Bersama Pengajar Muda angkatan XV dan XVII |
Ketika aku bermimpi sendiri, itu
hanyalah sebuah mimpi. Ketika kita bermimpi bersama, itu adalah awal sebuah
kenyataan. Ketika kita berkerja bersama, mengikuti mimpi kita, itu adalah
penciptaan surga di dunia. – Anonim
Senyumnya masih sama, seperti
yang kusaksikan di penghujung November setahun lalu. Senyum penuh harapan dan
optimisme, namun terlihat rasa lelah yang mendalam, mereka baru saja melakukan
perjalanan dari Jakarta – Medan dan diteruskan langsung ke Aceh Singkil. Masih
teringat jelas sekali, dibawah sinaran purnama yang menerangi, kami menanti
kedatangan 8 ( delapan ) pengajar yang akan mengabdi selama setahun
menghabiskan waktu di daerah ini. Berkumpul bersama masyarakat yang heterogen,
menyelamani akar rumput kebudayaan, menyatu dalam nafas urat nadi kehidupan,
semua suka duka selama disini pasti membekas dalam hati dan pikiran mereka, benar
kata inisiator gerakan ini, setahun
mengajar seumur hidup menginspirasi.
Dalam tulisan ini, izinkan saya
menyebut delapan pengajar muda ini sebagai pelita pendidikan, pelita itu adalah
Pari, Bimbim, Adit, James, Nia, Yulia, Angga dan Batari. Saya yakin sebelum
menjadi pengajar muda, mereka belum pernah mendengar kata Aceh Singkil. Wajar
saja sih, karena daerah ini sangat jarang terdengar di kalangan mahasiswa di
ibukota.
Setelah setahun mengenal dan menjalani hari bersama mereka, rasanya rugi banget kalau kisah ini tidak dituliskan dalam blog ini.
Tiga tahun lalu, tepatnya
November 2015 lalu, saya memiliki impian untuk dapat menjadi seorang pengajar
muda, entah kenapa saya begitu pengen jadi PM “ Pengajar Muda “ kala itu,
sebenarnya perkenalan saya dengan gerakan ini dimulai saat saya mengenal Anies
Baswedan dan Turun Tangan lebih dekat, saya banyak membaca tentang kisah –
kisah inspiratif dari mereka. Anak muda dari berbagai kampus dan latar
belakang, dengan segudang prestasi dan pengalaman, mereka memilih mengambil
kehormatan menjadi pengajar muda selama setahun di daerah yang mungkin tak
pernah terbayangkan sebelumnya. Saya pun merasa ini bukanlah sebuah
pengorbanan, melainkan suatu kehormatan yang harus saya dapatkan.
Baca Juga, Seumur Hidup Menjadi Relawan
Baca Juga, Seumur Hidup Menjadi Relawan
Setelah menjalani semua tahapan,
hingga sampailah saya pada tahapan Direct Assesment PM XII di Yogyakarta, saya
memilih Yogya karena ada cerita yang terpotong disana. Kadang saya merasa heran
dengan diri sendiri waktu itu, yang terbayang cuma rompi pengajar muda dan
kondisi di pelosok daerah gitu, pokoknya cuma pengen jadi PM, sampai – sampai tidak
terpikir untuk beasiswa lanjut kuliah atau mengambil tawaran kerja waktu itu.
Saya berharap sekali bisa setahun
mengabdi dan belajar tentang Indonesia di penjuru republik bersama kemajemukan
masyarakat. Saya berdoa agar
Allah beri kesempatan saya melihat Indonesia secara langsung. Ternyata Allah
punya rencana lain, saya tidak lulus di DA. Jujur saya merasa sedih banget,
padahal sudah sangat berharap sekali. Sampai merasa terpukul banget gitu, saya
lupa menuliskan plan B jika gagal lulus nantinya.
Dalam kesedihan yang mendalam, saya berdoa kepada Allah SWT.
Allah SWT cepat banget menjawab doa ini, Allah memberi saya tanggung jawab lain. Ia kirimkan kampung halaman ku 40 pengajar muda selama lima tahun kedepan, berlipat - lipat mimpi saya Ia wujudkan, saya tak menyangka doa ini terjawab terlalu cepat. Saat kuliah, rumah saya itu seperti tempat persinggahan PM penempatan Aceh Utara, sekalipun saya tak pernah memakai rompi mereka, karena saya yakin suatu saat nanti menjadi bagian dari Pengajar Muda dan saya memakai rompi yang sama.
Suatu hari nanti, keluarga terdekat atau keturunan kita akan melihat foto - foto ini dan bertanya, siapa semua mereka ini ?
" Andai saya belum mendapat kesempatan untuk menjadi seorang
pengajar muda, izinkan saya dan berikanlah saya kesempatan di hari depan untuk
mencoba kembali mendaftar, atau jika pun aku belum bisa menjadi bagian dari
gerakan ini, datangkanlah Indonesia Mengajar untuk menjadi bagian dari kampung
halaman ku ", saya meminta kepada Allah untuk hal ini, karena saya yakin
kehadiran mereka nantinya memberikan makna dan kebermanfaatan yang mendalam
untuk kemajuan pendidikan, saya ingin mimpi ini dapat terwujud, walaupun bukan
lewat diriku. Setelah melewati fase sedih, saya selalu baperan kalau lihat
postingan teman seangkatan waktu mengikuti DA, pasti pengen banget nyusul.
Allah SWT cepat banget menjawab doa ini, Allah memberi saya tanggung jawab lain. Ia kirimkan kampung halaman ku 40 pengajar muda selama lima tahun kedepan, berlipat - lipat mimpi saya Ia wujudkan, saya tak menyangka doa ini terjawab terlalu cepat. Saat kuliah, rumah saya itu seperti tempat persinggahan PM penempatan Aceh Utara, sekalipun saya tak pernah memakai rompi mereka, karena saya yakin suatu saat nanti menjadi bagian dari Pengajar Muda dan saya memakai rompi yang sama.
Suatu hari nanti, keluarga terdekat atau keturunan kita akan melihat foto - foto ini dan bertanya, siapa semua mereka ini ?
Saya akan tersenyum berbinar haru, karena hati ini ingin mengucapkan sepenggal kata sayu penuh cerita nantinya, lalu aku berkata bahwa mereka adalah sahabat, keluarga dan pelita. Pernah suatu masa, sebahagian waktu - waktu kita lewati bersama. Aku bersyukur bisa mengenal, bersahabat dan menjalani hari - hari bersama untuk sebuah ikhtiar kita pada bangsa ini, membangun mimpi untuk tanah air yang lebih maju dan cerdas. Andai saja aku punya kuasa untuk menahan mereka agar tidak meninggalkan daerah ini, maka akan aku lakukan itu. Tapi, saya juga sadar bahwa mereka semua punya mimpi besar untuk diri sendiri, keluarga dan bangsa ini. Jauh disana, ayah ibu serta sanak keluarga mereka telah menanti kepulangan mereka, menanti cerita dan melihat senyum manis anaknya. Oh Tuhan, terlalu cepat rasanya satu tahun itu.
Sebetulnya ada banyak sekali kejadian dalam hidup yang membuat aku begitu mencintai dunia pendidikan. Bahkan saya punya impian menjalani hidup nantinya dengan wanita yang nyaman dan mencintai dunia pendidikan.
Ada satu kisah yang begitu menyentuh perasaan ku saat berkunjung ke Pulau Aceh November 2014 lalu, kebetulan saya sedang duduk santai di pinggir pantai bersama adik - adik pulau terbarat negeri ini, sesekali hempasan ombak memecah suasana hening kala itu. Saya berdiskusi panjang dan bercerita tentang Indonesia dan juga arti sebuah impian kepada mereka. Saya mengerti bahwa mereka tak punya gambaran yang luas tentang masa depan, terlebih lagi cerita tentang Indonesia, mereka tidak banyak yang mengetahui. Bahkan mereka masih mengira kalau Aceh dan Indonesia itu berbeda. Diakhir diskusi aku beranikan diri bertanya kepada seorang anak yang sejak awal lebih banyak diam.
" Dik, jika nanti kamu sudah besar, kamu ingin bercinta - cinta menjadi apa dik ? " , Tanyaku padanya. Lama ia berdiam diri dan tidak memberikan ekspresi apapun. Aku pun mencoba mengajaknya untuk menjawab rasa penasaranku, lama aku menunggu jawaban darinya.
" Bolehkah saya ingin menjadi seorang dokter bang ? " Jawabnya tiba - tiba. Sontak aku merasa terkejut dan merasa bersalah memberikan pertanyaan itu. Sebegitu takutnya kah mereka untuk bermimpi. Dalam hati aku berkata, " ini mimpi mu dik, kamu berhak atas semua mimpimu tanpa perlu meminta izin kepada siapapun ". Betapa berdosanya saya, ketika keterdidikan ini hanya untuk diriku semata. Kisah ini menjadi salah satu alasan kenapa saya begitu mencintai dunia pendidikan.
Lantas apa hubungannya dengan kalian, pelita pendidikan ?
Kehadiran teman - teman semuanya di kampung ini, semakin membuat rasa cinta saya pada republik dan pendidikan terus tumbuh, Kalian membuat rasa cinta ku kian mekar dalam urat nadi kehidupan masyarakat, kalian mencintai desa dan daerah ini dengan segenap hati dan penuh ketulusan. Di perjalanan singkat ini, cinta itu tumbuh bersemi, membuat jarak rasa kemanusiaan itu semakin melekat, mendekatkan letak geografis walaupun senyatanya itu sangat jauh.
Sebetulnya ada banyak sekali kejadian dalam hidup yang membuat aku begitu mencintai dunia pendidikan. Bahkan saya punya impian menjalani hidup nantinya dengan wanita yang nyaman dan mencintai dunia pendidikan.
Ada satu kisah yang begitu menyentuh perasaan ku saat berkunjung ke Pulau Aceh November 2014 lalu, kebetulan saya sedang duduk santai di pinggir pantai bersama adik - adik pulau terbarat negeri ini, sesekali hempasan ombak memecah suasana hening kala itu. Saya berdiskusi panjang dan bercerita tentang Indonesia dan juga arti sebuah impian kepada mereka. Saya mengerti bahwa mereka tak punya gambaran yang luas tentang masa depan, terlebih lagi cerita tentang Indonesia, mereka tidak banyak yang mengetahui. Bahkan mereka masih mengira kalau Aceh dan Indonesia itu berbeda. Diakhir diskusi aku beranikan diri bertanya kepada seorang anak yang sejak awal lebih banyak diam.
" Dik, jika nanti kamu sudah besar, kamu ingin bercinta - cinta menjadi apa dik ? " , Tanyaku padanya. Lama ia berdiam diri dan tidak memberikan ekspresi apapun. Aku pun mencoba mengajaknya untuk menjawab rasa penasaranku, lama aku menunggu jawaban darinya.
" Bolehkah saya ingin menjadi seorang dokter bang ? " Jawabnya tiba - tiba. Sontak aku merasa terkejut dan merasa bersalah memberikan pertanyaan itu. Sebegitu takutnya kah mereka untuk bermimpi. Dalam hati aku berkata, " ini mimpi mu dik, kamu berhak atas semua mimpimu tanpa perlu meminta izin kepada siapapun ". Betapa berdosanya saya, ketika keterdidikan ini hanya untuk diriku semata. Kisah ini menjadi salah satu alasan kenapa saya begitu mencintai dunia pendidikan.
Lantas apa hubungannya dengan kalian, pelita pendidikan ?
Kehadiran teman - teman semuanya di kampung ini, semakin membuat rasa cinta saya pada republik dan pendidikan terus tumbuh, Kalian membuat rasa cinta ku kian mekar dalam urat nadi kehidupan masyarakat, kalian mencintai desa dan daerah ini dengan segenap hati dan penuh ketulusan. Di perjalanan singkat ini, cinta itu tumbuh bersemi, membuat jarak rasa kemanusiaan itu semakin melekat, mendekatkan letak geografis walaupun senyatanya itu sangat jauh.
Jujur saya melihat waktu begitu berjalan cepat, belum banyak saya mencuri ilmu dan pengalaman kalian, waktu seminggu ini kian terasa berat. Kini, setelah menjalani 12 purnama suka duka di Aceh Singkil. Sebuah perjalanan panjang yang mengantarkan setiap orang untuk datang dan pergi. Kalian akan kembali ke kampung halaman, membawa cerita dan ilmu serta pengalaman yang tak terkira. Tapi meninggalkan rindu dan kesedihan yang mendalam kepada masyarakat disini, saya juga menjadi bagian yang rindu dan merasakan kesedihan itu. Maafkan saya yang belum maksimal membantu teman - teman selama di penempatan.
Saya mencoba mengingat kembali awal semua perjalanan ini.
Saya mencoba mengingat kembali awal semua perjalanan ini.
Terima kasih semuanya, kalian keren dan luar biasa. Saya pasti merindukan kalian dan saya yakin sekali ada ribuan masyarakat dan anak - anak yang merindukan kehadiran kalian disini. Saya merasa kehilangan sepotong hati saya, semangat dan tawa canda yang selama ini saya temui, biasanya jika saya jenuh di kantor, saat bertemu dengan teman - teman pasti kembali ceria.
Saya Berdoa semoga kalian semua sehat selalu dan dapat kembali ke tanah ini suatu saat nanti, dengan senyum baru dan membawa buah hati kalian, agar jalinan tenun kebangsaan ini tidak hanya antara saya, warga dan para pengajar muda, melainkan anak - anak kita nantinya.
Saya Berdoa semoga kalian semua sehat selalu dan dapat kembali ke tanah ini suatu saat nanti, dengan senyum baru dan membawa buah hati kalian, agar jalinan tenun kebangsaan ini tidak hanya antara saya, warga dan para pengajar muda, melainkan anak - anak kita nantinya.
Selamat kembali, teruslah mencintai negeri ini dengan segala suka dan duka.
0 komentar