Tak terasa 3 tahun aku memendam
rasa itu, rasa yang ingin segera
kuselesaikan tanpa harus mengorbankan
perasaan aku atau dirimu. Seperti yang
engkau tahu, aku selalu berusaha menjauh darimu, aku selalu berusaha tidak acuh padamu. Saat di depanmu, aku ingin tetap berlaku
dengan normal walau perlu usaha untuk mencapainya.
Takukah engkau wahai yang mampu
melumpuhkan hatiku?
Entah mengapa aku dengan mudah berkata
“cinta” kepada mereka yang tak kucintai namun kepadamu, lisan ini seolah
terkunci. Dan aku merasa beruntung untuk tidak pernah berkata bahwa aku
mencintaimu, walau aku teramat sakit saat mengetahui bahwa aku bukanlah mereka
yang engkau cintai walaupun itu hanya sebagian dari prasangkaku. Jika boleh aku
beralasan, mungkin aku Cuma takut engkau akan menjadi “illah” bagiku, karena
itu aku mencoba untuk mengurung rasa itu jauh ke dalam, mendorong lagi, dan
lagi hingga yang terjadi adalah tolakan-tolakan dan lonjakan yang membuatku
semakin tidak mengerti. Sakit hatiku memang saat prasangkaku berbicara bahwa
engkau mencintai dia dan tak ada aku dalam kamus cintamu, sakit memang, sakit
terasa dan begitu amat perih. Namun 1000 kali rasa itu lebih baik saat aku
mengerti bahwa senyummu adalah sesuatu yang berarti bagiku. Ketentramanmu
adalah buah cinta yang amat teramat mendekap hatiku, dan aku mengerti bahwa aku
harus mengalah.
Wahai engkau yang melumpuhkan hatiku,
andai aku boleh berdoa kepada Tuhan, mungkin aku ingin meminta agar Dia
membalikkan sang waktu agar aku mampu mengedit saat-saat pertemuan itu hingga
tak ada tatapan pertama itu yang membuat hati ini terus mengingatmu. Jarang aku
memandang wanita, namun satu pandangan saja mampu meluluhkan bahkan melumpuhkan
hati ini. Andai aku buta, tentu itu lebih baik daripada harus kembali lumpuh
seperti ini. Banyak lembaran buku yang telah kutelusuri, banyak teman yang
telah kumintai pendapat. Sebahagian mendorongku untuk mengakhiri segala
prasangku tentangmu tentang dia karena sebahagian prasangka adalah suatu
kesalahan,mereka memintaku untuk membuka tabir lisan ini juga untuk menutup
semua rasa prasangmu terhadapku. Namun di titik yang lain ada dorongan yang
begitu kuat untuk tetap menahan rasa yang terlalu awal yang telah tertancap
dihati ini dan membukanya saat waktu yang indah yang telah ditentukan itu
(andai itu bukan suatu mimpi).
Wahai engkau yang
telah melumpuhkan hatiku, mungkin aku bukanlah pejantan tangguh yang siap untuk
segera menikah denganmu. Masih banyak sisi lain hidup ini yang harus ku kelola
dan kutata kembali. Juga kamu wahai yang telah melumpuhkan hatiku, kamu yang
dengan halus menolak diriku menurut prasangkaku dengan alasan belum saatnya
memikirkan itu. Sungguh aku tidak ingin menanggung beban ini yang akan berujung
ke sebuah kefatalan kelak jika hati ini tak mampu kutata, juga aku tidak ingin
BERPACARAN denganmu.
Wahai engkau yang telah melumpuhkan
hatiku, mungkin saat ini hatiku milikmu, namun tak akan kuberikan setitik pun
saat-saat ini karena aku telah bertekad dalam diriku bahwa saat-saat indahku
hanya akan kuberikan kepada mu. Wahai engkau yang telah melumpuhkan hatiku,
tolong bantu aku untuk meraih bidadari-ku bila dia bukanmu. Wahai engkau yang telah
melumpuhkan hatiku, tahukah kamu betapa saat-saat inilah yang paling kutakutkan
dalam diriku, jika saja Dia tidak menganugerahi aku dengan setitik rasa malu,
tentu aku telah meminangmu bukan sebagai istriku namun sebagai kekasihku. Andai
rasa malu itu tidak pernah ada, tentu aku tidak berusaha menjauhimu. Kadang aku
bingung, apakah penjauhan ini merupakan jalan yang terbaik yang berarti harus
mengorbankan ukhuwah diantara kita atau harus mengorbankan iman dan maluku
hanya demi hal yang tampak sepele yang demikian itu.
Aku yang tidak mengerti diriku…
Ingin ku meminta kepadamu, sudikah
engkau menungguku hingga aku siap dengan tegak meminangmu dan kau pun siap
dengan pinanganku?!
Namun wahai yang telah melumpuhkan
hatiku, kadang aku berpikir semua pasti berlalu dan aku merasa saat-saat ini
pun akan segera berlalu, tetapi ada ketakutan dalam diriku bila aku
melupakanmu… aku takut tak akan pernah lagi menemukan dirimu dalam diri mereka-
mereka yang lain.