Mak Maukah Mereka Datang ke Aceh
By Si Anak Rimo - September 17, 2013
"Mak, kenapa mereka mau berjihad ke
Afganistan?" tanya Salahuddin pada mamaknya ketika melihat acara televisi
yang menggambarkan demonstrasi penuh takbir. Seperti biasa, malam itu belasan
warga kampung menumpang nonton televisi di rumah Salahuddin, di sebuah desa di
pelosok Aceh. Mamaknya, beberapa janda lainnya, para pemuda dan anak-anak
menyaksikan berita demonstrasi di depan kedutaan Amerika dengan hikmat dan
takjub. Keheningan mereka itu lalu terpotong dengan jawaban Mamaknya.
"Din, umat islam itu bersaudara. Kalau ada satu yang
didzalimi maka saudara-saudaranya akan datang menolong," jawab Mamaknya.
Lalu, anak umur 10 tahun itu bertanya lagi, "Mak, waktu ayah dan paman
diseret dari rumah, terus ditembaki dan waktu santri di pesantren kampong
sebelah di tembaki, apakah mereka juga demonstrasi seperti itu?"
" Iya Din, mereka juga demonstrasi dan siap
mengirimkan mujahid ke kampong kita di sini. Mereka itu selalu membela
saudaranya yang didzalimi. Cuma kita saja kebetulan tidak mendengarkan tv jadi
tidak tahu berita", jawab Mamaknya.
"Tapi Mak, maukah mereka sekarang pergi dan membela
kampung kita?", cecar Salahudin. "Ya, tentu saja, merekapun
memikirkan kita. Mereka memirkan dan memperjuangkan nasib orang Islam
sedunia", tegas Mamaknya.
Mamaknya sadar bahwa jawaban itu bertentangan dengan hati
nuraninya, tapi dia tidak ingin membesarkan anaknya dengan rasa sakit hati dan
potret diskriminatif pembelaan umat Islam di Indonesia. Mamaknya sadar benar,
ketika suami dan adiknya dijemput lalu dipulangkan tanpa nyawa, tidak ada demonstrasi,
tidak ada fatwa Jihad, tidak ada perhatian. Dan, ketika ribuan muslim di Aceh
lainnya harus mati, Jakarta sepi-sepi saja. Malam itu, menyaksikan televisi
memberitakan demonstrasi menentang serangan AS ke Afganistan, rasa sakit dan
pilu itu muncul kembali. Mamak, Salahuddin, para janda dan warga kampung yang
melantai di depan televisi itu tidak perlu penjelasan reporter tentang sakitnya
penderitaan akibat operasi militer yang brutal. Mereka adalah korban dan saksi
hidup kebrutalan itu.
Mamak bisa membayangkan betapa pedihnya perang di
Afganistan. Dia masih ingat ketika tetangganya, berlarian mencari pinjaman
sepeda motor untuk membawa anaknya ke Puskesmas karena ada peluru nyasar yang
menembus perutnya. Malam itu anak berumur 6 tahun tadi meninggal, dan mamak
menemani tetangganya semalaman tepekur di samping jenazah untuk terakhir
kalinya.
Dua bulan kemudian, suami dan adiknya bersimbah darah dan
meninggal. Separuh lebih wanita di kampung miskin itu adalah janda, ditinggal
mati suami, para syuhada tanah Aceh. Sekarang, Mamak ini membayangkan situasi
ganas macam itu sedang terjadi di desa-desa di Afganistan.
Mamak itupun teringat, tahun lalu ketika dia ke Jakarta
diantar oleh sebuah LSM pembela hak asasi manusia untuk jadi narasumber tentang
pembantaian suaminya. Saat dia naik kereta Jabotabek melewati stasiun Gambir,
dari jendela kereta dia melihat ribuan manusia berbaju putih menyemut di dekat
kedutaan Amerika. Mereka memprotes penembakan tentara Israel terhadap beberapa
pemuda palestina. Ya, ribuan jumlahnya, mereka berdemonstrasi membela pemuda
Palestina yang dilarang masuk ke kompleks Baitul Maqdis.
Dari atas kereta, mamak juga melihat pasukan berseragam
berjaga-jaga di sekitar lokasi demonstrasi. Melihat itu mamak jadi teringat
dengan penjagaan ketat sekeliling kampungnya. Penjagaan yang membuat mereka
bingung harus pergi kemana untuk mencari kain kaffan bagi jenazah suami dan
adiknya. Kejadian memilukan itu jadi terasa baru kemarin. Di bawah terik panas
matahari Jakarta, luka hati itu menganga lagi. Tetesan air mata mamakpun lalu
menggumpal jadi satu dengan keringat.
Sekarang, malam ini, mamak menyaksikan laporan televisi
tentang Afganistan. Mamak sadar benar bahwa Afganistan perlu perlindungan. Dia
cuma tersentak mendengar pertanyaan anaknya tadi. Sekarang dia mulai heran
mengapa "saudara-saudaranya" dari luar Aceh itu siap berjihad justru
ketika rakyat Afganistan dianiaya. Padahal, tangis istri dan para anak
menyaksikan suami dan ayah yang tak lagi bernyawa itu sama-sama menyayat.
Aceh dan Afganistan penuh penduduk muslim, penuh surau
tempat anak-anak belajar tajwid, dan penuh mujahid tangguh. Lalu dalam hatinya
bertanya, "Mengapa kedzaliman terhadap kami yang di depan mata ini
didiamkan, sementara kedzaliman yang nun-jauh disana malah membuat saudaraku di
Indonesia jadi menggebu-gebu?"
Sesudah mendengarkan wawancara dengan salah satu
demonstran di Jakarta, Salahuddin mengutip kata-kata guru ngajinya, "Mak,
kata Tengku, lebih banyak orang Islam yang ditindas penguasa Islam daripada
yang ditindas penguasa kafir?"
”Oh ya. Memangnya Tengku bilang apa, Din?," jawab
Mamaknya.
"Katanya, umat Islam yang ditindas penguasa Islam
itu lebih banyak, tapi tidak pernah dibela. Umat Islam itu cuma senang
ribut-ribut kalau kalau musuhnya kafir, tapi kalau musuhnya ketidakadilan dan
kesewenang-wenangan penguasa Islam, maka mereka diam. Mungkin karena tidak
kelihatan gagah ya Mak ya?", kata Salahudin.
Mamaknya mengangguk, seakan setuju.
"Mak, kata Tengku juga, pengalaman kita di Aceh ini
sama dengan di Bosnia, Chechnya, Kashmir, Kurdi, Palestina, Philippina,
Xinjiang dan di banyak negara Arab sana, tapi cuma Palestina saja yang
dibicarakan terus. Jadi Mak, nanti kalau sudah besar Udin mau jihad,
membebaskan Aceh dari ketidakadilan seperti Salahuddin Al-Ayyubi membebaskan
Palestina," lanjut Salahuddin.
"Din, Jihad yang paling utama dan besar itu adalah
melawan hawa nafsu, jadi kalau mau membebaskan macam-macam, sekarang bebaskan
dulu dirimu dari hawa nafsu. Berjihad itu harus karena Allah bukan karena balas
dendam dan jangan juga karena ingin terkenal, itu namanya riya'," jawab
mamaknya. Salahuddinpun terdiam. Sesudah pembicaraan itu, hati mamaknya makin
bergolak, juga para tetangganya. Belasan pasang mata di depan televisi itu
memandang heran dan mulutnya terdiam seakan mempertanyakan keadilan perhatian
umat Islam, media massa, dan pemerintah di Indonesia. Mengapa mereka peduli
dengan Afganistan, dengan Palestina, tapi seakan melupakan Aceh?
Penduduk miskin di pelosok Aceh ini sudah kenyang
dianiaya moril-material, disingkirkan, dan dilupakan. Lalu sekarang, di depan
televisi, mereka harus jadi saksi atas saudara-saudara seiman, sebangsa, dan
setanah air yang merapatkan shafnya, mengepalkan tangannya, dan menggemuruhkan
kalimat takbir serta memekikkan seruan, "Bebaskan Afganistan!". Sambil
menelan ludah dan dengan getir, nurani mereka bertanya, " inikah potret
solidaritas umat Islam Indonesia?"
Essai ini dimuat oleh Harian Jawa Pos, 6 November 2001,
dengan perubahan kata-kata judul oleh Redaksi.
0 komentar