Hendra Santoso
Sebagai kaum intelektual, mahasiwa dibebankan untuk
menjadi mahluk yang ’serba tahu’. Keserba-tahuan ini mahasiswa akan dapatkan di
kampusnya baik itu di dalam ataupun diluar kelas. Dikelas, mahasiswa belajar
tidak menghabiskankan waktu yang lama. Sekitar dua-tiga jam sehari, dan itu pun
dengan sistem pendidikan yang bertahun-tahun secara substansi tidak pernah
berubah, cendrung membuat proses belajar (mengajar?) monoton. Satu arah,
handout oriented, kaku, dan mahasiswa selalu menjadi korban kekerasan simbolik
yang dimiliki oleh sang pengajar (dosen).
Bila kondisi dalam kelas cendrung demikian, lantas apa
yang akan diperoleh mahasiswa ? Sebatas bahan ajaran dikelaskah ? Lalu
pertanyaannya : akankah cukup ? Tentunya tidak. Dunia kampus memang tak seperti
halnya sekolah, mahasiswa sejatinya harus bisa menjadi pusat dalam proses
belajar. Mahasiswa harus mampu berinovasi dan selalu mencari tahu tentang apa
yang berhubungan dengan dunia intelektualitasnya. Proses pencarian tahu inilah
yang membuat tidak cukup bila belajar hanya ada didalam kelas.
Disetiap kampus selalu berdiri perpustakaan-perpustakaan
yang menghadirkan literasi multi-presfektif dan multi-science. Diperpustakaan
pastinya selalu hadir ratusan bahkan ribuan buku yang sudah bersusah payah
melakukan rayuan-rayuan kepada mahasiswa untuk segera menjamah dan
bercinta dengannya. Namun sayang, tidak semua mahasiswa mau menjamah buku untuk
penyegaran rohani intelektualnya. Adapun hal yang sangat memaksa mahasiswa
untuk membaca buku tiada lain bila ada tugas-tugas yang dibuat oleh dosennya.
Untuk kasus ujian, mahasiswa cukup membaca bahan ajar satu malam sebelum waktu
ujian. Tragis !.
Bila kondisi terus demikian maka analogi dari saya adalah seperti ini ; buatlah sebuah lingkaran besar yang mana isinya adalah total seluruh kajian/materi dari sebuah ilmu (di kampus lebih sering dikenal dengan sebutan matakuliah). Kemudian didalam lingkaran tersebut buatlah lingkaran yang lebih kecil lagi yang mana isinya adalah materi/kajian yang hanya dikuasai dikuasai oleh dosen. Ingat dosen adalah manusia biasa, pasti akan memiliki keterbatasan-keterbatasan dalam penguasaan materi suatu ilmu, begitu juga dalam penyampaian (sharing knowladge) akan dibatasi pula oleh waktu yang sedikit. Maka buatlah lingkaran yang lebih kecil lagi didalam lingkaran materi/kajian yang dikuasai oleh dosen yaitu lingkaran yang berisi materi-materi yang hanya mampu tersampaikan didalam ruang kelas. Dari analogi tersebut cukup bisa menggambarkan bahwa ternyata apa yang di(ter-)sampaikan oleh dosen kepada mahasiswa adalah tidak seberapa dibanding dengan total keseluruhan materi dari suatu ilmu. Dan sialnya reduksi materi/kajian tersebut tidak sampai disini. Akan ada satu lingkaran yang lebih kecil lagi yang harus dibuat didalam lingkaran berisi materi yang tersampaikan oleh dosen tersebut, yakni lingkaran yang berisi materi yang hanya langsung bisa diserap oleh si mahasiswa. Ternyata yang mahasiswa dapatkan masih sangat (sekali lagi sangat) kecil bukan ?
Bila kondisi terus demikian maka analogi dari saya adalah seperti ini ; buatlah sebuah lingkaran besar yang mana isinya adalah total seluruh kajian/materi dari sebuah ilmu (di kampus lebih sering dikenal dengan sebutan matakuliah). Kemudian didalam lingkaran tersebut buatlah lingkaran yang lebih kecil lagi yang mana isinya adalah materi/kajian yang hanya dikuasai dikuasai oleh dosen. Ingat dosen adalah manusia biasa, pasti akan memiliki keterbatasan-keterbatasan dalam penguasaan materi suatu ilmu, begitu juga dalam penyampaian (sharing knowladge) akan dibatasi pula oleh waktu yang sedikit. Maka buatlah lingkaran yang lebih kecil lagi didalam lingkaran materi/kajian yang dikuasai oleh dosen yaitu lingkaran yang berisi materi-materi yang hanya mampu tersampaikan didalam ruang kelas. Dari analogi tersebut cukup bisa menggambarkan bahwa ternyata apa yang di(ter-)sampaikan oleh dosen kepada mahasiswa adalah tidak seberapa dibanding dengan total keseluruhan materi dari suatu ilmu. Dan sialnya reduksi materi/kajian tersebut tidak sampai disini. Akan ada satu lingkaran yang lebih kecil lagi yang harus dibuat didalam lingkaran berisi materi yang tersampaikan oleh dosen tersebut, yakni lingkaran yang berisi materi yang hanya langsung bisa diserap oleh si mahasiswa. Ternyata yang mahasiswa dapatkan masih sangat (sekali lagi sangat) kecil bukan ?
Books Lover
Mahasiswa dan buku bak menjadi pasangan yang tidak pernah
akur atau mungkin lebih tepatnya justru pasangan yang belum pernah bertemu. Ada
fenomena-fenomena yang melatar belakangi mengapa ini terjadi. Paradigma bahwa
buku ini begini-begitu, tidak sexy untuk dijamah, kesan kalau orang yang suka
baca buku hanya orang pintar saja dan alasan irasional lainnya itu perlu
dikesampingkan. Atau penyakit yang sudah mulai mewabah dikalangan
mahasiswa semacam perilaku hedonis telah menjadi penghambat dalam meningkatkan
gairah membaca (buku).
Meminjam konsep Soren Kierkegaard, seorang eksistensialis
asal Denmark tentang dialektika eksistensialis-nya yang menyatakan pada tahap
pertama dalam perkembangan religiusitas manusia adalah tahap estetis yaitu
ketika manusia bereksistensi berdasarkan prinsip kesenangan indrawi. Pola hidup
mahasiswa yang hedonis inilah bentuk pengejaran eksistensi estetik. Itulah
keterombang-ambingan individu oleh dorongan indrawi dan emosi. Kesenangan akan
terus mereka kejar dan jadi tujuan utama untuk menggapai hasratnya. Mahasiswa
cenderung membiarkan diri dikuasai naluri sensual dan mood. Mahasiswa malah
lebih senang mengalokasikan budget dan waktu senggangnya untuk shoping,
fashion, jalan-jalan, nongkrong daripada untuk membeli atau membaca buku.
Kemudian, dampaknya bisa muncul keyakinan tentang kebaikan adalah jika mampu
memberikan kepuasan pada diri sendiri. Tanpa sadar mereka tak pernah mencapai
kesatuan batiniah dan tidak berkepribadian matang.
Slogan klasikl ‘buku adalah jendela dunia’ tentu bukanlah suatu yang mengada-ada. Lebih sering membaca, lebih terbuka pula cakrawala pengetahuan yang dimiliki. Mahasiswa tidak akan lagi berpikiran sempit bila memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas. Dengan sering membaca buku pula akan membangun fondasi melalui penataan bata-bata ilmu dan pengetahuan sehingga meningkatkan kualitas landasan berpikir dan bertindak mahasiswa, atau lebih hebatnya bahkan bisa mempengaruhi cara pandang mahasiswa tentang dunia. Bukankah itu menarik ?.
Slogan klasikl ‘buku adalah jendela dunia’ tentu bukanlah suatu yang mengada-ada. Lebih sering membaca, lebih terbuka pula cakrawala pengetahuan yang dimiliki. Mahasiswa tidak akan lagi berpikiran sempit bila memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas. Dengan sering membaca buku pula akan membangun fondasi melalui penataan bata-bata ilmu dan pengetahuan sehingga meningkatkan kualitas landasan berpikir dan bertindak mahasiswa, atau lebih hebatnya bahkan bisa mempengaruhi cara pandang mahasiswa tentang dunia. Bukankah itu menarik ?.
Mari mulai meningkatkan gairah kembali minat membaca dan
menjadi seorang pecinta buku, karena akan banyak hal ‘baru’ yang ditemukan
lebih dari yang didapatkan didalam kelas. Mulai saat ini sisishkan budget uang
pulsamu untuk membeli buku dan alokasikan waktu kosongmu untuk menjamah
buku-buku. The last words, ada sebuah ungkapan klasik bahwa ‘manusia itu
apa yang ia baca’. Dengan kata lain jika mahasiswa tidak membaca
apa-apa berarti dia memanglah bukan apa-apa.
Mahasiswa dan buku, bersatulah !