Mahasiswa dan Buku: Merajut Kembali Tali Kasih

By Si Anak Rimo - May 10, 2013

Hendra Santoso

Sebagai kaum intelektual, mahasiwa dibebankan untuk menjadi mahluk yang ’serba tahu’. Keserba-tahuan ini mahasiswa akan dapatkan di kampusnya baik itu di dalam ataupun diluar kelas. Dikelas, mahasiswa belajar tidak menghabiskankan waktu yang lama. Sekitar dua-tiga jam sehari, dan itu pun dengan sistem pendidikan yang bertahun-tahun secara substansi tidak pernah berubah, cendrung membuat proses belajar (mengajar?) monoton. Satu arah, handout oriented, kaku, dan mahasiswa selalu menjadi korban kekerasan simbolik yang dimiliki oleh sang pengajar (dosen).

Bila kondisi dalam kelas cendrung demikian, lantas apa yang akan diperoleh mahasiswa ? Sebatas bahan ajaran dikelaskah ? Lalu pertanyaannya : akankah cukup ? Tentunya tidak. Dunia kampus memang tak seperti halnya sekolah, mahasiswa sejatinya harus bisa menjadi pusat dalam proses belajar. Mahasiswa harus mampu berinovasi dan selalu mencari tahu tentang apa yang berhubungan dengan dunia intelektualitasnya. Proses pencarian tahu inilah yang membuat tidak cukup bila belajar hanya ada didalam kelas.

Disetiap kampus selalu berdiri perpustakaan-perpustakaan yang menghadirkan literasi multi-presfektif dan multi-science. Diperpustakaan pastinya selalu hadir ratusan bahkan ribuan buku yang sudah bersusah payah melakukan rayuan-rayuan kepada mahasiswa untuk segera menjamah  dan bercinta dengannya. Namun sayang, tidak semua mahasiswa mau menjamah buku untuk penyegaran rohani intelektualnya. Adapun hal yang sangat memaksa mahasiswa untuk membaca buku tiada lain bila ada tugas-tugas yang dibuat oleh dosennya. Untuk kasus ujian, mahasiswa cukup membaca bahan ajar satu malam sebelum waktu ujian. Tragis !.

Bila kondisi terus demikian maka analogi dari saya adalah seperti ini ; buatlah sebuah lingkaran besar yang mana isinya adalah total seluruh  kajian/materi dari sebuah ilmu (di kampus lebih sering dikenal dengan sebutan matakuliah). Kemudian didalam lingkaran tersebut buatlah lingkaran yang lebih kecil lagi yang mana isinya adalah materi/kajian yang hanya dikuasai dikuasai oleh dosen. Ingat dosen adalah manusia biasa, pasti akan memiliki keterbatasan-keterbatasan dalam penguasaan materi suatu ilmu, begitu juga dalam penyampaian (sharing knowladge) akan dibatasi pula oleh waktu yang sedikit. Maka buatlah lingkaran yang lebih kecil lagi didalam lingkaran materi/kajian yang dikuasai oleh dosen yaitu lingkaran yang berisi materi-materi yang hanya mampu tersampaikan didalam ruang kelas. Dari analogi tersebut cukup bisa menggambarkan bahwa ternyata apa yang di(ter-)sampaikan oleh dosen kepada mahasiswa adalah tidak seberapa dibanding dengan total keseluruhan materi dari suatu ilmu. Dan sialnya reduksi materi/kajian tersebut tidak sampai disini. Akan ada satu lingkaran yang lebih kecil lagi yang harus dibuat didalam lingkaran berisi materi yang tersampaikan oleh dosen tersebut, yakni lingkaran yang berisi materi yang hanya langsung bisa diserap oleh si mahasiswa. Ternyata yang mahasiswa dapatkan masih sangat (sekali lagi sangat) kecil bukan ?

Books Lover

Mahasiswa dan buku bak menjadi pasangan yang tidak pernah akur atau mungkin lebih tepatnya justru pasangan yang belum pernah bertemu. Ada fenomena-fenomena yang melatar belakangi mengapa ini terjadi. Paradigma bahwa buku ini begini-begitu, tidak sexy untuk dijamah, kesan kalau orang yang suka baca buku hanya orang pintar saja dan alasan irasional lainnya itu perlu dikesampingkan.  Atau penyakit yang sudah mulai mewabah dikalangan mahasiswa semacam perilaku hedonis telah menjadi penghambat dalam meningkatkan gairah membaca (buku). 

Meminjam konsep Soren Kierkegaard, seorang eksistensialis asal Denmark tentang dialektika eksistensialis-nya yang menyatakan pada tahap pertama dalam perkembangan religiusitas manusia adalah tahap estetis yaitu ketika manusia bereksistensi berdasarkan prinsip kesenangan indrawi. Pola hidup mahasiswa yang hedonis inilah bentuk pengejaran eksistensi estetik. Itulah keterombang-ambingan individu oleh dorongan indrawi dan emosi. Kesenangan akan terus mereka kejar dan jadi tujuan utama untuk menggapai hasratnya. Mahasiswa cenderung membiarkan diri dikuasai naluri sensual dan mood. Mahasiswa malah lebih senang mengalokasikan budget dan waktu senggangnya untuk shoping, fashion, jalan-jalan, nongkrong daripada untuk membeli atau membaca buku. Kemudian, dampaknya bisa muncul keyakinan tentang kebaikan adalah jika mampu memberikan kepuasan pada diri sendiri. Tanpa sadar mereka tak pernah mencapai kesatuan batiniah dan tidak berkepribadian matang.

Slogan klasikl ‘buku adalah jendela dunia’ tentu bukanlah suatu yang mengada-ada. Lebih sering membaca, lebih terbuka pula cakrawala pengetahuan yang dimiliki. Mahasiswa tidak akan lagi berpikiran sempit bila memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas. Dengan sering membaca buku pula akan membangun fondasi melalui penataan bata-bata ilmu dan pengetahuan sehingga meningkatkan kualitas  landasan berpikir dan bertindak mahasiswa, atau lebih hebatnya bahkan bisa mempengaruhi cara pandang mahasiswa tentang dunia. Bukankah itu menarik ?.

Mari mulai meningkatkan gairah kembali minat membaca dan menjadi seorang pecinta buku, karena akan banyak hal ‘baru’ yang ditemukan lebih dari yang didapatkan didalam kelas. Mulai saat ini sisishkan budget uang pulsamu untuk membeli buku dan alokasikan waktu kosongmu untuk menjamah buku-buku. The last words, ada sebuah ungkapan klasik bahwa ‘manusia itu apa yang ia baca’. Dengan kata lain jika mahasiswa tidak membaca apa-apa berarti dia memanglah bukan apa-apa.

Mahasiswa dan buku, bersatulah !

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar