Bersama adik - adik Kampung Jawa |
" Saya punya suatu impian. Saya yakin ini juga menjadi impian kita semua. Suatu saat nanti, setiap anak di Aceh ini akan mendapatkan pendidikan yang bermutu, dimana pun mereka berada dan apapun latar belakang ekonomi, suku dan agamanya ".
Pasca berakhirnya perang dunia ke II, ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjadi pilar pembangunan di banyak negara untuk mempercepat kemajuan. Negara yang menjadikan pendidikan dan teknologi sebagai pondasi utama pembangunan telah terlebih dahulu merasakan manfaat kemajuan di berbagai bidang seperti Jepang, Amerika, Inggris dan masih banyak negara lainnya. Tak terkecuali Indonesia yang sedang berusaha untuk meningkatkan sumber daya manusianya melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di berbagai bidang pembangunan. Pembangunan sumber daya manusia lewat pendidikan tertulis langsung dalam pembukaan Undang – Undang Dasar 1945, salah satu janji kemerdekaan yang harus dilunasi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Aceh sebagai provinsi paling Barat
Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang dan gemilang atas nikmat
kemajuan pendidikan dan teknologi saat itu. Sejarah telah membuktikan bahwa
kejayaan Aceh berabad – abad silam sangat dipengaruhi oleh perhatian yang besar
dari kerajaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Aceh telah mengukir masa
lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan, terutama karena kemampuannya
dalam mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, sistem pemerintahan
yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu
pengetahuan, hingga kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan
negara lain.
Konflik yang berkepanjangan dan
bencana maha dahsyat tsunami mempengaruhi terlambatnya usaha pembangunan dunia
pendidikan di Aceh selama ini. Konflik bersenjata puluhan tahun telah
menjadikan pendidikan Aceh tertinggal dari daerah lain di Indonesia. Sejak
bergulirnya reformasi pada tahun 1998 dan diberikannya otonomi kepada daerah
untuk mengatur dan mengelola rumah tangganya sendiri, tak terkecuali dunia
pendidikan. Namun banyak daerah tidak menjadikan pembangunan sumber daya
manusia dan teknologi menjadi pilar pembangunan.
Dunia pendidikan Aceh memiliki banyak masalah yang sulit untuk diselesaikan, besarnya postur anggaran untuk pendidikan tidak serta merta menyelesaikan masalah, karut marut implementasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah jelas menambah kerumitan untuk mengubah benang kusut pendidikan di Aceh selama ini. Dunia pendidikan sering dijadikan lahan basah untuk menggali pundi pundi rupiah dan mutasi jabatan yang kerap dijadikan alat para penguasa, masa depan anak anak bangsa dipertaruhkan oleh kepentingan para pengambil kebijakan, terlebih karena besar nya anggaran dan melimpahnya proyek di dunia pendidikan. Isu pendidikan dan pengembangan teknologi tidak mendapat perhatian yang luas dan kerap dianggap tidak begitu penting sehingga kerap hilang timbul dalam pembahasan para penguasa dan jarang dibahas di seminar – seminar, terlebih di tahun – tahun politik yang mendekati pemilukada 2017.
Dunia pendidikan Aceh memiliki banyak masalah yang sulit untuk diselesaikan, besarnya postur anggaran untuk pendidikan tidak serta merta menyelesaikan masalah, karut marut implementasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah jelas menambah kerumitan untuk mengubah benang kusut pendidikan di Aceh selama ini. Dunia pendidikan sering dijadikan lahan basah untuk menggali pundi pundi rupiah dan mutasi jabatan yang kerap dijadikan alat para penguasa, masa depan anak anak bangsa dipertaruhkan oleh kepentingan para pengambil kebijakan, terlebih karena besar nya anggaran dan melimpahnya proyek di dunia pendidikan. Isu pendidikan dan pengembangan teknologi tidak mendapat perhatian yang luas dan kerap dianggap tidak begitu penting sehingga kerap hilang timbul dalam pembahasan para penguasa dan jarang dibahas di seminar – seminar, terlebih di tahun – tahun politik yang mendekati pemilukada 2017.
Kepala sekolah, guru dan birokrat di
dinas pendidikan sejatinya harus lebih fokus memikirkan masa depan anak
didiknya daripada risau memikirkan mutasi yang kerap silih berganti. Kondisi
ini dapat dicegah dengan usaha mensterilkan dunia pendidikan dari segala bentuk
kepentingan politik dan ekonomi yang praktis dan tidak berpihak kepada masa depan kemajuan dunia pendidikan.
Saatnya Aceh
Bergerak
Salah satu permasalahan dunia
pendidikan Aceh ialah tidak meratanya distribusi guru terutama di daerah
pedalaman. Insan pendidikan dan para pengambil kebijakan tentu telah memikirkan
program untuk mengisi kekosongan guru di daerah pedalaman, terlebih sejak lahir
dan berhasilnya gerakan Indonesia Mengajar dan program SM3T dari Kementerian
Pendidikan dan Kebudayan. Sebuah program yang mengirimkan sarjana – sarjana
terbaik untuk mengajar di pelosok Indonesia selama setahun. Keberhasilan ini
menggugah banyak daerah memformulasikan konsep ini untuk kepentingan kemajuan
pendidikan. Beberapa daerah dan kampus telah memulai program seperti Lampung
Mengajar, Banten Mengajar, Solo Mengajar, UI Mengajar, Undip Mengajar, dll.
Pendidikan telah menjelma menjadi sebuah gerakan yang tidak hanya dilakukan
pemerintah, melainkan oleh semua elemen seperti mahasiswa, pengusaha, aktivis,
masyakat dan kaum terdidik lainnya.
Turun tangan bersama untuk pendidikan yang lebih baik terlihat jelas ketika program Kelas Inspirasi dilaksanakan di Banda Aceh dan Aceh Besar November 2015 lalu, ratusan relawan dan pegiat pendidikan dari berbagai profesi hadir ambil bagian, mulai dari dokter, pengusaha, politisi, wartawan, fotografer, tentara, polisi, pilot, dll. Menariknya mereka yang ambil bagian tidak hanya berasal dari Aceh melainkan banyak dari luar kota, mereka hadir untuk mengajar sehari dan berbagi inspirasi kepada anak – anak di sekolah.
Turun tangan bersama untuk pendidikan yang lebih baik terlihat jelas ketika program Kelas Inspirasi dilaksanakan di Banda Aceh dan Aceh Besar November 2015 lalu, ratusan relawan dan pegiat pendidikan dari berbagai profesi hadir ambil bagian, mulai dari dokter, pengusaha, politisi, wartawan, fotografer, tentara, polisi, pilot, dll. Menariknya mereka yang ambil bagian tidak hanya berasal dari Aceh melainkan banyak dari luar kota, mereka hadir untuk mengajar sehari dan berbagi inspirasi kepada anak – anak di sekolah.
Beberapa tahun terakhir di pusat ibukota provinsi, perkembangan gerakan
dan komunitas yang bergerak di berbagai bidang semakin aktif, terutama bidang
pendidikan dan sosial yang semakin masif terlebih di kalangan anak muda dan
mahasiswa. Gerakan dan komunitas ini terus bergerak hadir pada setiap masalah,
berbuat menjalankan solusi secara mandiri untuk membantu tugas pemerintah.
Kondisi ini menjadi tanda bahwa gelora semangat turun tangan untuk ambil bagian
melunasi janji kemerdekaan ini telah menyebar ke berbagai lapisan masyarakat.
Mereka yang ambil bagian untuk berkontribusi langsung kepada masyarakat tidak
lagi dianggap sebagai pengorbanan melainkan sebuah kehormatan yang harus
diambil.
Tawaran Model
Program
Perkembangan gerakan dan komunitas
pendidikan di Aceh dapat dijadikan salah satu barometer untuk melihat
kepedulian masyarakat terhadap dunia pendidikan. Kampus kampus di Aceh seperti
Unsyiah, UIN Arraniry, Unimal dll juga memiliki banyak sumber daya manusia yang
telah dan siap ambil bagian dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pemerintah Aceh harus menjadikan momentum ini untuk melahirkan sebuah program “
Gerakan Aceh Mengajar “ dengan berkerjasama langsung dengan Yayasan Indonesia
Mengajar dan kampus- kampus di Aceh. Sebuah usaha untuk
menghidupkan kembali tradisi mengajar yang dilakukan para pendiri bangsa kala
itu. Program yang akan merekrut, melatih,
dan mengirim generasi muda terbaik bangsa ke berbagai daerah di Aceh untuk
mengabdi sebagai Pengajar di Sekolah Dasar (SD) dan masyarakat selama satu
tahun.
Tentu tak banyak yang mau jika harus mengajar selamanya di pedalaman, tanpa jaringan telpon dan akses internet, tetapi lain halnya jika bertugas hanya setahun dengan jaminan penuh dari pemerintah terhadap segala kebutuhan selama pendidikan dan penugasan nantinya. Waktu setahun akan memberikan banyak pengaruh dan pengalaman luar biasa kepada para pengajar dan masyarakat. Program ini tentunya akan selaras dengan tema peringatan hari pendidikan tahun 2015 lalu, yaitu “ Pendidikan sebagai Gerakan Pencerdasan dan Penumbuhan Generasi Berkarakter Pancasila “ . Sebagai gerakan yang memiliki cakupan se provinsi, gerakan ini sebaiknya berada dibawah naungan Pemerintah Provinsi, baik itu dikelola Dinas Pendidikan Aceh atau pun LPSDM, lembaga yang selama ini fokus pada pengembangan sumber daya manusia di Aceh. Namun, pemerintah provinsi tetap menjalin kerja sama dengan pemerintah daerah penempatan dan stakeholder lainnya guna mendukung terlaksananya program ini dengan baik.
Tentu tak banyak yang mau jika harus mengajar selamanya di pedalaman, tanpa jaringan telpon dan akses internet, tetapi lain halnya jika bertugas hanya setahun dengan jaminan penuh dari pemerintah terhadap segala kebutuhan selama pendidikan dan penugasan nantinya. Waktu setahun akan memberikan banyak pengaruh dan pengalaman luar biasa kepada para pengajar dan masyarakat. Program ini tentunya akan selaras dengan tema peringatan hari pendidikan tahun 2015 lalu, yaitu “ Pendidikan sebagai Gerakan Pencerdasan dan Penumbuhan Generasi Berkarakter Pancasila “ . Sebagai gerakan yang memiliki cakupan se provinsi, gerakan ini sebaiknya berada dibawah naungan Pemerintah Provinsi, baik itu dikelola Dinas Pendidikan Aceh atau pun LPSDM, lembaga yang selama ini fokus pada pengembangan sumber daya manusia di Aceh. Namun, pemerintah provinsi tetap menjalin kerja sama dengan pemerintah daerah penempatan dan stakeholder lainnya guna mendukung terlaksananya program ini dengan baik.
Anggaran Pendapat Belanja Aceh yang
begitu besar dan dana abadi pendidikan dapat menjadi sumber pendanaan berbagai
gerakan ini, ditambah lagi hadirnya sponsor dari berbagai perusahaan dan swasta
yang berkontribusi tentu akan memperluas effect dan manfaat program ini. Selama
ini pembangunan sering terfokus pada insfrastruktur dan kerap lupa untuk
membangun pondasi sumber daya manusia yang utuh, terutama daerah yang jauh dan
berada di pelosok. Lewat headline media cetak masyarakat sering disajikan data
tentang besarnya anggaran, pertarungan dan kisruh politik yang tiada akhir
hingga berbagai proyek yang terbengkalai, isu pendidikan seperti berapa banyak
anak-anak di Aceh yang terpaksa putus sekolah, berapa banyak sekolah yang
kekurangan guru atau bagaimana tantangan kepala sekolah memajukan sekolahnya,
kerap tidak menarik untuk diletakkan di halaman depan media cetak.
Gerakan ini sejatinya tidak
membutuhkan dana yang begitu besar, tetapi lebih kepada kesungguhan dan tekad
yang kuat untuk terus bergerak meningkatkan sumber daya manusia dan kepedulian
yang kolektif. Jika Indonesia Mengajar mengirimkan sekitar 50 pengajar muda
setiap angkatan, Pemerintah Aceh nantinya dapat mengirimkan 60 pengajar yang
disebar di daerah terpencil yang selama ini minim perhatian dan publikasi agar
gerakan baru ini dapat dijalankan dengan efektif. Untuk menunjang keberhasilan
program ini, perekrutan yang ketat dan bertahap menjadi kunci agar mendapatkan
pengajar yang memiliki nilai akademik yang baik, pengalaman organisasi yang
mumpuni dan jiwa kepemimpinan, tak mesti sarjana lulusan pendidikan yang dapat
mendaftar, melainkan semua jurusan seperti ekonomi, teknik, fisipol,
kedokteran, pertanian dll. Hal ini dipertegas UNESCO dalam laporan The
International Commission on Education for Twenty-first Century, yang menyatakan
bahwa " memperbaiki mutu pendidikan
pertama-tama tergantung perbaikan perekrutan, pelatihan, status sosial, dan
kondisi kerja para guru; mereka membutuhkan pengetahuan dan keterampilan,
karakter personal, prospek profesional, dan motivasi yang tepat jika ingin
memenuhi harapan stakeholder pendidikan" (Delors, 1996).
Gerakan Aceh Mengajar memang tidak akan
meyelesaikan semua permasalahan pendidikan di Aceh, tapi setidaknya program ini
memiliki misi ganda yaitu mengirimkan generasi terbaik calon pemimpin Aceh
untuk mengisi kekosongan dan kekurangan guru di pedalaman, wahana belajar
kepemimpinan agar menjadi pemimpin masa depan yang berkelas dunia dan memiliki
akar rumput keacehan yang kuat, mensosilisasikan
nilai nilai perdamaian, menjadi duta pemerintah untuk mengirimkan harapan
kepada masyarakat sekaligus mengenalkan daerah pedalaman yang selama ini tidak
banyak di angkat ke publik. Model pembangunan pendidikan telah lama dicontohkan
negara Kuba dalam memberantas tingginya angka buta aksara, dihadapan Majelis
Umum Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB), Fidel Castro menyatakan bahwa 1
Januari 1961 dicanangkan sebagai tahun pendidikan ( The Year of Education ).
Kampanye dan mobilisasi besar – besaran dilakukan disegala penjuru, para
brigaditas ( relawan ) slogan “ the people should teach the people “
dikirim dengan membawa buku dan bendera Kuba dan lampu paraffin ( simbol
kampanye ), sedangkan di kantor dan lahan – lahan perkebunan terpampang besar
slogan “ if you know, teach; if you don’t
know, learn.”. Gerakan revolusi besar besaran memberantas buta huruf ini
juga melanda berbagai organisasi, penyair menulis puisi, penyanyi menulis lagu,
pers memuat berita serta para fotografer mengabadikan berbagai kegiatan. Model
ini tentu ini dapat menjadi dasar untuk melahirkan sebuah gerakan bersama untuk
membangun dunia pendidikan Aceh, apalagi Aceh memiliki lembaga yang selama ini
mengurus peningkatan sumber daya manusia ( LPSDM ), lembaga yang setiap tahun
mengirim anak muda terbaik Aceh untuk belajar di dalam dan luar negeri, melalui
program ini setidaknya pemerintah dapat mengirimkan peraih beasiswa tersebut
untuk menjadi pengajar setahun, baik sebelum atau sesudah menyelesaikan study
beasiswanya.
Kondisi pendidikan di Pulau Aceh
dapat kiranya menjadi bukti betapa pentingnya kepedulian itu. Secara geografis
pulau ini memang dekat dengan ibukota
provinsi, tetapi secara ikatan perasaan jauh dari perhatian dan pembangunan.
Sebuah pulau yang dapat dipandang dari pinggiran pantai Ibukota yang dapat
ditempuh hanya beberapa jam perjalanan menggunakan boat nelayan. Namun suasana
pendidikan di sana berbeda dari daerah lain, minimnya jumlah guru dan sarana
penunjang pendidikan, ditambah lagi banyaknya anak – anak yang takut bermimpi
telah membuat harapan masyarakat semakin tipis akan masa depan anaknya. Tugas
pemimpin dan kaum terdidik ialah menyalakan kembali harapan – harapan yang
mulai redup itu. Pilihan di Sekolah Dasar ini dilandasi bahwa sebahagian
sekolah dasar di pelosok masih banyak kekurangan guru, guru harus berlari
mengejar waktu untuk bergantian mengajar di setiap kelas. Wajah masa depan Aceh
berada di ruang – ruang kelas, namun bukan berarti bahwa hanya tenaga pendidik
dan institusi pendidikan yang memiliki tanggung jawab, namun secara moral ini
adalah tanggung jawab semua komponen bangsa. Kehadiran program ini nantinya
akan memberi warna yang baru terhadap peningkatan dan warna pendidikan dan
menjadi sebuah pengalaman berharga bagi pengajar dan masyarakat setempat,
kenangan yang akan terus dikenang untuk merajut tenun kebangsaan yang lebih
baik. Pengalaman hidup yang akan terus membangun akar rumput keacehan yang
semakin kuat
Setelah program ini berjalan, satu
program lainnya yang mendukung untuk membarengi ialah Festival Aceh Mengajar,
kegiatan yang akan mengumpulkan anak anak terbaik dari desa tempat para
pengajar ditempatkan, sebuah festival yang akan memperlihatkan permasalahan dan
kondisi terkini di pedalaman nantinya berupa foto, tulisan, hasil karya ataupun
cerita dari anak didik para pengajar di penempatan. Ini untuk menggambarkan
bahwa walaupun mereka berada di pelosok, mereka adalah mutiara yang selama ini
terpendam, hanya kesempatan yang baik tidak mereka dapatkan. Di berbagai
seminar dan talk show, ajakan kepada masyarakat luas untuk bergerak bersama
sering didengungkan, tetapi ruang untuk bergerak bersama itu kerap samar bahkan
tidak begitu luas. Melalui program ini nantinya pemerintah mengundang
masyarakat untuk hadir dan melihat langsung berbagai masalah pendidikan yang
ada di pedalaman, berinteraksi dengan anak dan para pengajar nya. Masalah
pendidikan ini terlalu rumit dan kompleks, sehingga seluruh elemen harus ambil
bagian untuk menyelesaikannya, apapun profesi dan latar belakangnnya.
Pendidikan sebagai hulu telah
membawa ribuan bahkan jutaan masyarakat Aceh meraih kesejahteraan. Gubernur,
bupati, pengusaha, pendidik, birokrat, dan para profesional lainnya merupakan
contoh nyata hasil dari sebuah produk pendidikan. Pendidikan haruslah menjadi
tangggung jawab dan ikhtiar kolektif seluruh elemen masyarakat, terutama mereka
yang telah terlebih dahulu merasakan kesejahteraan atas nikmat keterdidikan.
Ikhtiar ini haruslah menjelma menjadi sebuah gerakan dan bukan hanya sebagai
program semata, karena jika program perasaan memilikinya masalahnya ada di
pelaksana, tetapi harus menjadi gerakan
bersama yang melibatkan seluruh elemen masyarakat Aceh: masyarakat peduli dan
merasa memiliki, pemerintah memfasilitasi, dunia ekonomi peduli dan Ormas / LSM
mengorganisasi.
0 komentar