Tadi saat aku membaca novel " Bintang di langit
Alhamra ", novel yang bercerita tentang mimpi seorang anak desa yang ingin
bersekolah di negeri orang. Tiba - tiba seorang teman mengirimkan ku sebuah
gambar via bbm, dalam pesan itu ia tuliskan kalimat " Ini di Aceh Mad
" dengan memasang emot menangis dan meminta ku untuk cepat pulang.
Sepertinya mereka kesepian setelah hampir setahun ku tinggalkan, tak ada kawan
untuk jalan jalan lagi atau berkegiatan. Aku sudah tau persih ini dimana karena berada di pusat ibukota dan sering ku
lewati dulu. Kehadiran gambar ini tepat sekali ditengah dahaga semangat yang
menghantui. Ada banyak sekali pelajaran hidup di sekitar kita, bahkan jarang
kita temukan di ruang ruang kuliah.
Shalat Idhul Adha Bersama |
Inilah bentuk kebersamaan yang terus terjaga dalam keberagaman
suku dan bahasa yang membawa rahmat. Ada 6 anak muda teman waktu kecil dan adik
kelas di foto ini yang terdiri dari 6 suku yang berbeda, yaitu seperti suku
Jawa, Pakpak, Singkil, Makkasar, Minang dan beberapa orang lagi dari suku yang
berbeda. Kita tumbuh bersama sejak kecil sampai usia saat ini dari keluarga
yang berbeda latar belakang dan bahasa. Semoga kita selalu menjaga kebhinekaan
yang penuh rahmat ini di tengah PemiluKada yang
semakin dekat.
Enam tahun yang lalu, ada seorang anak desa yang hendak
merantau ke Jawa untuk kuliah dan ia telah menyiapkan semua keperluan lengkap
dengan tiket penerbangan dan kos. Kala itu teman teman di tempat yang berbeda sudah
menanti, namun tepat beberapa jam sebelum keberangkatan menuju bandara, orang
tuanya melarang dengan alasan perasaan yang tidak tenang dan takut terjadi apa
apa. Setelah diskusi panjang dan panas, tiket pun dibatalkan dan semua isi
koper harus dikeluarkan kembali. Tak terbayang
betapa tak tenangnya pemuda itu ketika harus mengabari temannya bahwa ia tak
jadi berangkat. Sungguh butuh waktu satu tahun untuk menghilangkan kekecewaan
itu.
Saya percaya bahwa setiap insan menginginkan menjadi orang
baik, bahkan kita merasa nyaman dan tenang jika berada di sekeliling orang
baik. Mereka memiliki magnet yang membuat kita betah dan ingin terus bersama
mereka. Senyumnya, tingkah lakunya bahkan budi bahasanya selalu terpancar
kehangatan kebaikan itu sendiri.
Mencintai orang baik itu tidak semudah yang kita bayangkan.
Ia punya banyak teman dan hatinya memiliki ruang untuk mengasihi banyak orang.
Waktunya akan dibagi kepada yang membutuhkan dan ilmu serta akalnya akan
digunakan untuk memikirkan lingkungannya. Karena tak mudah jatuh cinta kepada
orang baik, maka kita juga harus menjadi orang baik. Menjadi orang baik itu
selalu dirindukan, kehadirannya dinantikan dan senyumnya menyejukkan.
“ Tempat semua mata air
mimpi selalu berada di tempat kita lahir dan besar. Bukan legenda di ujung
dunia “
- Anies Baswedan
- Anies Baswedan
Sanggaberu bukan hanya nama sebuah
desa, melainkan sebuah tempat dimana sepotong perjalanan hidup pernah ku lalui
disana. Desa ini memiliki udara yang sejuk dan sungai yang mengalir membelah
kampung warga, biasanya jika malam kita bisa melihat kunang – kunang menari di
tengah embun malam. Sanggaberu berada di Kecamatan Gunung Meriah, untuk
menuju desa itu kita biasanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit. Desa ini
dikenal sebagai penghasil batu bata, Sanggaberu terletak di tengah – tengah
perkebunan kelapa sawit Socfindo, sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit swasta
tertua yang telah ada sejak zaman belanda dahulu.
Malam itu aku ingin menulis
tentang dunia politik yang sedang hangat di banyak daerah menjelang pilkada dan
perjalanan kenapa aku bisa sampai kuliah di ilmu politik, namun ternyata di
bagian awal ada banyak kisah yang dijalani di desa Sanggaberu, setelah dipikir
– pikir akan lebih baik jika aku menulis tentang desa ini saja agar ceritanya
lebih terarah ke satu pembahasan.
Aku menghabiskan masa kecil ku
seperti kebanyakan anak – anak lainnya, bermain, mandi di sungai, memancing,
menjebak burung di hutan, bersepeda dan masih banyak lainnya. Tapi ada hal lain
yang mungkin menurut ku sedikit berbeda untuk anak seusia ku waktu itu, aku
anak yang sejak kecil sudah suka mengikuti perkembangan politik dan bacaan
politik. Terlahir dari keluarga sederhana, ayah adalah orang yang keras untuk
hal pendidikan sehingga membuat ku selalu dekat dengan dunia pendidikan dan
sekolah. Ketika kelas 5 SD, ayah mencoba melihat bakat ku untuk ia ikut
sertakan dalam lomba cerdas – cermat. Aku diarahkan untuk mengambil jurusan
matematika atau IPA, alasannya ia berharap agar aku bisa kuliah di jurusan
pertambangan atau menjadi insinyur nantinya. Namun keadaan berkata lain, aku
tak memiliki minat dan kemampuan di dua jurusan itu, akhirnya aku di fokuskan
dan memfokuskan diri di dua mata pelajaran, yaitu PPKN dan IPS. Hampir setiap
hari aku belajar dua pelajaran itu, bahkan kami ada les hampir 1 tahun untuk
jurusan itu saja. Aku menyukai pelajarannya karena tidak sulit dan bisa membuat
pikiran ini berkelana membayangkan setiap isinya. Hal ini jualah yang membuat
aku suka mengikuti dinamika politik tanah air pasca reformasi, mungkin karena
rasa penasaran dan ada sedikit bekal yang ku pelajari waktu itu.
Ada cerita yang masih teringat
jelas sampai kini, saat masih kecil ayah selalu membawa ku ke sekolahnya dahulu
SD Negeri 2 Sanggaberu jika ada rapat dengan komite sekolah atau masyarakat,
biasanya rapat membahas program sekolah kedepan atau laporan keuangan begitu,
ketika rapat berlangsung aku lebih memilih berkumpul dengan anak – anak disana
atau bermain di warung samping sekolah, karena rapat biasanya pukul tiga siang
jadi anak anak belum ada yang bermain ke sekolah. Namun, ada hal yang begitu membekas
dan memiliki effect sampai saat ini, yaitu ketika ayah rapat aku selalu saja
masuk ke kantor dan memeriksa ruangan ayah untuk mencari buku – buku, biasanya
buku yang kudapat adalah buku perjuangan rakyat Indonesia melawan
penjajah. Inilah oleh – oleh yang selalu ku bawa pulang kalau ikut ayah ke
sekolah, oleh – oleh yang masih ku jalani sampai kini dan awal dari kisah cinta
aku dengan buku. Kadang aku membaca buku catatan hariannya, tidak begitu
menarik karena berisi jadwal – jadwal.
Aku selalu menyukai kehidupan
masyarakat tempat ayah berkerja, keramahan dan kesantunan saat bertutur kata,
persatuannya hingga penggilan mereka yang selalu mengatakan “ Mampir Pak “
ketika kami menaiki motor tua Astrea ayah untuk melintasi jalanan
bebatuan. Dahulu saat baru menikah, untuk ke sekolah ayah menaiki sepeda tuanya
yang sampai saat ini masih tersimpan rapi. Saksi atas perjuangan ayah membiayai
kehidupan keluarga dan membesarkan ku yang waktu itu masih belum memiliki adik.
Mungkin selain motor tua itu, aku adalah salah satu saksi nyata atas perjalanan
hidup ayah dengan segala ceritanya di desa ini. Ada banyak sekali bagian dari
kehidupan ku dan ayah yang terbangun begitu erat dengan desa ini. Pada tahun
1996, saat berumur empat tahun. Sekolah akan mengadakan acara perpisahan untuk
anak kelas 6 SD di pantai jilbab Blang Pidie, masih terekam jelas siapa – siapa
yang waktu itu ikut dan aku masih mengenali wajah mereka.
Biasanya jika ayah pulang dari
sekolah, pasti ia membawa sesuatu seperti makanan peyek kacang atau kue kue
khas kesukaan orang Jawa, terkadang juga mie dengan kuah kacang itu, salah satu
makanan yang kusukai sampai saat ini. Masyarakat Sanggaberu adalah salah satu
contoh dari betapa beragam dan ramahnya masyarakat aceh singkil, walaupun
mayoritas di desa itu adalah suku jawa, tetapi ada banyak suku lain bahkan
beberapa guru dan kenalan ku waktu itu berbeda agama. Tak pernah ada masalah,
sampai saat ini pun jika bertemu dengan salah satu siswa ayah dulu, aku masih
suka bercanda tawa mengingat kebandelan masa itu.
Tahun 2003 ayah sudah tidak lagi
menjadi kepala sekolah di SD Sanggaberu, namun interaksi dengan masyarakat dan
guru – guru masih terjalin. Ada satu guru yang biasa dipanggil buk Ros, jika
hari minggu biasanya ia selalu ke pecan yang kebetulan melewati rumah ku, ia
sering membawakan buah durian, pete atau apapun itu, satu hal yang saya ingat
bahwa suami ibu itu adalah sekretaris desa dan mereka berbeda agama dengan
ayah, tapi saya merasa bahwa buk ros bukan hanya seorang guru di tempat itu,
melainkan saudara sendiri. Beberapa tahun lalu saya sempat bertemu dengannya,
mungkin ia tak mengenali ku lagi karena aku sudah tumbuh besar.
Aku begitu merasakan bagaimana
jahitan tenun kebangsaan itu telah aku rasakan sejak kecil, cerita yang secara
tak langsung memberi ku sebuah gambaran betapa keberagaman Indonesia dapat aku
temukan dalam kehidupan ku. Waktu itu aku bersekolah di SD Tulaan, aku
memilih tidak sekolah di depan rumah atau ikut bersama ayah ke Sanggaberu, dari
empat bersaudara hanya si bungsu yang memilih sekolah di depan rumah. Walaupun
aku tidak sekolah di depan rumah, tapi hampir seluruh siswa di depan rumah yang
seangkatan merupakan teman ku. Cerita tentang Sanggaberu pun berlanjut ketika
aku mulai masuk ke sekolah menengah pertama di Rimo, lebih dari 12 tahun ayah
menghabiskan separuh harinya di desa itu, sehingga wajar saja jika ayah begitu
dikenal disana, sekalian juga aku numpang untuk bisa berkenalan dengan teman –
teman dan murid ayah. Di sekolah baru inilah aku kembali memulai berbagai
cerita bersama teman – teman yang berasal dari Sanggaberu atau afdeling IV,
hampir seluruh siswa dari dua desa itu ku kenal dan mungkin mereka juga
mengenal ku. Walaupun dulu tidak satu sekolah dengan mereka, biasanya aku hadir
di setiap acara sekolah mereka.
Desa ini punya banyak cerita yang
masih jelas teringat sampai kini, ada cerita lucu juga saat aku mulai merasakan
menyukai lawan jenis waktu sekolah dulu, kebetulan aku akan melanjutkan ke SMA
di Tapaktuan, maka aku memilih untuk menitipkan foto – foto itu kepada teman ku
yang rumahnya di Sanggaberu, alasannya hanya satu yaitu agar tidak ketahuan
dirumah. Biasanya setiap pulang kampung aku selalu menyempatkan diri berkunjung
kesana dengan mandi di sungainya, kerakah, mungkin ini salah satu cara untuk
melepas rindu ke desa ini.
Ini salah satu puzzle kehidupan
yang mewarnai kisah hidup, membekas di jiwa dan memberi makna dalam setiap
etape kehidupan. Aku pasti akan selalu merindukan masa – masa itu, merindukan
kehangatan masyarakat dan keberagaman warganya. Kini, saat aku menghabiskan
waktu di Kediri Jawa Timur, aku merasakan ada nuansa sanggaberu yang ku
rasakan disini, tidak seperti di tanah jawa melainkan di Sanggaberu.
Pasca reformasi semua masalah bangsa mulai terlihat jelas
bak gunung es di samudra yang tak kelihatan di masa orde baru. Negeri ini
ditimpa badai korupsi dan diserang berbagai masalah besar. Banyak orang mulai
pesimis akan kemajuan negeri ini, negeri yang kata banyak orang potongan
syurga. Banyak yang berbicara pesimisme mulai dari media sebagai wadah
pendidikan politik mulai dirasuki kepentingan konglomerat, partai politik yang
mulai lupa akan janji, pemimpin yang lebih memilih duduk santai dan pelesiran
ke luar negeri atas nama kepentingan negara dll. Kondisi hari ini benar – benar
sangat ironis, banyak generasi terbaik mulai jauh dan menjauhkan diri dari
dunia politik. Mereka lebih memilih zona nyaman untuk berkarir dan membiarkan
orang orang yang tidak baik dan berkualitas untuk masuk disana dan mengurus
negeri ini.
Tak ada alasan untuk pesimis akan negeri yang kaya ini.
Pasca kemerdekaan tahun 1945 Indonesia berada dalam posisi sulit mulai dari
angka buta huruf yang tinggi, sumber daya manusia yang minim, insfrastruktur
yang hampir sangat kurang sekali. Tetapi sikap optimisme itu meyebar ke seluruh
penjuru negeri seperti hembusan angin yang terus berhembus. Semua orang turun
tangan menyelesaikan masalah negerinya. Ada yang bertugas mengusir penjajah,
ada yang berdiplomasi, ada yang menulis buku, ada yang bertugas menyiarkan
semangat melalui radio radio. Masalah yang besar itu perlahan terselesaikan
karena seluruh rakyat Indonesia memilih turun tangan dan merasa memiliki
masalah yang dilanda negeri ini.
Pemuda adalah generasi pembaharu yang dipenuhi dengan ide
dan semangat yang luar biasa. Tebarkan lah rasa memiliki negeri ini dengan
segala yang dimilikinya. Kita harus berhenti mengkritik tanpa berbuat. Kita
semua harus menjadi generasi yang kritis dan tidak takut mengkritik tetapi
berani memberikan solusi. Di benak pemuda masa depan negeri ini dititipkan.
Semua bisa berbuat untuk menebarkan inspirasi itu. Mulai dari hal terkecil
sampai hal yang besar, seperti berhenti menyebarkan isu negatif akan negeri
ini. Pemuda tak boleh apatis akan perubahan dan politik karena jiwa dan nasib
bangsa nya ada pada mereka.
Media boleh saja memperlihatkan betapa bejat dan rakusnya
para politisi dan petinggi negeri ini. Media boleh saja menyebutkan jumlah
hutang negeri kita ini. Tetapi kita punya pemuda dan orang orang baik yang bisa
mengurusi negeri ini, yang secara tulus menebarkan inspirasi dan optimisme akan
kemajuan. Optimisme bahwa janji kemerdekaan akan segera terlunasi.
Satu langkah yang kita lakukan akan sangat berarti untuk
melepaskan Indonesia dari hempitan percaya diri sebagai sebuah bangsa besar.