Semua Karena Buku

By Si Anak Rimo - August 29, 2013


Kegiatan membaca akan mengasyikkan bila kita telah menjadikan membaca sebuah kebutuhan. Masuk ke dalam alam bawah sadar kita bahwa membaca itu penting sehingga tak akan pernah kita meninggalkan membaca setiap harinya. Ada sebahagian besar orang menganggap membaca buku sebagai suatu kebutuhan dan ada pula yang menganggap membaca buku sebagai sesuatu yang membosankan. Sebuah kisah singkat perjalanan cinta ku terhadap seorang sahabat yang selalu hadir saat aku membutuhkannya dan ia adalah BUKU. 

Ketika aku masih duduk di sekolah dasar, aku termasuk anak yang bandel yang menghabiskan waktu kecil menelusuri belantara luasnya perkebunan sawit dan melintasi sungai – sungai yang menjadi rumah kedua ku ketika itu, bahkan aku pernah di kurung di lemari oleh pak Kepala Sekolah da di ikat oleh ibu ku karena selalu melalak entah kemana. Aku sangat ingat sekali pada tahun 1998 saat ayah ku masih menjadi kepala sekolah di SD Sanggaberu, aku sering di bawa kesana setiap ada kegiatan di sekolah yang siswa dan masyarakatnya terkenal luar biasa ramah dan lembut. Ada satu kebiasaan yang ku lakukan ketika ayah ku sedang berkumpul dengan masyarakat di ruang kelas, aku masuk ke kantor dan membuka semua lemari melihat buku – buku bacaan untuk ku bawa pulang. Hampir setiap aku ke sana aku selalu membawa beberapa buku bacaan.

“ Si Pencuri Buku “ mungkin ini julukan yang tepat untuk ku ketika itu. Tak ada yang menginspirasi ku secara langsung sehingga bisa menyukai buku bahkan bisa dikatakan aku telah tergila – gila dengan buku. Ayah ku bukanlah orang yang gila baca tetapi ada satu kebiasaan yang menjadi salah satu penyebab aku bisa menyukai buku. Biasanya dalam seminggu sekali Ia selalu membawa beberapa pulang ke rumah beberapa buku bacaan seperti buku biografi Soeharto ataupun kisah pejuang di masa kemerdekaan. Ratusan buku menumpuk di kamar ku saat itu bahkan aku tak puas dengan buku yang ku miliki sehingga aku harus meminjam buku tetangga ku yang juga anak kepala sekolah.

Tahun 2003 saat aku di tunjuk mewakili sekolah ku untuk cerdas cermat pelajaran IPS dan PPKN aku semakin rajin belajar dan membaca. Bisa dipastikan tak pernah sehari pun aku absen membaca karena memang tuntutan saat itu sangat besar sekali. Guru privat ku memberi satu intruksi untuk menghafal seluruh isi buku pintar yang tebalnya kira kira 400 lembar dengan isi mulai dari nama nama ibukota negara, butir – butir pancasila bahkan nama presiden negara di dunia, walaupun aku tak menghafal semuanya tapi aku dapat memahami isi buku tersebut.

Tahun 2003, ayah ku berpindah tugas dari SD 2 Sanggaberu ke SD Tulaan, tempat aku dan sahabat ku menuntut ilmu. Kebiasaan lama kembali ku lakukan yaitu mengambil buku di lemari sekolah. Waktu itu kami di wajibkan memiliki buku cetak dan saat itu ada banyak sekali teman teman ku yang tidak punya, tanpa banyak pikir aku mengambil beberapa buku cetak lalu ku ku pinjamkan kepada teman ku dengan syarat harus dikembalikan saat mau selesai nanti. Allah memberi keluarga kami rezeki yang besar saat itu sehingga ayahku beberapa kali keluar daerah untuk menjalankan tugas, walaupun kami jarang berbicara tapi Ia sangat mengerti isi hati anaknya ini. Berbagai buku selalu ia bawa sebagai oleh oleh buat ku dan ada satu buku yang merubah pola pikir ku saat itu. Darah dan Jiwa Aceh, buku ini menjadi jawaban atas pertanyaan ku melihat kondisi saat itu yang masih konflik. Kondisi rumah kami saat itu tidak lah seperti sekarang, aku harus meletakkan buku ke dapur karena penuhnya isi rumah dan terkadang buku yang berkotak – kotak harus diletakkan di gudang di belakang rumah sehingga banyak yang basah terkena tetasan air hujan dari seng yang bocor.

Aku bukanlah anak yang pintar, walaupun saat itu aku menjadi bintang kelas. Anak bandel lebih tepat untuk dilekatkan kepada ku. Aku sering berkelahi, berpetualangan jauh kedalam hutan hanya untuk mencari burung ataupun memancing, boros, mandi sungai, dll. Aku juga kadang heran kenapa bisa menjadi bintang kelas padahal aku anak yang bandel, mungkin karena aku sering mengaji dan membaca buku. Tok itu saja yang ku lakukan bahkan pekerjaan rumah terlalu sering ku kerjakan di sekolah.


Kota Dolar adalah sebutan yang diberikan oleh inang – inang Sidikalang yang berjualan di kota ku. Julukan itu ku rasa sangat tepat karena tingginya perputaran uang yang ada di sini yang sebahagian besar berasal dari perkebunan kelapa sawit. Tetapi sangat jarang toko buku sehingga aku kesulitan untuk membeli buku bacaan, selama SMP aku lebih sering berlangganan majalah dan sesekali membeli buku juga.

Kebiasaan membaca terus bertumbuh ketika aku harus merantau ke kabupaten sebelah Aceh Selatan. Disana ada banyak toko buku sehingga aku tak kesulitan untuk menularkan hobi ku ini, waktu itu walaupun kiriman perbulan ku tidak begitu banyak aku dapat membeli buku juga berkat menyisihkan uang jajan sekolah. Disinilah aku fokus membaca dikarenakan alam yang indah dan suasana rumah ku saat itu tidak seperti di rimo yang penuh dengan suara sepeda motor. Aku dapat betah di rumah tanpa keluar rumah asalkan ada sesuatu yang dapat ku baca. Buku benar – benar telah menjadi inspirasi dan penolong ketika aku berada dalam kondisi sulit.

Tentu kebiasaan membaca buku ini bukan tanpa resiko dan pengorbanan. Aku harus merogoh kocek dalam dompet ku setiap bulan untuk buku yang ku beli. Tentu aku harus mengurangi jalan – jalan dan membeli sesuatu yang tidak begitu penting bagi ku. Tetapi semahal apapun buku yang kita beli tak ada ruginya karena buku yang kita beli akan menjelma menjadi ide – ide dan semangat baru yang akan membawa kita meraih mimpi. Aku merasa membaca ini adalah penyakit yang membuat kita semakin sehat dan semangat sehingga aku harus menularkannya kepada teman – teman terdekat ku. Beberapa buku ku bawa ke sekolah dan ku pinjamkan buku bacaan itu kepada teman ku atau aku mengajak mereka ke toko buku untuk mengawani ku membeli buku. Lambat laun mereka yang dulu tidak begitu suka membaca kini begitu semangat membaca. Melihat kondisi kampung halaman ku yang minat bacanya sangat rendah membuat aku merasa tidak berguna jika hanya aku dan orang terdekat ku yang suka membaca.

Berhubung saat itu aku tergabung dalam alumni SMP angkatan 2004 yang hampir semua alumninya super. Alumni yang suka berbagi dan penuh dengan ide brilian, aku menyampaikan ide untuk menyumbangkan buku satu alumni satu buku dan ternyata program kami berhasil besar. Ada ratusan buku bacaan dan pelajaran yang bisa kami berikan kepada generasi muda. Sungguh indah ketika menjalani hidup bersama alumni super.

Tak peduli mau lima atau sepuluh tahun lagi aku percaya kota kelahiran yang ku cintai ini akan menjelma menjadi kota inspirasi yang akan melahirkan generasi terbaik karena hobi mereka yang gemar membaca dan akan merubah kabupaten ini menjadi daerah yang dapat dibanggakan di luar sana.

Jepang maju bukan karena daerah mereka kaya akan sumber daya alam, bukan karena mereka terlahir sebagai manusia cerdas tetapi mereka memulai semua itu dari pendidikan dan kini mereka menjadi jawara teknologi dunia. Begitu juga kota rimo daerah yang kaya akan sumber daya alam akan berubah seperti Jepang kecil ketika generasi mudanya menjadikan buku dan pendidikan menjadi sahabat. Semoga saja Amin.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar