangkah untuk melanjutkan menuntut ilmu dan bebas memilih pilihan hidup.
Saya kisahkan kepada adik - adik, bahwa di masa depan tantangan kita berat sekali, terlebih dalam menyikapi kemandirian finansial, walau dalam membangun usaha modal menjadi salah satu kunci utama, ternyata kita bisa melewatinya dengan menjadikan modal finansial itu nomor kesekian setelah grand desain, relasi, hingga pengetuan akan rencana itu. Walau bisa berjalan pelan dan tumbuh, kita melewati semua ini dengan babak belur dan hidup tak nyaman karena sering bertemu permasalahan yang baru kami hadapi.
Terlebih setelah menyelami potensi Aceh Singkil, ternyata ada begitu banyak peluang yang bisa kita ambil, namun kita harus terus belajar, belajar, memperluas silaturahmi dan berani mencoba hal baru. Saya medengar dari cerita kabar burung bahwa orang dari luar sudah menyusun rencana akan kampung kita, hanya menunggu momentum saja.
Terbayang dalam imajinasi, jika nanti Allah berikan amanah rezeki yang berlebih, saya ingin membawa anak dan istri untuk berkeliling ke tempat yang dulu tak lama saya tinggali, tinggal beberapa waktu disana, belajar bersama walau tak lama, yang akhirnya saya bisa cerita kepada si kecil bahwa dulu ayahmu ini nak menahan rindu yang tak terkira kepada Ibu dan keluarga hanya untuk satu puzzle mimpi yang ayah dapat dari satu buku perjalanan politik.
Seperti kata Cak Lontong hidup yang tidak dipertaruhkan, tidak akan pernah dimenangkan. Dan terkadang untuk memulai sesuatu yang baru, kita harus berani mempertaruhkan apa yang kita punya. Kita percaya bahwa segala sebelum mimpi dan imajinasi kita terwujud, kita harus menyusunkannya dahulu. Setiap catatan yang kita tuliskan adalah satu cara kita menjaga mimpi, sebagai pengingat darimana kita dan hendak kemana kita nantinya.
Pinggiran Kota Rimo, Rabu 11 Agustus 2021.
0 komentar