Turun Tangan adalah gerakan
yang didasari keyakinan bahwa setiap orang dapat ikut terlibat untuk melunasi
janji kemerdekaan. Turun Tangan Lahir pada Juli 2013. Mendorong keterlibatan
orang untuk menyelesaikan masalah yang ada di lilngkungannya. Think Big, start
Small, Act Now. Turun Tangan Ditujukan lebih besar dari Indonesia
mengajar. Mas Anies Baswedan dan teman – teman menyiapkan Turun Tangan
untuk menjadi platform crowdsourcing dimana setiap orang, dimana saja dan kapan
saja bisa menyumbangkan ide, tenaga, waktu, uang untuk melunasi janji
kemerdekaan. Diharapkan nantinya mereka yang menjadi alumni ataupun lahir dari
Turun Tangan adalah pemimpin – pemimpin masa depan yang memiliki wawasan kelas
dunia, pemahaman akar rumput dan sudah malang melintang di permasalahan
masyarakat.
Turun Tangan adalah sebuah
gerakan yang mengajak setiap orang untuk merasa memiliki dan terlibat dalam
setiap permasalahan yang ada di negeri ini. Bergerak bersama untuk ikut
melunasi janji kemerdekaan. Turun Tangan di inisiasi Oleh Anies Baswedan, ada
banyak gerakan yang lahir dari tokoh muda ini. Indonesia mengajar,
Indonesia menyala, kelas inspirasi, dan yang terbungsu adalah Turun
Tangan. Jika ketiga gerakan lainnya telah bergerak di bidang pendidikan maka
Turun Tangan akan bergerak di bidang yang lebih umum seperti politik dll.
Seiring berjalannya waktu
perkembangan dan perubahan itu terus terjadi, pasca pemilihan presiden setiap
daerah memiliki permasalahan tersendiri yang membuat setiap gerakan di daerah
itu berbeda. Momentun konvensi hadir sebagai salah satu bentuk edukasi politik
kepada masyarakat. Peran Turun Tangan adalah menyampaikan pesan dan mengajak
orang baik untuk masuk ke politik. Kampanye ini bertujuan agar anak muda tidak
alergi dengan politik dan mendorong anak muda yang berintegritas punya rekam
jejak yang baik untuk menjadi pemgambil kebijakan. Jika di Aceh lebih banyak di
bidang pendidikan dan sosial, medan bergerak di bidang politik dan bencana
alam, dst. Tapi perlahan kita akan terus bergerak naik ke permukaan masalah,
sebagai langkah awal kita akan Turun Tangan pada gressroot permasalahan
sehingga kita semua memiliki bekal dan memahami letak suatu masalah, setelah
semua merasakan dan belajar langsung dari suatu permasalahan kita akan perlahan
mencoba naik ke pengambil kebijakan dengan melakukan audiensi atau diskusi
bersama stakeholder ( pengambil kebijakan ). Semua daerah bergerak sesuai
dengan permasalahan daerah masing masing dan sumber daya relawan yang ada.
Turun Tangan Aceh lahir
pada Senin 23 Desember 2013 di Banda Aceh. Saat itu kita memiliki markas
atau sekretariat di Jalan Elang, kampung Ateuk Pahlawan. Sehingga kita sering
menyebutnya dengan istilah Markas Elang. Seiring berjalannya waktu Turun Tangan
Aceh mengalami kemajuan yang signifikan baik dalam jumlah relawan maupun
kegiatan. Di awal lahirnya gerakan ini bergerak di bidang politik, sosial dan
lingkungan. Mengajak setiap orang baik untuk peduli dan mau masuk ke dalam
dunia politik. Saat itu kita juga kita bersama dengan komunitas lainpeduli
terhadap isu lingkungan dengan melakukan program penanaman bakau dll.Saat ini
kita bergerak di bidang pendidikan dan pengembangan kualitas relawan dengan
melakukan berbagai pelatihan baik itu jurnalistik, corel, menulis, toefl, dll
dan juga turut aktif melunasi janji kemerdekaan mencerdaskan anak bangsa melalui
program “ Turun TanganAceh Mengajar “.Hari ini jumlah
relawan Turun Tangan se Indonesia telah lebih dari 50 ribu relawan yang
tersebar di banyak kota. Jumlah yang tidak ada manipulasi, seluruhnya relawan sendiri
yang berinisiatif mengisi formulir online di web nya Turun Tangan.
Setiap relawan harus
terdaftar di web turuntangan.org untuk dapat mengetahui perkembangan informasi.
Relawan Turun Tangan adalah konseptor sekaligus eksekutor bagi ide – ide positifnya.
Tanpa harus bergantung pada humas atau perusahaan yang memberi bantuan. Turun
Tangan dengan Visi gerakan kerelawanan yang mendorong masyarakat peduli dan
terlibat aktif untuk mewujudkan indonesia yang penuh dengan pemimpin – pemimpin
berintegritas. Misi Turun Tangan adalah membangun wadah gerakan sosial relawan
di setiap kota / kabupaten. Menginkubasi dan menyebarluaskan gerakan yang
berdampak pada penyelesaian permasalahan – permasalahan lokal dan nasional.
Mendorong publik untuk peduli dalam penyelesaian masalah sosial – politik dll.
Menyiapkan pemimpin – pemimpin masa depan yang berintegritas
Nilai Nilai Dasar
Relawan
Berintegritas, berpegang
teguh atas ucapan dan tindakan. Menjunjung tinggi kejujuran dan disiplin dalam
berkerja. Peduli, memiliki rasa empati yang tingi terhadap permasalahan yang
terjadi di lingkungan terdekat dan terluas, Indonesia. Bergerak bersama,
relawan bergerak sebagai satu unit kesatuan, tidak terpecah dan bergerak
sendiri – sendiri. Independen, bergerak tanpa membawa kepentingan pihak – pihak
tertentu. Semuanya murni untuk kepentingan masyarakat dan Indonesia. Komitmen,
menjalankan kesepakatan dengan penuh tanggung jawab. Partisipatif, setiap
relawan memiliki hak dalam berpartisipasi dan berkontribusi dalam setiap
kegiatan yang direncanakan atau dilakukan. Nasionalisme, rasa cinta kepada
nusantara adalah sebuah nilai penting bahwa relawan bergerak bukan untuk
kepentingan pribadi melainkan bangsa dan negara. Kolaboratif, terbuka untuk
membangun silaturahmi, berkumpul, berkordinasi dengan komunitas lain. Bergerak
bersama tanpa ada sekat komunitas dll.
Bersama adik - adik Kampung Jawa |
" Saya punya suatu impian. Saya yakin ini juga menjadi impian kita semua. Suatu saat nanti, setiap anak di Aceh ini akan mendapatkan pendidikan yang bermutu, dimana pun mereka berada dan apapun latar belakang ekonomi, suku dan agamanya ".
Pasca berakhirnya perang dunia ke II, ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjadi pilar pembangunan di banyak negara untuk mempercepat kemajuan. Negara yang menjadikan pendidikan dan teknologi sebagai pondasi utama pembangunan telah terlebih dahulu merasakan manfaat kemajuan di berbagai bidang seperti Jepang, Amerika, Inggris dan masih banyak negara lainnya. Tak terkecuali Indonesia yang sedang berusaha untuk meningkatkan sumber daya manusianya melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di berbagai bidang pembangunan. Pembangunan sumber daya manusia lewat pendidikan tertulis langsung dalam pembukaan Undang – Undang Dasar 1945, salah satu janji kemerdekaan yang harus dilunasi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Aceh sebagai provinsi paling Barat
Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang dan gemilang atas nikmat
kemajuan pendidikan dan teknologi saat itu. Sejarah telah membuktikan bahwa
kejayaan Aceh berabad – abad silam sangat dipengaruhi oleh perhatian yang besar
dari kerajaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Aceh telah mengukir masa
lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan, terutama karena kemampuannya
dalam mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, sistem pemerintahan
yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu
pengetahuan, hingga kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan
negara lain.
Konflik yang berkepanjangan dan
bencana maha dahsyat tsunami mempengaruhi terlambatnya usaha pembangunan dunia
pendidikan di Aceh selama ini. Konflik bersenjata puluhan tahun telah
menjadikan pendidikan Aceh tertinggal dari daerah lain di Indonesia. Sejak
bergulirnya reformasi pada tahun 1998 dan diberikannya otonomi kepada daerah
untuk mengatur dan mengelola rumah tangganya sendiri, tak terkecuali dunia
pendidikan. Namun banyak daerah tidak menjadikan pembangunan sumber daya
manusia dan teknologi menjadi pilar pembangunan.
Dunia pendidikan Aceh memiliki banyak masalah yang sulit untuk diselesaikan, besarnya postur anggaran untuk pendidikan tidak serta merta menyelesaikan masalah, karut marut implementasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah jelas menambah kerumitan untuk mengubah benang kusut pendidikan di Aceh selama ini. Dunia pendidikan sering dijadikan lahan basah untuk menggali pundi pundi rupiah dan mutasi jabatan yang kerap dijadikan alat para penguasa, masa depan anak anak bangsa dipertaruhkan oleh kepentingan para pengambil kebijakan, terlebih karena besar nya anggaran dan melimpahnya proyek di dunia pendidikan. Isu pendidikan dan pengembangan teknologi tidak mendapat perhatian yang luas dan kerap dianggap tidak begitu penting sehingga kerap hilang timbul dalam pembahasan para penguasa dan jarang dibahas di seminar – seminar, terlebih di tahun – tahun politik yang mendekati pemilukada 2017.
Dunia pendidikan Aceh memiliki banyak masalah yang sulit untuk diselesaikan, besarnya postur anggaran untuk pendidikan tidak serta merta menyelesaikan masalah, karut marut implementasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah jelas menambah kerumitan untuk mengubah benang kusut pendidikan di Aceh selama ini. Dunia pendidikan sering dijadikan lahan basah untuk menggali pundi pundi rupiah dan mutasi jabatan yang kerap dijadikan alat para penguasa, masa depan anak anak bangsa dipertaruhkan oleh kepentingan para pengambil kebijakan, terlebih karena besar nya anggaran dan melimpahnya proyek di dunia pendidikan. Isu pendidikan dan pengembangan teknologi tidak mendapat perhatian yang luas dan kerap dianggap tidak begitu penting sehingga kerap hilang timbul dalam pembahasan para penguasa dan jarang dibahas di seminar – seminar, terlebih di tahun – tahun politik yang mendekati pemilukada 2017.
Kepala sekolah, guru dan birokrat di
dinas pendidikan sejatinya harus lebih fokus memikirkan masa depan anak
didiknya daripada risau memikirkan mutasi yang kerap silih berganti. Kondisi
ini dapat dicegah dengan usaha mensterilkan dunia pendidikan dari segala bentuk
kepentingan politik dan ekonomi yang praktis dan tidak berpihak kepada masa depan kemajuan dunia pendidikan.
Saatnya Aceh
Bergerak
Salah satu permasalahan dunia
pendidikan Aceh ialah tidak meratanya distribusi guru terutama di daerah
pedalaman. Insan pendidikan dan para pengambil kebijakan tentu telah memikirkan
program untuk mengisi kekosongan guru di daerah pedalaman, terlebih sejak lahir
dan berhasilnya gerakan Indonesia Mengajar dan program SM3T dari Kementerian
Pendidikan dan Kebudayan. Sebuah program yang mengirimkan sarjana – sarjana
terbaik untuk mengajar di pelosok Indonesia selama setahun. Keberhasilan ini
menggugah banyak daerah memformulasikan konsep ini untuk kepentingan kemajuan
pendidikan. Beberapa daerah dan kampus telah memulai program seperti Lampung
Mengajar, Banten Mengajar, Solo Mengajar, UI Mengajar, Undip Mengajar, dll.
Pendidikan telah menjelma menjadi sebuah gerakan yang tidak hanya dilakukan
pemerintah, melainkan oleh semua elemen seperti mahasiswa, pengusaha, aktivis,
masyakat dan kaum terdidik lainnya.
Turun tangan bersama untuk pendidikan yang lebih baik terlihat jelas ketika program Kelas Inspirasi dilaksanakan di Banda Aceh dan Aceh Besar November 2015 lalu, ratusan relawan dan pegiat pendidikan dari berbagai profesi hadir ambil bagian, mulai dari dokter, pengusaha, politisi, wartawan, fotografer, tentara, polisi, pilot, dll. Menariknya mereka yang ambil bagian tidak hanya berasal dari Aceh melainkan banyak dari luar kota, mereka hadir untuk mengajar sehari dan berbagi inspirasi kepada anak – anak di sekolah.
Turun tangan bersama untuk pendidikan yang lebih baik terlihat jelas ketika program Kelas Inspirasi dilaksanakan di Banda Aceh dan Aceh Besar November 2015 lalu, ratusan relawan dan pegiat pendidikan dari berbagai profesi hadir ambil bagian, mulai dari dokter, pengusaha, politisi, wartawan, fotografer, tentara, polisi, pilot, dll. Menariknya mereka yang ambil bagian tidak hanya berasal dari Aceh melainkan banyak dari luar kota, mereka hadir untuk mengajar sehari dan berbagi inspirasi kepada anak – anak di sekolah.
Beberapa tahun terakhir di pusat ibukota provinsi, perkembangan gerakan
dan komunitas yang bergerak di berbagai bidang semakin aktif, terutama bidang
pendidikan dan sosial yang semakin masif terlebih di kalangan anak muda dan
mahasiswa. Gerakan dan komunitas ini terus bergerak hadir pada setiap masalah,
berbuat menjalankan solusi secara mandiri untuk membantu tugas pemerintah.
Kondisi ini menjadi tanda bahwa gelora semangat turun tangan untuk ambil bagian
melunasi janji kemerdekaan ini telah menyebar ke berbagai lapisan masyarakat.
Mereka yang ambil bagian untuk berkontribusi langsung kepada masyarakat tidak
lagi dianggap sebagai pengorbanan melainkan sebuah kehormatan yang harus
diambil.
Tawaran Model
Program
Perkembangan gerakan dan komunitas
pendidikan di Aceh dapat dijadikan salah satu barometer untuk melihat
kepedulian masyarakat terhadap dunia pendidikan. Kampus kampus di Aceh seperti
Unsyiah, UIN Arraniry, Unimal dll juga memiliki banyak sumber daya manusia yang
telah dan siap ambil bagian dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pemerintah Aceh harus menjadikan momentum ini untuk melahirkan sebuah program “
Gerakan Aceh Mengajar “ dengan berkerjasama langsung dengan Yayasan Indonesia
Mengajar dan kampus- kampus di Aceh. Sebuah usaha untuk
menghidupkan kembali tradisi mengajar yang dilakukan para pendiri bangsa kala
itu. Program yang akan merekrut, melatih,
dan mengirim generasi muda terbaik bangsa ke berbagai daerah di Aceh untuk
mengabdi sebagai Pengajar di Sekolah Dasar (SD) dan masyarakat selama satu
tahun.
Tentu tak banyak yang mau jika harus mengajar selamanya di pedalaman, tanpa jaringan telpon dan akses internet, tetapi lain halnya jika bertugas hanya setahun dengan jaminan penuh dari pemerintah terhadap segala kebutuhan selama pendidikan dan penugasan nantinya. Waktu setahun akan memberikan banyak pengaruh dan pengalaman luar biasa kepada para pengajar dan masyarakat. Program ini tentunya akan selaras dengan tema peringatan hari pendidikan tahun 2015 lalu, yaitu “ Pendidikan sebagai Gerakan Pencerdasan dan Penumbuhan Generasi Berkarakter Pancasila “ . Sebagai gerakan yang memiliki cakupan se provinsi, gerakan ini sebaiknya berada dibawah naungan Pemerintah Provinsi, baik itu dikelola Dinas Pendidikan Aceh atau pun LPSDM, lembaga yang selama ini fokus pada pengembangan sumber daya manusia di Aceh. Namun, pemerintah provinsi tetap menjalin kerja sama dengan pemerintah daerah penempatan dan stakeholder lainnya guna mendukung terlaksananya program ini dengan baik.
Tentu tak banyak yang mau jika harus mengajar selamanya di pedalaman, tanpa jaringan telpon dan akses internet, tetapi lain halnya jika bertugas hanya setahun dengan jaminan penuh dari pemerintah terhadap segala kebutuhan selama pendidikan dan penugasan nantinya. Waktu setahun akan memberikan banyak pengaruh dan pengalaman luar biasa kepada para pengajar dan masyarakat. Program ini tentunya akan selaras dengan tema peringatan hari pendidikan tahun 2015 lalu, yaitu “ Pendidikan sebagai Gerakan Pencerdasan dan Penumbuhan Generasi Berkarakter Pancasila “ . Sebagai gerakan yang memiliki cakupan se provinsi, gerakan ini sebaiknya berada dibawah naungan Pemerintah Provinsi, baik itu dikelola Dinas Pendidikan Aceh atau pun LPSDM, lembaga yang selama ini fokus pada pengembangan sumber daya manusia di Aceh. Namun, pemerintah provinsi tetap menjalin kerja sama dengan pemerintah daerah penempatan dan stakeholder lainnya guna mendukung terlaksananya program ini dengan baik.
Anggaran Pendapat Belanja Aceh yang
begitu besar dan dana abadi pendidikan dapat menjadi sumber pendanaan berbagai
gerakan ini, ditambah lagi hadirnya sponsor dari berbagai perusahaan dan swasta
yang berkontribusi tentu akan memperluas effect dan manfaat program ini. Selama
ini pembangunan sering terfokus pada insfrastruktur dan kerap lupa untuk
membangun pondasi sumber daya manusia yang utuh, terutama daerah yang jauh dan
berada di pelosok. Lewat headline media cetak masyarakat sering disajikan data
tentang besarnya anggaran, pertarungan dan kisruh politik yang tiada akhir
hingga berbagai proyek yang terbengkalai, isu pendidikan seperti berapa banyak
anak-anak di Aceh yang terpaksa putus sekolah, berapa banyak sekolah yang
kekurangan guru atau bagaimana tantangan kepala sekolah memajukan sekolahnya,
kerap tidak menarik untuk diletakkan di halaman depan media cetak.
Gerakan ini sejatinya tidak
membutuhkan dana yang begitu besar, tetapi lebih kepada kesungguhan dan tekad
yang kuat untuk terus bergerak meningkatkan sumber daya manusia dan kepedulian
yang kolektif. Jika Indonesia Mengajar mengirimkan sekitar 50 pengajar muda
setiap angkatan, Pemerintah Aceh nantinya dapat mengirimkan 60 pengajar yang
disebar di daerah terpencil yang selama ini minim perhatian dan publikasi agar
gerakan baru ini dapat dijalankan dengan efektif. Untuk menunjang keberhasilan
program ini, perekrutan yang ketat dan bertahap menjadi kunci agar mendapatkan
pengajar yang memiliki nilai akademik yang baik, pengalaman organisasi yang
mumpuni dan jiwa kepemimpinan, tak mesti sarjana lulusan pendidikan yang dapat
mendaftar, melainkan semua jurusan seperti ekonomi, teknik, fisipol,
kedokteran, pertanian dll. Hal ini dipertegas UNESCO dalam laporan The
International Commission on Education for Twenty-first Century, yang menyatakan
bahwa " memperbaiki mutu pendidikan
pertama-tama tergantung perbaikan perekrutan, pelatihan, status sosial, dan
kondisi kerja para guru; mereka membutuhkan pengetahuan dan keterampilan,
karakter personal, prospek profesional, dan motivasi yang tepat jika ingin
memenuhi harapan stakeholder pendidikan" (Delors, 1996).
Gerakan Aceh Mengajar memang tidak akan
meyelesaikan semua permasalahan pendidikan di Aceh, tapi setidaknya program ini
memiliki misi ganda yaitu mengirimkan generasi terbaik calon pemimpin Aceh
untuk mengisi kekosongan dan kekurangan guru di pedalaman, wahana belajar
kepemimpinan agar menjadi pemimpin masa depan yang berkelas dunia dan memiliki
akar rumput keacehan yang kuat, mensosilisasikan
nilai nilai perdamaian, menjadi duta pemerintah untuk mengirimkan harapan
kepada masyarakat sekaligus mengenalkan daerah pedalaman yang selama ini tidak
banyak di angkat ke publik. Model pembangunan pendidikan telah lama dicontohkan
negara Kuba dalam memberantas tingginya angka buta aksara, dihadapan Majelis
Umum Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB), Fidel Castro menyatakan bahwa 1
Januari 1961 dicanangkan sebagai tahun pendidikan ( The Year of Education ).
Kampanye dan mobilisasi besar – besaran dilakukan disegala penjuru, para
brigaditas ( relawan ) slogan “ the people should teach the people “
dikirim dengan membawa buku dan bendera Kuba dan lampu paraffin ( simbol
kampanye ), sedangkan di kantor dan lahan – lahan perkebunan terpampang besar
slogan “ if you know, teach; if you don’t
know, learn.”. Gerakan revolusi besar besaran memberantas buta huruf ini
juga melanda berbagai organisasi, penyair menulis puisi, penyanyi menulis lagu,
pers memuat berita serta para fotografer mengabadikan berbagai kegiatan. Model
ini tentu ini dapat menjadi dasar untuk melahirkan sebuah gerakan bersama untuk
membangun dunia pendidikan Aceh, apalagi Aceh memiliki lembaga yang selama ini
mengurus peningkatan sumber daya manusia ( LPSDM ), lembaga yang setiap tahun
mengirim anak muda terbaik Aceh untuk belajar di dalam dan luar negeri, melalui
program ini setidaknya pemerintah dapat mengirimkan peraih beasiswa tersebut
untuk menjadi pengajar setahun, baik sebelum atau sesudah menyelesaikan study
beasiswanya.
Kondisi pendidikan di Pulau Aceh
dapat kiranya menjadi bukti betapa pentingnya kepedulian itu. Secara geografis
pulau ini memang dekat dengan ibukota
provinsi, tetapi secara ikatan perasaan jauh dari perhatian dan pembangunan.
Sebuah pulau yang dapat dipandang dari pinggiran pantai Ibukota yang dapat
ditempuh hanya beberapa jam perjalanan menggunakan boat nelayan. Namun suasana
pendidikan di sana berbeda dari daerah lain, minimnya jumlah guru dan sarana
penunjang pendidikan, ditambah lagi banyaknya anak – anak yang takut bermimpi
telah membuat harapan masyarakat semakin tipis akan masa depan anaknya. Tugas
pemimpin dan kaum terdidik ialah menyalakan kembali harapan – harapan yang
mulai redup itu. Pilihan di Sekolah Dasar ini dilandasi bahwa sebahagian
sekolah dasar di pelosok masih banyak kekurangan guru, guru harus berlari
mengejar waktu untuk bergantian mengajar di setiap kelas. Wajah masa depan Aceh
berada di ruang – ruang kelas, namun bukan berarti bahwa hanya tenaga pendidik
dan institusi pendidikan yang memiliki tanggung jawab, namun secara moral ini
adalah tanggung jawab semua komponen bangsa. Kehadiran program ini nantinya
akan memberi warna yang baru terhadap peningkatan dan warna pendidikan dan
menjadi sebuah pengalaman berharga bagi pengajar dan masyarakat setempat,
kenangan yang akan terus dikenang untuk merajut tenun kebangsaan yang lebih
baik. Pengalaman hidup yang akan terus membangun akar rumput keacehan yang
semakin kuat
Setelah program ini berjalan, satu
program lainnya yang mendukung untuk membarengi ialah Festival Aceh Mengajar,
kegiatan yang akan mengumpulkan anak anak terbaik dari desa tempat para
pengajar ditempatkan, sebuah festival yang akan memperlihatkan permasalahan dan
kondisi terkini di pedalaman nantinya berupa foto, tulisan, hasil karya ataupun
cerita dari anak didik para pengajar di penempatan. Ini untuk menggambarkan
bahwa walaupun mereka berada di pelosok, mereka adalah mutiara yang selama ini
terpendam, hanya kesempatan yang baik tidak mereka dapatkan. Di berbagai
seminar dan talk show, ajakan kepada masyarakat luas untuk bergerak bersama
sering didengungkan, tetapi ruang untuk bergerak bersama itu kerap samar bahkan
tidak begitu luas. Melalui program ini nantinya pemerintah mengundang
masyarakat untuk hadir dan melihat langsung berbagai masalah pendidikan yang
ada di pedalaman, berinteraksi dengan anak dan para pengajar nya. Masalah
pendidikan ini terlalu rumit dan kompleks, sehingga seluruh elemen harus ambil
bagian untuk menyelesaikannya, apapun profesi dan latar belakangnnya.
Pendidikan sebagai hulu telah
membawa ribuan bahkan jutaan masyarakat Aceh meraih kesejahteraan. Gubernur,
bupati, pengusaha, pendidik, birokrat, dan para profesional lainnya merupakan
contoh nyata hasil dari sebuah produk pendidikan. Pendidikan haruslah menjadi
tangggung jawab dan ikhtiar kolektif seluruh elemen masyarakat, terutama mereka
yang telah terlebih dahulu merasakan kesejahteraan atas nikmat keterdidikan.
Ikhtiar ini haruslah menjelma menjadi sebuah gerakan dan bukan hanya sebagai
program semata, karena jika program perasaan memilikinya masalahnya ada di
pelaksana, tetapi harus menjadi gerakan
bersama yang melibatkan seluruh elemen masyarakat Aceh: masyarakat peduli dan
merasa memiliki, pemerintah memfasilitasi, dunia ekonomi peduli dan Ormas / LSM
mengorganisasi.
Pulo Aceh
sendiri adalah sebuah nama kecamatan yang secara administratif termasuk wilayah
Kabupaten Aceh Besar. Ia adalah nama kecamatan dari gabungan sebelas pulau yang
terletak di kawasan itu, yaitu Pulo Breuh, Pulo Nasi, Pulo Teunom atau
Keureusek, Pulo Jroeng, Pulo Teungkurak, Pulo Bunta, Pulo Tuan Diapit, Pulo U,
Pulo Sidom, Pulo Geupon, dan Pulo Lhee Blah. Hanya Pulo Breuh dan Pulo Nasi
yang berpenghuni. Selebihnya adalah gugusan pulau sepi tak bertuan. Di Pulo
Breuh ada 12 desa, 8 desa berada di selatan dan 4 desa di utara, sedangkan Pulo
Nasi terdiri dari 5 desa saja.