Dalam
perjalanan kehidupan, pasti pernah mengalami pertentangan. Atau, sebuah
persimpangan jalan. Baik antara kita dengan ayah,ibu, pasangan hidup, anak,
tetangga ataupun sahabat dan orang lain yang berinteraksi dengan kita. Ketika menjumpai persimpangan itulah, kedewasaan dan kebijakan kita dipertaruhkan.
Jika benar memilih, insya Allah baik kesudahannya. Jika salah jalan, bisa jadi
itu adalah awal kehancuran. Di dunia, terlebih lagi di akhirat.
Sebut saja ketika kita hendak memasuki perguruan tinggi. Dalam fase ini, tak jarang ada perdebatan yang sengit antara ingin kita dan kemauan orang tua. Jika hal ini tidak didiskusikan dengan kepala dingin, bisa jadi akan buruk kesudahannya.
Dalam memilih jodohpun, hal ini kerapkali terjadi.
Sebut saja Bejo. Atas kerja keras ibunya, ia berhasil diwisuda sebagai dokter. Selepas itu, dia berkenalan dengan seorang wanita. Keduanyapun bersepakat untuk mengikat cinta dalam bingkai kehalalan. Menikah.
Keduanya larut dalam kebahagiaan lantaran dipertemukan dengan belahan hatinya. Namun, sayangnya, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Khususnya bagi Bejo. Calon istri yang selama ini dia impikan itu, memberikan syarat yang berat. Sebelum mengucap kata sepakat untuk melangsungkan akad, wanita yang kelak menjadi bidadarinya ini berujar, "Ada syaratnya, tolong jangan ajak Ibumu untuk hadir dalam pesta pernikahan kita."
Seperti mendapat simalakama, Bejo belum bisa memutuskan. Hingga akhirnya, ia teringat akan sosok dosen yang selama ini telah menjadi Guru Spiritualnya.
Sebelum memberi jawaban, didatangilah Sang Dosen. Diceritakanlah apa yang tengah dia alami, hingga akhirnya sang Dosen bertanya, "Apa yang membuat calon istrimu itu keberatan jika Ibumu hadir dalam pesta pernikahan kalian?"
Bejo pun berkisah, sambil menerawang, "Selama ini, hingga saya lulus sebagai Dokter, yang membiayai hidup dan pendidikanku adalah Ibu. Karena ayah sudah lama tiada. Ibu bekerja sebagai tukang cuci baju keliling. Mungkin, calon istriku malu jika di pesta pernikahan nanti, semua kolega ayahnya mendapati malu lantaran besannya adalah Ibuku yang hanya tukang cuci baju keliling."
Seraya memahami, sang Dosen berpesan, "Silahkan pulang ke rumah. Cuci tangan Ibumu. Esok harinya, datanglah lagi ke mari."
Tanpa tapi, Bejo langsung mematuhi apa yang disarankan oleh Dosennya itu. Sesampainya di rumah, Bejo langsung mencari Ibunya, dan kemudian meminta ijin untuk mencuci tangan wanita yang selama ini telah menghidupi dirinya itu. Dalam prosesi pencucian tangan itu, Bejo dibuat terkejut lantaran tangan ibunya yang rusak. Iritasi akut bersebab sering terkena sabun ketika mencuci. Ketika itu pula, sang Ibu menahan perih. Tak terasa, Bejo pun menangis. Betapa selama ini,dirinya hidup di atas perih yang dialami Ibunya, selama bertahun-tahun.
Setelah selesai, Bejo langsung memahami apa yang dimaksudkan oleh Dosennya. Ia langsung menghubungi Dosennya itu, "Pak, saya sudah memahami apa yang bapak maksudkan. Saya tak perlu lagi menunggu sampai esok hari. Saya tidak mungkin meninggalkan Ibu ketika pesta pernikahan kami nanti, karena beliau telah mewakafkan seluruh hidupnya untukku, hingga aku menjadi seperti sekarang ini."
Begitulah, persimpangan-persimpangan dalam kehidupan kita, kerap kali dihadirkan sebagai pelengkap, agar hidup lebih dinamis.
Yang perlu diperhatikan, dalam hal ini, adalah jebakan kegegabahan. Jika salah, fatal akibatnya. Sehingga,berpikir bijak dengan meminta pertimbangan yang sudah berpengalaman, adalah keniscayaan. Dalam hal ini, selalu terhubung dengan Allah sebagai sumber solusi, adalah kemestian. Pun, dengan mencontoh apa yang sudah dipraktekan oleh Para Nabi, Sahabat-sahabat Nabi, dan orang-orang yang telah berhasil melalui ujian hidup dengan gemilang, sesuai dengan apa yang Allah inginkan.
Calon istri anda, bisa jadi tak hanya satu. Tapi Ibu Kandung anda, sampai kapanpun, tidak mungkin lebih dari satu. Ia adalah Ibu, yang sudah berbahagia ketika anda menghuni rahimnya. Padahal, tak ada jaminan dari siapapun, sedikitpun, bahwa kelak, anda, anak-anaknya, akan menjadi permata hati yang membuat ia berbahagia.
Bu, maafkan jika bakti kami selama ini, ala kadarnya. []
Sebut saja ketika kita hendak memasuki perguruan tinggi. Dalam fase ini, tak jarang ada perdebatan yang sengit antara ingin kita dan kemauan orang tua. Jika hal ini tidak didiskusikan dengan kepala dingin, bisa jadi akan buruk kesudahannya.
Dalam memilih jodohpun, hal ini kerapkali terjadi.
Sebut saja Bejo. Atas kerja keras ibunya, ia berhasil diwisuda sebagai dokter. Selepas itu, dia berkenalan dengan seorang wanita. Keduanyapun bersepakat untuk mengikat cinta dalam bingkai kehalalan. Menikah.
Keduanya larut dalam kebahagiaan lantaran dipertemukan dengan belahan hatinya. Namun, sayangnya, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Khususnya bagi Bejo. Calon istri yang selama ini dia impikan itu, memberikan syarat yang berat. Sebelum mengucap kata sepakat untuk melangsungkan akad, wanita yang kelak menjadi bidadarinya ini berujar, "Ada syaratnya, tolong jangan ajak Ibumu untuk hadir dalam pesta pernikahan kita."
Seperti mendapat simalakama, Bejo belum bisa memutuskan. Hingga akhirnya, ia teringat akan sosok dosen yang selama ini telah menjadi Guru Spiritualnya.
Sebelum memberi jawaban, didatangilah Sang Dosen. Diceritakanlah apa yang tengah dia alami, hingga akhirnya sang Dosen bertanya, "Apa yang membuat calon istrimu itu keberatan jika Ibumu hadir dalam pesta pernikahan kalian?"
Bejo pun berkisah, sambil menerawang, "Selama ini, hingga saya lulus sebagai Dokter, yang membiayai hidup dan pendidikanku adalah Ibu. Karena ayah sudah lama tiada. Ibu bekerja sebagai tukang cuci baju keliling. Mungkin, calon istriku malu jika di pesta pernikahan nanti, semua kolega ayahnya mendapati malu lantaran besannya adalah Ibuku yang hanya tukang cuci baju keliling."
Seraya memahami, sang Dosen berpesan, "Silahkan pulang ke rumah. Cuci tangan Ibumu. Esok harinya, datanglah lagi ke mari."
Tanpa tapi, Bejo langsung mematuhi apa yang disarankan oleh Dosennya itu. Sesampainya di rumah, Bejo langsung mencari Ibunya, dan kemudian meminta ijin untuk mencuci tangan wanita yang selama ini telah menghidupi dirinya itu. Dalam prosesi pencucian tangan itu, Bejo dibuat terkejut lantaran tangan ibunya yang rusak. Iritasi akut bersebab sering terkena sabun ketika mencuci. Ketika itu pula, sang Ibu menahan perih. Tak terasa, Bejo pun menangis. Betapa selama ini,dirinya hidup di atas perih yang dialami Ibunya, selama bertahun-tahun.
Setelah selesai, Bejo langsung memahami apa yang dimaksudkan oleh Dosennya. Ia langsung menghubungi Dosennya itu, "Pak, saya sudah memahami apa yang bapak maksudkan. Saya tak perlu lagi menunggu sampai esok hari. Saya tidak mungkin meninggalkan Ibu ketika pesta pernikahan kami nanti, karena beliau telah mewakafkan seluruh hidupnya untukku, hingga aku menjadi seperti sekarang ini."
Begitulah, persimpangan-persimpangan dalam kehidupan kita, kerap kali dihadirkan sebagai pelengkap, agar hidup lebih dinamis.
Yang perlu diperhatikan, dalam hal ini, adalah jebakan kegegabahan. Jika salah, fatal akibatnya. Sehingga,berpikir bijak dengan meminta pertimbangan yang sudah berpengalaman, adalah keniscayaan. Dalam hal ini, selalu terhubung dengan Allah sebagai sumber solusi, adalah kemestian. Pun, dengan mencontoh apa yang sudah dipraktekan oleh Para Nabi, Sahabat-sahabat Nabi, dan orang-orang yang telah berhasil melalui ujian hidup dengan gemilang, sesuai dengan apa yang Allah inginkan.
Calon istri anda, bisa jadi tak hanya satu. Tapi Ibu Kandung anda, sampai kapanpun, tidak mungkin lebih dari satu. Ia adalah Ibu, yang sudah berbahagia ketika anda menghuni rahimnya. Padahal, tak ada jaminan dari siapapun, sedikitpun, bahwa kelak, anda, anak-anaknya, akan menjadi permata hati yang membuat ia berbahagia.
Bu, maafkan jika bakti kami selama ini, ala kadarnya. []