Ditulis Oleh
Sidik Nugroho Pendidik
Sidik Nugroho Pendidik
Dalam bukunya yang fenomenal
berjudul Pendidikan Kaum Tertindas, Paulo Freire menyebutkan perihal
'pendidikan gaya bank' yang menjadi kekhawatirannya. Guru bertugas 'mengisi'
para murid dengan bahan-bahan ajar yang ada. Pendidikan menjadi kegiatan 'menabung';
para murid ialah celengannya dan guru merupakan penabungnya. Murid-murid pun
mencatat, menerima, dan duduk diam.
Sebagai pendidik dan pemerhati
pendidikan yang berpengalaman bekerja bertahun-tahun di masyarakat yang miskin
dan tidak berpendidikan, Paulo Freire tahu benar apa yang perlu diubah dalam
masyarakat. Sebagai lawan dari model pendidikan semacam itu, pendidikan
menurutnya harus diubah menjadi 'hadap masalah', yang melaluinya para murid
diajak untuk mengenal berbagai persoalan di masyarakat. Model mengajar yang bertitik
tumpu pada kekuasaan guru tidak sesuai dengan semangat zaman ketika Paulo
Freire hidup. Perlu lahir perubahan mendasar sekaligus revolusioner dalam
pendidikan untuk mengubah kehidupan bermasyarakat. Zaman pun terus berubah.
Globalisasi yang terus bergulir di setiap aspek kehidupan mestinya melahirkan
model mengajar yang dinamis.
Kurikulum dan kompetensi
Belakangan, kita mungkin
dikejutkan dengan pernyataan Presiden Jokowi kepada Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim bahwa kurikulum perlu dirombak
besar-besaran. Cecep Darmawan mempertanyakan tentang 'merombak besar-besaran'
itu, "... mengubah sebagian atau beberapa aspek dari kurikulum? Ataukah
membuat kurikulum baru pada semua jenjang pendidikan, mulai pendidikan anak
usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, sampai pada pendidikan
tinggi?" (Media Indonesia, 4/11). Sebagian kalangan menilai bahwa
penunjukan Nadiem sebagai menteri akan membuat nuansa pendidikan terlalu
berorientasi pada teknologi. Karena itu, dikhawatirkan dapat memudarkan nilai
dan kearifan sosial budaya, yang umumnya mengusung sejarah dan tradisi sebagai
muatan penting. Terlebih bila mengingat sosoknya yang selama ini jauh dari
dunia pendidikan.
Namun, sebagian kalangan
beranggapan bahwa Nadiem merupakan sosok yang tepat bagi dunia pendidikan di
Tanah Air. Wacana digitalisasi pendidikan yang makin marak bergulir belakangan
perlu direalisasikan oleh tangan dingin yang memiliki kecakapan dan pengalaman
mumpuni di bidang teknologi. Di tengah berbagai pro-kontra
seputar pengangkatan Nadiem, satu hal yang perlu digarisbawahi ialah bahwa
pemerintah--dalam hal ini Presiden--menunjukkan bahwa kompetensi itu penting.
Itu tampaknya sesuai dengan fokus Presiden Jokowi untuk meningkatkan sumber
daya manusia (SDM).
Era Nadiem tampaknya akan
menjadi era ketika kompetensi menjadi penentu banyak hal, terutama penciptaan
lapangan pekerjaan dan kesempatan bekerja. Kompetensi--yaitu keahlian,
kecakapan, dan kepakaran--mendapatkan perhatian pemerintah. Karena sebelum ini,
bahkan hingga saat ini kita menyaksikan beberapa kalangan masih terlalu
menghargai ijazah dan gelar walaupun keduanya tak dapat serta-merta menjadi
tolok ukur kompetensi.
Jadi, bila peningkatan
kompetensi menjadi fokus dalam pendidikan, apakah perlu merombak kurikulum
secara besar-besaran? Apakah bangsa ini sedang membutuhkan revolusi pendidikan
seperti yang digagas dan dilakukan Paulo Freire, tentunya dalam penekanan aspek
yang lain? Tampaknya tidak. Pendidik di Tanah Air sudah bosan dengan 'ganti
menteri ganti kebijakan'. Toh, perubahan kebijakan tak menghasilkan perubahan
signifikan.
Untuk mengukur perubahan
signifikan itu, apa yang menjadi fokus pendidikan di masa sebelum ini atau yang
masih berlangsung yang menjadi patokannya. Kita tentu masih ingat bahwa
beberapa tahun silam hingga kini, pendidikan karakter menjadi fokus dan
perhatian pemerintah. Hasilnya? Guru-guru malah kerepotan dengan banyaknya
administrasi penilaian yang dilakukan. Aspek sikap--karena berhubungan dengan
karakter--yang sebelumnya tidak ada di beberapa mata pelajaran, diada-adakan
dalam penilaian agar sesuai dengan fokus pendidikan, yaitu karakter.
Di sisi lain, hampir tiap
minggu kita membaca berita muram di dunia pendidikan; guru mencabuli muridnya,
orangtua murid menusuk guru, guru dihajar hingga tewas setelah mencoret pipi
muridnya dengan cat lukis, dan sebagainya. Dengan demikian, berhasilkah
pendidikan karakter itu? Tampaknya masih jauh. Alih-alih berdampak langsung
kepada masyarakat atau peserta didik, perubahan kurikulum malah terkesan
memuluskan proyek-proyek pendidikan yang membutuhkan pembiayaan dari negara.
Pahlawan yang mengajar
Lagu yang sekarang kita kenal
sebagai Himne Guru memiliki judul awal Pahlawan tanpa Tanda Jasa. Lirik
"tanpa tanda jasa" yang turut menjadi bagian judul lagu, diganti
menjadi 'pembangun insan cendekia'. Saya bertemu Pak Sartono, pencipta lagu
itu, di Madiun, kota asalnya, pada 2012. Beliau bercerita, kata 'tanpa tanda
jasa' diganti pemerintah untuk menghilangkan kesan bahwa guru merupakan sosok
yang kurang dihargai. Penggantian tiga kata lirik
lagu itu melahirkan pro dan kontra. Namun, terlepas dari pro dan kontra, guru
dapat membuat tanda jasa untuk dirinya sendiri, menjadi pahlawan pendidikan.
Pahlawan pada masa lalu, juga di Pertempuran 10 November, banyak yang gugur.
Guru tidak gugur di medan perang. Sebagai pahlawan guru hidup, mengajar, dan
berkarya untuk para muridnya.
Pertanyaannya, apakah yang
dilakukan pemerintah untuk menghargai pahlawan-pahlawan pendidikan ini--yang
masih hidup, mengajar, dan berkarya? Peningkatan kompetensi mengajar dan
mendidik seperti apa yang akan diupayakan pemerintah agar para guru mampu
menghasilkan lulusan seperti yang dibutuhkan zaman sekarang? Apakah perubahan
haluan pendidikan harus (selalu) dilakukan dengan menggelontorkan dana yang
besar dengan cara merombak kurikulum?
Revolusi pendidikan berupa
perombakan kurikulum belum tentu menghasilkan perubahan yang diharapkan,
seperti yang sudah-sudah. Yang berubah sering kulit luarnya saja; tidak
esensial, tidak signifikan, bahkan tidak sesuai dalam tujuan yang diharapkan
dari perubahan itu sendiri. Yang mestinya diubah ialah budaya mengajar, bukan
bahan ajar dalam kurikulum yang sejauh ini masih relevan diimplementasikan.
Budaya mengajar mencakup cara,
teknik, metode, dan pendekatan guru dalam mengajar. Bila kompetensi dan SDM
menjadi kata kunci pemerintah untuk mengukur kemajuan bangsa, budaya mengajar
guru perlu disinkronkan ke arah itu dengan memberinya berbagai pembekalan dan
pelatihan serta menyadarkannya akan perubahan yang terbentang di depan mata.
Melatih guru agar bermental
seperti pahlawan sekaligus dihargai sebagai pahlawan ialah penting. Mentalitas
kepahlawanan dapat dibangun ketika guru menyadari bahwa zaman selalu berubah.
Bangsa kita lahir karena ada perjuangan pahlawan pada masa lalu; generasi yang
siap bersaing secara global pada masa depan lahir dari jasa pahlawan pendidikan
masa kini.
0 komentar