Cerita Menjadi Ajudan #8 : Mengenal Aceh Singkil Langsung dari Desa

By Si Anak Rimo - October 15, 2025

Kunjungan Kerja Pj Gubernur Aceh ke Kuala Baru

Ajudan bukan sekadar pendamping, tetapi penjaga kesinambungan antara “apa yang dilihat di lapangan” dan “ apa yang diputuskan di kantor”.

Menjadi ajudan bupati memberi pengalaman berharga, tidak hanya berada di kantor untuk menyiapkan berbagai rapat bersama pimpinan, namun melahirkan banyak kisah perjalanan, pengalaman lapangan, melihat langsung persoalan dan pelajaran hidup yang terus membekas hingga kini menjadi referensi dalam melihat persoalan.

Salah satu anugerah terbesar selama menjadi ajudan adalah berkesempatan berkeliling dan mengunjungi berbagai pelosok daerah. Ini bisa kita rasakan karena dimana dan kemana pun bupati pergi, biasanya kita selalu ikut mendampingi. Ada perbedaan sih ajudan yang ikut saat sang Bupati sudah memenangkan pilkada, dan ajudan yang sudah ikut saat proses pilkada itu berlangsung, apalagi jika terlibat dalam proses pemenangan yang mengharuskan kita banyak berinteraksi dengan berbagai lapisan masyarakat. Dan saya berada sejak proses pendaftaran hingga pilkada itu selesai. Jika kita pernah terlibat dalam pilkada, kamu pasti paham dalam sehari ada berapa desa yang kita kunjungi untuk sosialisasi, jadwal yang luar biasa padat untuk kunjungan ke berbagai desa. 

Oia, yang berat itu mendampingi mulai dari pilkada hingga terpilih adalah tanggung jawab moral kita karena kita mengikuti setiap tahapan, kita mendengar keluhan dan harapan masyarakat secara langsung, dan setelah terpilih mereka juga menagih janji pembangunan kita. Apalagi saya selain  mendampingi sebagai ajudan, juga pemikir dan pengatur berbagai kegiatan agar semua berjalan lancar. Kita sudah belanja masalah saat pilkada, dan ini saatnya membayar janji itu. Kamu bisa bayangkan gimana pusingnya jika kita tidak memiliki menagemen dalam menyelesaikannya. 

Mengenal daerah dari dekat

Aceh Singkil ini daerah yang unik. Berada paling selatan provinsi Aceh dengan karakteristik geografis yang sangat beragam. Tak banyak kabupaten yang memiliki berbagai landscape wilayah seperti Singkel ini. Ada daerah pesisir dan kepulauan seperti Pulau banyak dan Pulau Banyak Barat yang hanya bisa kita akses lewat laut, ada juga rawa dan sungai seperti kecamatan Kuala Baru, Singkil dan berbagai daerah lain di pinggiran sungai, ada juga daerah yang perkebunan dan bebukitan seperti Suro dan Danau Paris.

Aceh Singkil terdiri dari 11 kecamatan dan 116 desa dengan karakteristik geografis yang sangat beragam. Ada kawasan pesisir dan kepulauan seperti Pulau Banyak dan Pulau Banyak Barat yang hanya bisa diakses lewat laut. Ada pula daerah rawa seperti Kecamatan Kuala Baru dan Singkil yang sebagian besar wilayahnya berada di tepi sungai atau rawa gambut. Alhamdulillah seluruh desa yang ada sudah kita kunjungi. Ini menjadi tempat kita belajar tentang kondisi dan persoalan daerah. 

Kadang pagi kita di Lae Balno, sebuah desa yang berada di perbatasan dengan Tapanuli Tengah, Sumut. Lalu sorenya kita berangkat ke Pulau Banyak lewat laut. Ini sudah menjadi hal yang biasa. Jarak tidak menjadi masalah karena semua tim siap untuk menjalankan tugas walaupun sangat padat. 

Sebagai ajudan, aku harus siap kapan saja — pagi, siang, bahkan tengah malam. Jadwal bupati tidak mengenal akhir pekan. Kadang rapat penting bisa muncul tiba-tiba, atau ada kabar mendadak dari kecamatan tentang banjir, kebakaran, atau warga yang membutuhkan perhatian. Di situ aku belajar tentang ketepatan waktu dan kecepatan pengambilan keputusan.

Untuk Kabupaten Aceh Singkil, saya pernah mendampingi 3 Bupati. Mulai dari Bapak Dulmusrid, Bapak Marthunis dan Bupati Safriadi Oyon, tentu gaya dan pola kerja yang berbeda. Bagaimana pola rapat, berkunjung ke desa, hingga pengambilan keputusan yang cepat dan tepat, saya melihat dan merasakan langsung saat kebijakan itu diambil. Satu kesalahan kecil dalam koordinasi bisa berakibat besar. Menjadi ajudan membuatku paham bahwa di balik setiap kebijakan publik, ada kerja keras yang jarang terlihat: tim yang merancang, menyiapkan, mengatur waktu, dan memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.

Bertahun-tahun mendampingi pimpinan daerah telah membentuk cara pandangku terhadap hidup dan tanggung jawab. Aku melihat bahwa kepemimpinan sejati bukan diukur dari jabatan atau tanda pangkat, melainkan dari kemampuan memahami orang lain dan membuat keputusan untuk kepentingan bersama. Aku juga belajar mengelola ego. Menjadi ajudan berarti siap berada di balik layar, tidak menonjol meski berperan penting dalam banyak hal. Tapi di situlah letak nilai pengabdian: bekerja tulus tanpa perlu sorotan. Inilah kenapa dari sekian banyak perjalanan keliling daerah, saya termasuk orang yang tidak suka dipotret, sehingga sangat sedikit dokumentasi di setiap kegiatan. 

Pelajaran dari Melihat Langsung Persoalan Daerah

Ada banyak hal yang tidak bisa dipahami hanya dari balik meja. Angka dan laporan bisa memberi gambaran, tetapi tidak pernah mampu sepenuhnya mewakili kenyataan di lapangan. Karena itu, setiap kali ada kesempatan turun langsung ke daerah, saya selalu menganggapnya sebagai ruang belajar — tentang masyarakat, tentang kehidupan, dan tentang bagaimana kebijakan benar-benar berdampak di dunia nyata.

Melihat langsung persoalan di lapangan membuka mata bahwa setiap daerah memiliki dinamika dan karakteristiknya sendiri. Apa yang tampak sederhana di kota, bisa menjadi persoalan besar di desa. Sebaliknya, hal-hal yang kita anggap sulit di pusat, sering kali bisa diatasi dengan kearifan lokal dan gotong royong di tingkat bawah.

Misalnya, di beberapa desa terpencil saya melihat bagaimana masyarakat harus menempuh perjalanan jauh hanya untuk mendapatkan air bersih, atau bagaimana para guru tetap bersemangat mengajar meski fasilitas sekolah sangat terbatas. Ada rasa haru sekaligus kagum — bahwa semangat untuk maju tidak pernah padam meski dalam keterbatasan.

Dari pengalaman itu, saya belajar setidaknya tiga hal penting:

Mendengar adalah bentuk penghargaan tertinggi. Banyak persoalan masyarakat bukan  hanya soal kurangnya bantuan, tetapi karena kurangnya ruang untuk didengar. Ketika kita hadir dan mau mendengar dengan tulus, sering kali itu sudah menjadi penyemangat bagi mereka.

Setiap kebijakan membutuhkan empati. Angka-angka dalam laporan bisa tampak rapi, tetapi di baliknya ada manusia dengan kehidupan nyata. Dengan melihat langsung, kita jadi lebih berhati-hati dalam membuat keputusan, karena kita tahu siapa yang akan merasakan dampaknya.

Pembangunan tidak selalu tentang fisik, tetapi tentang harapan. Jalan, jembatan, dan bangunan memang penting, tapi yang lebih penting adalah menumbuhkan rasa percaya diri masyarakat — bahwa mereka tidak sendiri, bahwa pemerintah hadir untuk mereka.


Program Penanaman Pohon bersama PT Astra Agro Lestari
Di Lae Trup SM Rawa Singkil, bersama WCS dan BKSDA Aceh

Turun ke lapangan mengajarkan saya untuk lebih bijak dalam melihat persoalan. Tidak terburu-buru menilai, tidak cepat menyimpulkan, dan selalu mencoba memahami konteks di balik setiap cerita. Di sanalah letak makna pengabdian yang sebenarnya: membangun bukan hanya dari atas, tapi juga dari bawah — dari hati masyarakat sendiri.

Dari perjalanan demi perjalanan, saya semakin yakin bahwa perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil: datang, melihat, dan mendengar. Karena hanya dengan itulah kita bisa benar-benar memahami apa arti pelayanan kepada rakyat.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar